Â
Dalam sejarah desentralisasi Indonesia, pempus sebenarnya telah mem-berikan solusi atas perbedaan dan keistimewaan atas suatu daerah. Label daerah istimewa itu diberikan kepada daerah bahkan sejak pemerintahan Soekarno dan dilanjutkan oleh Soeharto.
Â
Bagian ini akan memberikan beberapa bentuk kebijakan pempus dalam bentuk desentralisasi asimetris kepada Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Kebijakan-kebijakan tersebut boleh dibilang sebagai solusi atas perbedaan, keunikan, kekhususan dan keistimewaan (kebinekaan) suatu daerah.
Â
Aceh ketika Indonesia merdeka merupakan salah satu karesidenan dalam Provinsi Sumatra, selanjutnya berada di bawah Provinsi Sumatra Utara melalui UU 10/1948. Namun, pada tahun 1949 melalui Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Des/WKPM/1949, Aceh menjadi provinsi yang berdiri sendiri dan lepas dari Provinsi Sumatra Utara (Djojosoekarto dkk, 2008).
Â
Sialnya, melalui UU 5/1950 Aceh kembali dimasukkan sebagai salah satu karesidenan ke dalam Provinsi Sumatra Utara. Hal ini menimbulkan gejolak yang membuat pempus mengeluarkan UU 24/1956 terkait pem-bentukan daerah otonom Aceh. Pergolakan di Aceh semakin menjadi-jadi dengan munculnya organisasi DI/TII Aceh di bawah pimpinan Daud Bereueh sebagai bagian dari jaringan DI/TII Kartosoewirjo.
Â
Sehingga, untuk meredam konflik dan menjaga keamanan Aceh, PM Hardi pada 1959 mengirim satu misi khusus yang dikenal dengan Misi Hardi. Misi ini akhirnya menghasilkan pemberian status Daerah Istimewa kepada Aceh melalui Keputusan PM RI Nomor 1/Missi/1959. Status keistimewaan ini di-kukuhkan dalam Pasal 88 UU 18/1965, yang memberikan hak-hak otonomi yang luas kepada Aceh di bidang agama, adat dan pendidikan (Djojosoe-karto dkk, 2008).
Â