“Ya, kyai, sama-sama”, Boma menerima sembah bakti Punokawan.
“Inikah yang namanya Nalawati?”, tanya Boma.
“Njiih den…”, Gareng menjawab.
“Njanur gunung, paduka rawuh di padepokan Bluluktibo, ada perlu apa ya?”, tanya Gareng.
“Begini ya Reng, kedatanganku ke sini dengan membawa berpeti-peti perhiasan dan bermacam-macam rajabrana. Saya ingin melamar anakmu Nalawati, untuk menjadi istriku”.
Mendengar maksud kedatangan Boma seperti itu lantas Dursasana mengingatkan.
“Lho-lho-lho, awas Reng, yang datang duluan ke sini Patih Hastina, hehehe…”.
“Terus terang saya merasa tersanjung. Anak saya dilamar pangeran, pertama: calon raja, yaitu ndara Lesmana Mandrakumara.. Dan ini ada lagi Raja Trajutrisna. Saya seperti kurung munggah lumbung. Namun perlu njenengan berdua ketahui, bahwa saya sudah sepakat akan berbesanan dengan adik saya Petruk”.
“Sudah, lamaran Petruk dibatalkan saja. Kalau dia marah, aku yang tanggung jawab”, Boma memaksa.
“Untuk aku saja, aku masih perjaka. Dia sudah punya istriii…”, suara Lesmana mendayu-dayu tidak terima.
“Gareng! Kamu harus luluskan permintaan kami! Sudah, jangan banyak bicara, hajar saja dia!!”, Dursasana hilang kesabaran. Ditendangnya Boma hingga terjerembab ke belakang. Pertarungan tak bisa dielakkan.