Mohon tunggu...
Hery Santoso
Hery Santoso Mohon Tunggu... -

Suka membaca, berdiskusi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Petruk Mantu

20 Januari 2016   09:12 Diperbarui: 21 Januari 2016   13:50 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Kaputren Kerajaan Trajutrisna

Awan bergerak berarak-arak, angin semilir berhembus syahdu, mentari cerah bersinar di balik gunung, menambah keindahan kaputren Kerajaan Trajutrisna. Bunga bermekaran, mawar, melati, menur jingga, anggrek, bersanding dengan bunga srigading, menghiasi taman kaputren. Namun, semua keindahan itu tidak mampu menghibur kesedihan Dewi Hagnyanawati yang sedang dirundung duka, karena duka asmara. Walau sang suami, Prabu Boma Narakasura, habis-habisan memanjakannya dengan bergelimang  kemewahan dan keindahan keraton, tak lebih dari sangkar emas yang semakin membelenggu Hagnyanawati, mengucilkannya dalam pengasingan di tengah lautan gurun pasir yang gersang.

Di saat Hagnyanawati sedang meratapi nasibnya, dari balik rerimbunan taman, Boma mengamat-amati istrinya yang lama menyimpan duka asmara. Dihampirinya Hagnyanawati dengan hati-hati, disapanya penuh santun. Lamunan Hagnyanawati berantakan, heran, dari mana datangnya sang suami, tiba-tiba saja berada di sampingnya.

“Wahai Dewiku yang cantik, mengapa dinda selalu menolak cintaku? Kasihanilah aku. Akan aku turuti apapun kemauanmu. Jika Adinda bosan di sini, mau liburan ke mana, ke Eropa, ke Amerika, ke Korea, atau menyewa kapal pesiar keliling dunia, akan aku turuti. Lama sudah aku menunggu. Berikanlah sedikit saja senyumanmu”.

Hagnyanawati bergeming. Rayuan Boma bagai angin lalu. Ternyata, sesabar-sabarnya pemburu cinta, tidak lebih sabar daripada pemburu teroris. Dan, … meledaklah Boma!

“Hai, Hagnyanawati, … Hagnyanawatiii!! Dulu, kau melihat apa, kini kau melihat apa? Tak ada panas, tak ada hujan, tak ada sekam, tak ada api. Mengapa sekarang kau ingkar janji?! Semua orang tahu, kau adalah istriku, permaisuri Raja Trajutrisna. Mengapa sampai saat ini kau belum juga mau melayani aku? Sedikitpun aku belum merasakan sejatining pemarem. Aku tidak tahan lagi menanggung derita ini Hagnyanawatiii…”, Boma mengiba.

“Duh, sinuwun Baginda yang mulia, ….”.

“Lha, lha, lha, begitu dong Adinda. Mengapa selama ini Dinda membisu saja? Mendengar suaramu saja sudah nyeees hatiku. Seperti tersiram tirta sawindu. Apalagi menyapaku. Piye, piye Dinda? Minta apa, nyuwun opo yayii..?”

“Sinuwun, hamba akan menyerahkan jiwa raga hamba, asalkan Baginda dapat memenuhi bebana (syarat) hamba”.

“Apa, apa permintaanmu Dinda? Katakanlah, katakanlah…”.

“Nuwun inggih. Bebana hamba adalah hamba ingin dimadu dengan Endang Nalawati”.

Wuiih, jarang lho, ada perempuan seperti Hagnyanawati ini. Suami mana yang tidak menerima syarat seperti itu? Hanya suami yang, maaf:

1)      ISTI (Ikatan Suami Takut Istri), atau

2)      Minder (mungkin karena disfungsi organ v***l), atau

3)      Khawatir tak bisa berbuat adil (bagi yang suka berdalil), atau

4)      Miskin/ pas-pasan (kalau ini sudah jelas), atau

5)      Pelit, atau

6)      Bodoh (padahal tidak termasuk 5 poin di atas), atau

7)      Anti poligamis (tambahan “s” di sini menunjukkan aliran, seperti “liberalis”, “komunis”, jadi bukan berarti anti banyak gamis)

Yang tak meluluskan syarat Hagnyanawati itu.

Kalau ada Hagnyanawati-Hagnyanawati lainnya, mungkin masalah over stock jomblowati yang katanya akibat dari ketidaksebandingan antara jumlah populasi perempuan dengan populasi lelaki ini, bisa diselesaikan dengan segera. Wah, kok jadi ngelantur begini. Meminjam gayanya Tukul, mari kita kembali ke “waaa-yang”!

“Endang Nalawati?? Siapa Endang Nalawati itu? Anak siapa dan di mana dia?”

“Endang Nalawati adalah gadis Dusun Bluluktibo. Anaknya Nala Gareng”.

“Wee lhadalah, jagaaad dewa bathara, hahaha… hmmm, ya, ya, nimaas, kalau memang itu permintaanmu, itu mudah sekali, akan aku turuti. Mengapa tidak dari dulu-dulu Dinda mengatakannya? Sudah begitu lama aku menginginkan cintamu. Kalau begitu, jer basuki, aku mohon pamit dahulu. Namun, berilah aku bekal. Antarkan kepergian kakangmu ini dengan sedikit senyumanmu”.

Hagnyanawati mengabulkan permintaan suaminya.

“Aduh biyuung, Dinda…. Terima kasih, terima kasih Dinda”.  

Dusun Bluluktibo

Pagi yang cerah. Alam bersenandung melalui suara gemericik air yang sedang membaluri hamparan sawah yang menghijau dan berdendang melalui riang kicau burung-burung yang sedang bermain-main di rimbun dedaunan. Dari jauh, tampak rumah mungil tapi asri pinggir sawah, ditemani rerimbunan pohon bambu, di situ Gareng bersama keluarga kecilnya bernaung. Hari itu, Semar dan Bagong berkumpul di rumah itu bersama keluarga Gareng. Mereka berunding untuk mempersiapkan rencana pernikahan Endang Nalawati, anak Nala Gareng ya Cakrawangsa ya Bambang Sukodadi ya Pancal Pamor; dengan Lengkung Kusumo, anak Petruk ya Kantong Bolong ya Bambang Penyu Percukilan. Mereka tetap optimis dapat menyelenggarakan acara pernikahan itu meskipun dengan segala keterbatasan.

“Kamu apakah sudah siap nduk?”, tanya Gareng.

“Ya sudah to, moo. Aku kan sudah lama merencanakan rumah tangga dengan kang Lengkung Kusumo”.

“Kamu sudah tahu bagaimana seharusnya punya suami?” lanjut Gareng.

Bagong nyeletuk, “Apa perlu aku ajari? Sik, sik, sik, ojo salah paham. Pikiranmu ojo ngeres dulu. Maksudku, aku ajari bagaimana menjadi istri yang baik”.

Bagong dengan gayanya yang khas, menasehati keponakannya yang akan menikah itu.

Semar melanjutkan, “Begini, begini ya Reng. Walaupun romo ini sudah tua, tidak bisa uwur-uwur (tidak bisa menyumbang secara materi), ning romo ingin uwur tutur - uwur sembur marang cucuku Nalawati, sebelum ijab. Eling yo nduuk, drajad, pangkat itu mung sampiran. Harta benda, keturunan, mung titipan, mung amanah. Yang penting kamu harus bisa menjaga ketenteraman jiwa dalam berumah tangga yo nduuk”.

“Yang penting ojo padu wae (jangan bertengkar melulu)”, sahut Dewi Sariwati, istri Gareng.

Rupanya kegayengan keluarga besar Semar tidak berlangsung lama. Bala Kurawa memecahkan suasana musyawarah mereka. Dengan angkuh Sengkuni, Lesmana Mandrakumara, dan Dursasana menghampiri Punokawan yang masih tampak terheran-heran itu.

“Selamat datang ndara Patih dan para bangsawan semua”, sambut Semar.

“Ya, kakang Semar. Begini ya Gareng, kedatanganku ke sini akan melamar anakmu Nalawati”, datar suara Sengkuni tanpa basa-basi.

“Hoi, paman Sengkuni, yang jelas dong ngomongnya! Kok paman yang melamar?! Melamar untuk cucu…, begitu!”, bentak Dursasana sambil menggoyang-goyangkan tangannya yang kekar.

“Cepetan kenapa yuuung….”, Lesmana tak sabar.

“Sebentar Dur, paman belum selesai bicara. Mono… sabar disik yo lee…”.

“Kalau ngomong mbok ya jangan sambil merem gitu to maan, hehehe….”, Dursasana mengingatkan.

“Saya akan melamar anakmu, Nalawati, untuk cucuku Lesmana Mandrakumara”.

“Njeeeh… kanjeng romo Gareeng…”, suara Lesmana melengking.

“Beluum! (sambil menabok Lesmana). Kamu ini ya bodoh sekali…. Belum jadi menantu kok memanggil romo Gareng, hehehe…”, bentak Dursasana.

“Bukannya sudah disetujui man?”

“Belum!! Ini baru melamar! Byuh, byuh, kok nyocol wae bocah iki to yo, hehehe…”, Dursasana mencoba menenangkan.

“Kamu akan hidup mulia dan bahagia, jika mau berbesanan dengan Raja Hastina”, Sengkuni mengiming-imingi Gareng.

Belum terjawab tawaran Sengkuni, tiba-tiba datang Boma.

“Baginda Boma, selamat datang”, Gareng menyambut.

“Ya, ya…”.

“Bakti hamba baginda”. kata Bagong.

“Ya, Bagong”.

“Bakti kula gus”, Semar melanjutkan.

“Ya, kyai, sama-sama”, Boma menerima sembah bakti Punokawan.

“Inikah yang namanya Nalawati?”, tanya Boma.

“Njiih den…”, Gareng menjawab.

“Njanur gunung, paduka rawuh di padepokan Bluluktibo, ada perlu apa ya?”, tanya Gareng.

“Begini ya Reng, kedatanganku ke sini dengan membawa berpeti-peti perhiasan dan bermacam-macam rajabrana. Saya ingin melamar anakmu Nalawati, untuk menjadi istriku”.

Mendengar maksud kedatangan Boma seperti itu lantas Dursasana mengingatkan.

“Lho-lho-lho, awas Reng, yang datang duluan ke sini Patih Hastina, hehehe…”.

“Terus terang saya merasa tersanjung. Anak saya dilamar pangeran, pertama: calon raja, yaitu ndara Lesmana Mandrakumara.. Dan ini ada lagi Raja Trajutrisna. Saya seperti kurung munggah lumbung. Namun perlu njenengan berdua ketahui, bahwa saya sudah sepakat akan berbesanan dengan adik saya Petruk”.

“Sudah, lamaran Petruk dibatalkan saja. Kalau dia marah, aku yang tanggung jawab”, Boma memaksa.

“Untuk aku saja, aku masih perjaka. Dia sudah punya istriii…”, suara Lesmana mendayu-dayu tidak terima.

“Gareng! Kamu harus luluskan permintaan kami! Sudah, jangan banyak bicara, hajar saja dia!!”, Dursasana hilang kesabaran. Ditendangnya Boma hingga terjerembab ke belakang. Pertarungan tak bisa dielakkan.

“Wah, wah, wah, bagaimana ini? Ini bisa-bisa menggegerkan Dusun Bluluktibo”, kata Bagong.

“Sudah, sudah, jangan panik, romo akan selesaikan masalah ini”, kata Semar.

“Mongso bodho-a mo, yang penting bagaimana suasana bisa tenteram kembali”, Gareng pasrah.  

Arena Pertarungan

Situasi tak bisa dikendalikan. Tak hanya Boma yang meladeni gempuran Dursasana, pasukan Trajutrisna pun bertempur melawan pasukan Hastina. Sambil menghunus keris, Sengkuni di pinggir arena mengamat-amati jalannya pertarungan, mencari celah, berharap bisa menghabisi Boma dari belakang.

“Sudah, sudah, cukup, cukup, berhenti bertarung deen…, berhenti, berhenti, sabar, sabar, ya ndoroo…”, Semar mencoba melerai.

“Boma tamu kurang ajar!”, bentak Dursasana.

“Kurawa biang onar!”, Boma tidak terima.

“Apa maumu?!”, Dursasana membentak lagi.

“Semaumu!”, Boma tak mau kalah.

“Kalau begini terus bagaimana ini mo?” Gareng bingung.

“Lha, terus maumu gimana Gong?”, balas Semar.

“Sudah mo, segera urusi yang baik gimana mo, jangan diulur-ulur, nanti ceritanya kepanjangan”, Bagong sambil terengah-engah.

“Begini saja, semuanya, saya tidak berpihak kepada siapapun. Saya punya permintaan: siapa saja bisa menjadi calon pengantin pria, asalkan bisa mempersembahkan cunduk Sekar Wijayakusuma”, tegas Semar.

“Lho, yang punya itu kan Ayahanda Kresna, kalau begitu aku, aku yang akan mendapatkannya”, kata Boma sambil bergegas pergi.

“Paman, … paman, bagaimana ini??”, Dursasana gundah.

“Sudah, jangan khawatir. Biar tidak kedahuluan Boma, kita cari jalan pintas Dur”.

“Monggo, monggo Man”.

Gareng tidak setuju.

“Maksud saya, diputuskan supaya tidak ada keributan lagi mo. Lha ini kok ndadak…”.

“Mencari masalah baru…”, timpal Bagong.

“Lha ini romo justru minta Kembang Wijayakusuma. Kalau ribut lagi gimana?” protes Gareng.

“Ribut tapi kan tidak di sini”, Semar beralasan.

“Tapi harus adil lho mo. Maksud saya begini, …Petruk, Petruk yang juga melamar ini harusnya mendapatkan syarat yang sama”.

“Bener kang Gareng. Kalau terdengar oleh yang lainnya gimana?”, kata Bagong.

“Ya iri to…. Daripada saling iri, ya nggak adil itu namanya”, Gareng meyakinkan.

“Jadi Petruk juga kena syarat?”

“Ya, iya no… Wong syarat perpanjangan kontrak tambang saja harus diworo-woro. Kalau tidak, berbaha-ha-ha-yaa… ”.

“Ya, iya juga ya…. Terus bagaimana baiknya?”, Semar bingung.

“Romo ini gimana sih, dimintai pendapat kok malah bingung juga?”, Gareng kesal.

“Sudah, begini saja, saya akan menulis surat ke Petruk. Nanti antarkan ke dia ya Gong. Masalah transport pakai uangmu dulu, nanti dihitung belakangan”, Gareng tetap pada pendiriannya.  

Dusun Kembangsore

Sore itu Dusun Kembangsore benar-benar anteng. Petruk dan istrinya, Dewi Undanawati, jagong di teras pondok. Lengkung Kusumo, anak mereka, sumringah, karena hari-harinya dilalui dengan hati berbunga-bunga.

“Lengkung, kenapa kamu cengar-cengir sendiri?”, tanya Undanawati.

“Hatiku senang mbok”.

“Senang kenapa?”

“Lha aku ditunggui bapak dan simbok”.

“Kamu ini kok ya ndak ngerti to, simbok sedang sayang-sayangan sama bapakmu, kamu kok nyela saja”.

“Dasar anak tidak tahu malu, ya gini ini”, Petruk membenarkan.

“Mbok ya agak ngerti sedikit gitu to le, le…”.

“Ya harus sabar dan maklum to mbok”.

“Maklum gimana?”, tanya Petruk.

“Bapak sudah pernah jadi saya, tapi saya kan belum pernah jadi bapak. Tegasnya, bapak kan sudah melakoni muda, tapi saya belum melakoni tua seperti bapak. Jadi kalau ada saruning tumindak ki (kalau ada perilaku yang kurang pantas), salah-salah sedikit ya dimaklumi lah”.

“Apiik…. Kamu sekarang kok pandai, nak?”

“Ya ini berkat piwulange romo prabu Kantong Bolong. Mbok, kita ini beruntung lho punya bapak Petruk”.

“Memang kenapa le?”

“Bapak tidak pernah kena kasus korupsi. Sampai saat ini bapak aman-aman saja, tidak bisa diusut kekayaannya”.

“Kowe iki piye to? Gimana mau mengusut, lha wong bapak ki kekayaannya mung sak mene wae; kaedus banyu sesiwur (mendapat jatah sedikit dan harus berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan). Makan saja susah, mau korupsi dari mana?”.

“Namanya juga Kantong Bolong. Walaupun dapat berapa saja ya bablaas wae. Ning bablas kanggo manfa’ate wong liyo”, sahut Lengkung.

“Lha wong nama itu cuma nama julukan saja kok lee…”, jawab Undanawati.

“Mencontoh pola hidup bapak ini membanggakan. Pola hidup sederhana, bersahaja, prasojo”, lanjut Lengkung.

“Sebentar mbok, saya mau tanya, sebenarnya betul nggak sih saya ini anaknya bapak?”

“Lho, pertanyaanmu kok aneh to le?”

“Lengkung! Berani-beraninya kamu ngomong begitu. Memang selama ini wajahmu mirip siapa, hah?!” bentak Petruk.

“Pokoknya saya yakin. Akan saya umumkan bahwa mbok hamil tidak sama njenengan”, tantang Lengkung.

Petruk gusar, “Lengkung, jelek-jelek begini bapakmu mantunya Raja Dwarawati. Ibumu itu masih termasuk putri keraton. Memang bapakmu jelek, tapi ibumu cantik. Harapan bapak menikahi ibumu supaya punya anak bagus, ternyata nongol kamu yang punya wajah jelek seperti aku. Banjur kamu ngomong seperti itu, opo karepmu?”.

“Pak, mau diapakan juga, mau dikloning atau diapakan, namanya gen saya ini ya begini ini, tetap saja jelek. Tetapi yang pasti, simbok hamil tidak dengan bapak”.

“Lantas sama siapaa…??” Petruk kesal.

“Simbok itu hamil sendiri. Apa bapak ikut hamil?”

“Ya tidak to”.

“Saya tadi bilang apa?”

“Oooo, begitu to le…” tanggap Undanawati.

“Lho, fakta kan, ini fakta…. Jeleknya orang tua itu begini niih. Maunya menang sendiri”.

“Benar kamu le. Kang, anakmu pandai, mestinya kamu harus senang, ojo nesu gitu to kang Petruk”.

“Yaa, tapi kepintarannya jangan disalahgunakan untuk ngakali bapaknya gitu…”.

“Ini kan hanya tukar pikiran pak; share gitu lo…”, Lengkung membela diri.

Lamat-lamat dari kejauhan, tampak sesosok makhluk kayak genuk berjalan ginak-ginuk, ketebang-ketebong sedang menuju rumah Petruk.

“Eee, bagaimana kabarmu dik Bagong, dan bagaimana kabar istrimu?”

“Kabar baik mbakyu…. Ini Lengkung to? Lengkung yang dulu masih ingusan itu?”

“Ya, iya. Ini keponakanmu yang mau nikah sama Nalawati”, jawab Petruk.

“Mbakyu, ini ada kabar…”.

“Lho, belum hajatan kok kamu sudah ngasih amplop to dik? Sudah, sudah, tidak usah repot. Sudah cukup kok dik Bagong” Undanawati pura-pura menolak.

“Mau nyumbang kali mbok…”, Lengkung mencoba menjelaskan.

“Yang mau nyumbang itu siapa?” tegas Bagong.

“Itu surat untuk siapa?”, tanya Petruk.

“Ini dari kang Gareng”.

“Ooo, ya, ini memang tulisannya kang Gareng. Senajan tangannya bengkok, ning tulisannya morat-marit”, ledek Petruk.

“Wuiih, nulisnya dalam bentuk Sinom, Gong”.

“Memang kebiasaan kang Gareng kalau mengirim surat dalam bentuk tembang”.

Bersama surat ini, menjumpai adinda suami-istri. Dinda Petruk yang berbahagia. Pertama-tama saya sampaikan salam sejahtera. Yang kedua, untuk diketahui, tentang rencana kita berbesanan. Perkawinan Lengkung dengan Nalawati. Bisa terlaksana jika Lengkung Kusumo datang dengan bercunduk Kembang Wijayakusuma.

Selesai membaca surat, tiba-tiba saja Petruk nyaduk Bagong. Tentu saja Bagong kaget.

“Gong, kamu tahu tidak isi surat tadi. Bait terakhir maksudnya apa? Menyebut cunduk Kembang Wijayakusuma segala?”

“Yaa…, Kembang Wijayakusuma itu….” Bagong ragu.

“Kalau begini caranya, jelas kang Gareng ki esuk tempe – sore dele,  mencla-mencle, clewa-clewo koyo kebo!”

“Mencla-mencle gimana?” Bagong pura-pura tidak tahu.

“Lho, dulu dia kelihatan apa, sekarang kelihatan apa?”

“Dulu jelek, sekarang sama saja”, tanggap Bagong.

“Ini hanya akal bulus kang Gareng saja. Ini alasan untuk menolak secara halus. Coba pikir. Makanya gunakan otakmu untuk mikir! Terus aku dimintai bebana, harus datang dengan membawa cunduk Kembang Wijayakusuma”, Petruk tidak terima.

“Ini urusanmu. Kalau pengantin perempuan minta syarat itu sudah lumrah. Kok jadinya aku yang dimarahi??”, Bagong juga tidak terima.

“Lumrah, lumrah bagaimana?!”

“Urusanmu sama Gareng, kok marah sama aku”, sambil lari Bagong menampel surat yang dipegang Petruk.

“Sabar dik, sabar dik”, Undanawati menenangkan.

“Sudah, jangan ikut campur. Lengkung, kamu di rumah saja. Istriku juga, di rumah saja. Biar, akan aku labrak Gareng!” Petruk pergi sambil menghunus kapak. Baru tiga langkah Petruk melangkahkan kakinya, dari kejauhan tampak Prabu Kresna dan Arjuna datang. Petruk mengurungkan niatnya.

“Petruk”, sapa Kresna.

“Apa?!”, jawab Petruk ketus.

“Ya jangan kasar begitu to mo”, Lengkung mengingatkan.

“Kula, Baginda Dwarawati”.

“Kelihatannya kamu begitu geram? Sambil menghunus kapak begitu, mau apa? Bukankah sebentar lagi kamu punya hajatan? Kalau memang ada masalah mbok ya dirembug baik-baik. Jangan emosi seperti itu”.

“Sinuhun, saya kan akan menikahkan anak saya Lengkung Kusumo dengan Nalawati, anaknya kang Gareng”.

“Lha kedatangan saya dengan Arjuna ke sini ini kan untuk membantu hajatanmu itu”.

“Nggih, kalau itu saya sudah tahu sinuhun, tapi saya menyayangkan mulut Gareng yang tidak bisa diugemi, tidak bisa dipercaya”.

“Petruk”.

“Nggih, den”.

“Sabarkan hatimu Petruk. Kalau ada masalah, sebaiknya dibicarakan dulu baik-baik”, Arjuna ikut menasehati.

“Tidak bisa! Pokoknya saya akan melabrak Gareng! Dia minta syarat Kembang Wijayakusuma. Pokoknya akan saya habisi dia!”

“Petruk, berat mana sekarang, KMP atau KIH??!” Bagong kesal menimpali.

“Bagong, ini bukan perkara politik”, Kresna sambil tersenyum.

“Iki piyee? Gong, jaga mulutmu! Jangan cengengesan! Pokoknya ini tidak sampai setengah jam, Gareng rampung! Mau apa?! Mpun, njenengan diam saja. Paling-paling Semar berpihak ke dia. Nanti kalau Semar membantunya, akan saya kapak juga! Jika Semar tidak terima, lapor Pandawa, Pandawa saya kapak sekalian! Jika Pandawa tidak terima, lapor penasehatnya yang namanya Kresna, ….”, Petruk tetap meletup-letup.

“Mau kau kepras juga, gitu??” timpal Kresna.

“Kepras sekalian!”, sela Lengkung Kusumo.

“Yang jadi pokok masalahnya adalah Lengkung, jadi… kepras sekalian Lengkungnya!” teriak Bagong tak mau kalah.

“Sudah, saya selesaikan saja!” Petruk tak sabar.

“Sebentar, sebentar pak…”, Lengkung mencegah.

“Sik to, bendaramu Madukara mau bertanya kepadamu”, kata Kresna.

“Apakah saya juga mau dikapak, Petruk?” tanya Arjuna.

“Kepras sekalian!”, bentak Bagong memanas-manasi.

“Ya nggak begitu too….”, jawab Petruk.

“Kalau perlu semua Punokawan dikepras sisan!”, Lengkung tak mau kalah.

Kresna dan Arjuna senyam-senyum saja.

“Wonten dhawuh ndoro…”, Petruk mereda. Petruk itu aslinya tipe orang easy going, cuek, tapi kalau sudah menyangkut harga diri, jangan ditanya. 

“Nala Gareng minta syarat Kembang Wijayakusuma?”, tanya Arjuna dengan tenang.

"Nggih ndoro”.

"Yang punya Kembang Wijayakusuma tidak ada lain ya hanya kanda Sri Bathara Kresna”.

“Awas…, tidak dipinjamkan, keprass!!” tiba-tiba Bagong teriak cuek.

“Awas Gong, lambemu kebablasan, tak kepras sisan mengko”, bentak Petruk.

“Wah, saya sudah deg-degan lho…”, Kresna sambil senyum.

“Ndara Arjuna dan ndara Kresna, saya sudah tahu kalau Kembang Wijayakusuma itu agemipun paduka Ndarawati. Namun, ini hanya alasan Gareng untuk menolak secara halus”.

“Apakah tidak bisa diganti dengan kembang lainnya?” tanya Kresna.

“Kembang apa?”

“Kembang gula malah bikiin….”, celetuk Lengkung.

“Kembang gula itu bukannya permen, mut-mutan?” tanya Petruk.

“Kembang gula aku moh, aku kencing manis”, Bagong menolak, walaupun tak ditawari.

“Petruk, sudah, kamu tenang saja, saya akan membantu. Nanti Kembang Wijayakusuma akan saya pinjamkan kepada anakmu, Lengkung Kusumo”, Kresna menenangkan.

“Betulkah ndoro??”

“Lho, betul, saya lahir-batin ini”.

“Sebentar den, nalarnya bagaimana?” Petruk tak yakin.

“Sekarang coba pikirkan, istrimu Undanawati ya Prantawati itu siapa? Bukankah istrimu itu putriku?”

“Ya, memang putri njenengan. Tapi…”

“Kalau begitu Lengkung Kusumo ya cucuku sendiri to? Sudah sepantasnya saya berkorban untuk anak-cucuku”.

“Jadi, njenengan lahir-batin rela meminjamkan Kembang Wijayakusuma?”

“Ya, Petruk”.

“Aduh, sinuwun, saya menghaturkan banyak terima kasih karena paduka lahir-batin membantu cucunda Lengkung Kusumo. Kalau bisa jangan hanya kembangnya, sukur-sukur sekalian biayanya juga”.

“Dapurmu, Truuk, Truk!” cela Bagong.

“Nah, ujung-ujungnya perkara itu juga to?”

“Ya siapa lagi tempat berkeluh-kesah ndoro? Bagaimana ndoro Janaka, kok dari tadi senyam-senyum saja”.

“Jangan kuatir Petruk, kalau memang kurang dana, saya yang akan mencukupi. Masalah mengembalikan, nanti dipikirkan kemudian”, jawab Arjuna.

“Oooo…, ternyata rentenir juga”, sindir Bagong.

Lengkung tiba-tiba unjuk gigi: “Ijinkan saya usul, kalau berkenan kelak pernikahan saya diramaikan dengan hiburan Wayang Kulit 40 hari, 40 malam, dalangnya tidak boleh diganti”.

“Lengkung, kowe ojo kegedhen endhas kurang utek, Sama saja itu nanggap dalang sak modare. Aneh-aneh saja kamu”, Petruk marah.

“Baiklah sinuwun, bagaimana baiknya saja menurut kebijakan paduka atas Lengkung Kusumo”, lanjut Petruk.

“Baiklah, kalau begitu, Lengkung Kusumo, sini mendekatlah, akan saya beri kamu cunduk Kembang Wijayakusuma”.

Maka, ditancapkanlah cunduk Kembang Wijayakusuma oleh Prabu Kresna di kepala Lengkung Kusumo.

Dusun Bluluktibo

Di teras rumah Gareng, acara resepsi pernikahan antara Bambang Lengkung Kusumo dengan Endang Nalawati berlangsung meriah. Para tamu bergantian mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Hilir-mudik para pramusaji menjamu para tamu yang datang dan pergi. Di tengah acara yang meriah itu, tiba-tiba suasana dikagetkan dengan kehadiran tamu yang tak diundang.

“Ayahanda, ini bagaimana ceritanya? Mengapa Kembang Wijayakusuma diberikan kepada anaknya Petruk? Padahal saya sudah memastikan, kalau sayalah yang akan bersanding dengan Nalawati”.

“Ananda Boma, istrimu Hagnyanawati adalah wanita yang cantik. Tidak kurang suatu apapun. Mengapa sekarang Ananda masih menginginkan Nalawati? Apakah sudah melenceng kiblatmu, hah?”

“Duh, kanjeng romo, justru ini adalah keinginan Hagnyanawati. Dia akan memberikan cintanya kepada Ananda, asalkan Ananda memadunya dengan Nalawati’.

“Jagaad dewa bathara. Anakku cah bagus Boma, ketahuilah, sebenarnya Hagnyanawati ingin mengatakan, menolak halus cintamu, karena dia tidak mencintaimu. Sayangnya engkau kurang tanggap, malah engkau mencoreng mukamu sendiri dengan perilakumu yang tidak terpuji ini”.

“Aduh, sungguh bodoh saya. Maafkan saya Ayahanda”.

“Ananda Boma, sudah, jangan kau larut dalam tangismu di pesta ini. Bukankah aku sudah pernah mengatakan, bahwa cintamu kepada Hagnyanawati ibarat keplok tangan sawiji (bertepuk sebelah tangan)”.

“Lalu saya harus bagaimana Ayahanda?”

“Ya mestinya kamu harus sabar karena semua sudah terlanjur. Contohlah mempelai pada malam ini. Kedua-duanya sama-sama cinta, kelak mereka tentu akan menemukan kebahagiaan”.

“Nuwun inggih. Kula nyuwun pangestune panjenengan romo”.

“Ya, ya, duduklah kang prayogo kaki…”.

Tak lama kemudian, datanglah tamu tak diundang lainnya, rombongan keluarga Kurawa.

Tanpa ba-bi-bu, masih dengan arogansinya Sengkuni nyerocos: “Permintaanmu, ternyata mung akal-akalan. Sudah, tak usah wijaya-wijaya’an. Batalkan, batalkan pernikahan ini Gareng!”

“Ya, ya, harus batal!! Harus dibatalkan demi hukum, eh, demi putra mahkota kerajaan Hastina, Lesmana. Kalau tidak, awas!!”, gemuruh suara bala Kurawa lainnya.

Mendengar permintaan Sengkuni ini, Gareng lantas mengajak Lengkung dan Petruk mojok.

“Kita bicara baik-baik saja ya. Truk, memang kamu sudah keluar biaya, tapi baru sedikit kan? Suruh ceraikan saja anakmu, daripada nanti rumahku hancur. Kalau melihat begini apa aku tidak deg-degan?”, bisik Gareng.

“Enak saja! Aku sampai memutus urat maluku di hadapan Prabu Kresna segala, kok kamu mau berbuat macam-macam (sambil meraba-raba kapak di pinggangnya)….”.

Sementara bala Kurawa sudah berteriak-teriak provokatif.

“Sinuhun Boma, sudah, silahkan diselesaikan saja…”, Petruk kesal.

“Baiklah, akan saya babat mereka semua, Petruk”.

“Sampun, sampun, ndara Boma, mau melakukan apa njenengan?” tanya Lengkung.

“Mau saya bereskan mereka semua”.

“Sampun, sampun”.

“Maksud loh?”

“Sampun kedangon menawi mberesaken (jangan terlalu lama kalau mau membereskan)”.

“Hai Kurawa, selalu saja kalian membuat rusuh, membuat onar. Ini, hadapi aku, Boma Narakasura, putra Kresna”.

Bagaimana kelanjutan cerita ini? Apakah bala Kurawa meladeni tantangan Boma? Bagaimana sikap Kresna? Silahkan pembaca berimajinasi sendiri, karena cerita ini termasuk cerita carangan dalam kisah Mahabharata.

Cerita ini dirujuk dari lakon “Petruk Mantu” oleh Wayang Orang “Sekar Budaya Nusantara” pimpinan Ibu Nani Sudarsono. Hery Santoso (2016.01.20)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun