“Ini urusanmu. Kalau pengantin perempuan minta syarat itu sudah lumrah. Kok jadinya aku yang dimarahi??”, Bagong juga tidak terima.
“Lumrah, lumrah bagaimana?!”
“Urusanmu sama Gareng, kok marah sama aku”, sambil lari Bagong menampel surat yang dipegang Petruk.
“Sabar dik, sabar dik”, Undanawati menenangkan.
“Sudah, jangan ikut campur. Lengkung, kamu di rumah saja. Istriku juga, di rumah saja. Biar, akan aku labrak Gareng!” Petruk pergi sambil menghunus kapak. Baru tiga langkah Petruk melangkahkan kakinya, dari kejauhan tampak Prabu Kresna dan Arjuna datang. Petruk mengurungkan niatnya.
“Petruk”, sapa Kresna.
“Apa?!”, jawab Petruk ketus.
“Ya jangan kasar begitu to mo”, Lengkung mengingatkan.
“Kula, Baginda Dwarawati”.
“Kelihatannya kamu begitu geram? Sambil menghunus kapak begitu, mau apa? Bukankah sebentar lagi kamu punya hajatan? Kalau memang ada masalah mbok ya dirembug baik-baik. Jangan emosi seperti itu”.
“Sinuhun, saya kan akan menikahkan anak saya Lengkung Kusumo dengan Nalawati, anaknya kang Gareng”.