“Ayahanda, ini bagaimana ceritanya? Mengapa Kembang Wijayakusuma diberikan kepada anaknya Petruk? Padahal saya sudah memastikan, kalau sayalah yang akan bersanding dengan Nalawati”.
“Ananda Boma, istrimu Hagnyanawati adalah wanita yang cantik. Tidak kurang suatu apapun. Mengapa sekarang Ananda masih menginginkan Nalawati? Apakah sudah melenceng kiblatmu, hah?”
“Duh, kanjeng romo, justru ini adalah keinginan Hagnyanawati. Dia akan memberikan cintanya kepada Ananda, asalkan Ananda memadunya dengan Nalawati’.
“Jagaad dewa bathara. Anakku cah bagus Boma, ketahuilah, sebenarnya Hagnyanawati ingin mengatakan, menolak halus cintamu, karena dia tidak mencintaimu. Sayangnya engkau kurang tanggap, malah engkau mencoreng mukamu sendiri dengan perilakumu yang tidak terpuji ini”.
“Aduh, sungguh bodoh saya. Maafkan saya Ayahanda”.
“Ananda Boma, sudah, jangan kau larut dalam tangismu di pesta ini. Bukankah aku sudah pernah mengatakan, bahwa cintamu kepada Hagnyanawati ibarat keplok tangan sawiji (bertepuk sebelah tangan)”.
“Lalu saya harus bagaimana Ayahanda?”
“Ya mestinya kamu harus sabar karena semua sudah terlanjur. Contohlah mempelai pada malam ini. Kedua-duanya sama-sama cinta, kelak mereka tentu akan menemukan kebahagiaan”.
“Nuwun inggih. Kula nyuwun pangestune panjenengan romo”.
“Ya, ya, duduklah kang prayogo kaki…”.
Tak lama kemudian, datanglah tamu tak diundang lainnya, rombongan keluarga Kurawa.