“Ribut tapi kan tidak di sini”, Semar beralasan.
“Tapi harus adil lho mo. Maksud saya begini, …Petruk, Petruk yang juga melamar ini harusnya mendapatkan syarat yang sama”.
“Bener kang Gareng. Kalau terdengar oleh yang lainnya gimana?”, kata Bagong.
“Ya iri to…. Daripada saling iri, ya nggak adil itu namanya”, Gareng meyakinkan.
“Jadi Petruk juga kena syarat?”
“Ya, iya no… Wong syarat perpanjangan kontrak tambang saja harus diworo-woro. Kalau tidak, berbaha-ha-ha-yaa… ”.
“Ya, iya juga ya…. Terus bagaimana baiknya?”, Semar bingung.
“Romo ini gimana sih, dimintai pendapat kok malah bingung juga?”, Gareng kesal.
“Sudah, begini saja, saya akan menulis surat ke Petruk. Nanti antarkan ke dia ya Gong. Masalah transport pakai uangmu dulu, nanti dihitung belakangan”, Gareng tetap pada pendiriannya.
Dusun Kembangsore
Sore itu Dusun Kembangsore benar-benar anteng. Petruk dan istrinya, Dewi Undanawati, jagong di teras pondok. Lengkung Kusumo, anak mereka, sumringah, karena hari-harinya dilalui dengan hati berbunga-bunga.