“Endang Nalawati?? Siapa Endang Nalawati itu? Anak siapa dan di mana dia?”
“Endang Nalawati adalah gadis Dusun Bluluktibo. Anaknya Nala Gareng”.
“Wee lhadalah, jagaaad dewa bathara, hahaha… hmmm, ya, ya, nimaas, kalau memang itu permintaanmu, itu mudah sekali, akan aku turuti. Mengapa tidak dari dulu-dulu Dinda mengatakannya? Sudah begitu lama aku menginginkan cintamu. Kalau begitu, jer basuki, aku mohon pamit dahulu. Namun, berilah aku bekal. Antarkan kepergian kakangmu ini dengan sedikit senyumanmu”.
Hagnyanawati mengabulkan permintaan suaminya.
“Aduh biyuung, Dinda…. Terima kasih, terima kasih Dinda”.
Dusun Bluluktibo
Pagi yang cerah. Alam bersenandung melalui suara gemericik air yang sedang membaluri hamparan sawah yang menghijau dan berdendang melalui riang kicau burung-burung yang sedang bermain-main di rimbun dedaunan. Dari jauh, tampak rumah mungil tapi asri pinggir sawah, ditemani rerimbunan pohon bambu, di situ Gareng bersama keluarga kecilnya bernaung. Hari itu, Semar dan Bagong berkumpul di rumah itu bersama keluarga Gareng. Mereka berunding untuk mempersiapkan rencana pernikahan Endang Nalawati, anak Nala Gareng ya Cakrawangsa ya Bambang Sukodadi ya Pancal Pamor; dengan Lengkung Kusumo, anak Petruk ya Kantong Bolong ya Bambang Penyu Percukilan. Mereka tetap optimis dapat menyelenggarakan acara pernikahan itu meskipun dengan segala keterbatasan.
“Kamu apakah sudah siap nduk?”, tanya Gareng.
“Ya sudah to, moo. Aku kan sudah lama merencanakan rumah tangga dengan kang Lengkung Kusumo”.
“Kamu sudah tahu bagaimana seharusnya punya suami?” lanjut Gareng.
Bagong nyeletuk, “Apa perlu aku ajari? Sik, sik, sik, ojo salah paham. Pikiranmu ojo ngeres dulu. Maksudku, aku ajari bagaimana menjadi istri yang baik”.