Otonomi daerah (otda) dan desentralisasi sebenarnya bukan barang baru di Indonesia meski baru popular dan memuncak pada pascarefromasi ini. Otda dan desentralisasi yang mengatur pola hubungan pemerintah pusat dengan daerah memang mengalami dinamika yang serius. Sebab, hubu-ngan ini merupakan salah pergulatan serius yang telah menguras energi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang teramat besar dalam sejarah republik (Lay 2001).
Pemerintah kolonial Belanda juga sadar akan perbedaan dan pluralitas masyarakat nusantara saat itu. Meskipun pengelolaan perbedaan itu tetap dengan tujuan untuk mempertahankan kedudukannya di nusantara. Tetapi kesadaran perlunya pembedaan pengaturan pemerintahan di tingkat lokal itu disadari dan ditunjukkan melalui terbitnya Decentralisatie Wet tahun 1903.
Segenap rangakaian peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah semuanya sepakat untuk menjalankan prinsip otda dan desentralisasi meski dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan ketika konstitusi negara kita bukan UUD 1945 sekalipun–UUD RIS 1949 dan UUDS 1950–juga menggariskan pelaksanaan otonomi dan desentralisasi di tingkat pemerintahan daerah (Kurniadi 2012).
Otonomi daerah dan desentralisasi telah lama dijalani oleh Indonesia. Meskipun tujuan akhirnya bersamaan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yaitu kesejahteraan masyarakat. Namun, terdapat juga alasan-alasan lain yang tak bisa diabaikan mengapa dipilihnya otda dan desentralisasi dalam model penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungannya dengan pusat.
Alasan-alasan itu misalnya yang paling sering kita dengar bahwa pemerintah di daerahlah yang paling tahu dan mengerti masalah serta pemecahannya di daerahnya. Pelayanan kepada masyarakat atau publik yang lebih efisien dan efektif menjadi alasan lainnya (Santoso 2010). Bahkan sampai yang sangat kulturalis bahwa perbedaan karakter dan ke-budayaan tiap daerah membuat penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak diboleh dimonopoli oleh pusat yang dikhawatirkan dapat menyera-gamkan pola pemerintahan di semua daerah.
Untuk mencapai kesejahteraan dan jawaban atas alasan-alasan penuntut otda dan desentralisasi tersebut. Pascareformasi, Indonesia bahkan menjalankan kebijakan desentralisasi asimetris kepada beberapa daerah. Daerah-daerah tersebut mendapat “gelar” otonomi khusus (Aceh, Jakarta, Papua dan Papua Barat), istimewa (Yogyakarta) dan ekonomi khusus (Batam). Atas berbagai pertimbangan–politis, ekonomis, historis dan budaya–oleh pemerintah pusat (pempus), daerah-daerah itu dianggap berbeda dengan daerah lain di Indonesia.