“Wuiih, nulisnya dalam bentuk Sinom, Gong”.
“Memang kebiasaan kang Gareng kalau mengirim surat dalam bentuk tembang”.
Bersama surat ini, menjumpai adinda suami-istri. Dinda Petruk yang berbahagia. Pertama-tama saya sampaikan salam sejahtera. Yang kedua, untuk diketahui, tentang rencana kita berbesanan. Perkawinan Lengkung dengan Nalawati. Bisa terlaksana jika Lengkung Kusumo datang dengan bercunduk Kembang Wijayakusuma.
Selesai membaca surat, tiba-tiba saja Petruk nyaduk Bagong. Tentu saja Bagong kaget.
“Gong, kamu tahu tidak isi surat tadi. Bait terakhir maksudnya apa? Menyebut cunduk Kembang Wijayakusuma segala?”
“Yaa…, Kembang Wijayakusuma itu….” Bagong ragu.
“Kalau begini caranya, jelas kang Gareng ki esuk tempe – sore dele, mencla-mencle, clewa-clewo koyo kebo!”
“Mencla-mencle gimana?” Bagong pura-pura tidak tahu.
“Lho, dulu dia kelihatan apa, sekarang kelihatan apa?”
“Dulu jelek, sekarang sama saja”, tanggap Bagong.
“Ini hanya akal bulus kang Gareng saja. Ini alasan untuk menolak secara halus. Coba pikir. Makanya gunakan otakmu untuk mikir! Terus aku dimintai bebana, harus datang dengan membawa cunduk Kembang Wijayakusuma”, Petruk tidak terima.