Â
Namun mari kita perhatikan daerah-daerah otsus khususnya Aceh dan Papua. Laporan IGI tahun 2013 menunjukkan paradoks pembangunan yang terjadi di Aceh, padahal disiram dengan dana otsus dan tambahan dana bagi hasil migas yang cukup besar. Misalnya, tingkat kemiskinan di Aceh antara tahun 2008 – 2012 memang mengalami penurunan menjadi 19,46%. Tetapi masih berada di atas rata-rata nasioanal yang hanya 11,66%.
Â
Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh tahun 2008 – 2012 terus membaik tetapi selisih poinnya justru semakin melebar dari 0,17 menjadi 0,57. Ini mengindikasikan bahwa adanya tata kelola pemerintahan yang kurang baik di Aceh. Terbukti dengan peringkat 7 yang diraihnya dalam hal tata kelola pemerintahan yang baik dari 10 provinsi di Sumatra.
Â
Sedangkan untuk kasus Papua, berdasar pada laporan Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal (TADF) Kementerian Keuangan tahun 2012. Menun-jukkan bahwa program yang didanai melalui dana otsus seperti RESPEK dan RESPIM. Belum ada kejelasan apakah program dijalankan didasarkan pada perencanaan program dan pencapian target pembangunan wilayah tertentu atau tidak.
Â
Ini tentu karena sifat pengelolaan daerah termasuk keuangan daerah di Aceh dan Papua yang notabene asimetri itu sama dengan daerah lain di Indonesia. Padahal untuk dua daerah ini terutama Papua masih menga-lami kelemahan pada kemampuan manajemen pemerintahan dan keuangan daerah, akibat dari kapasitas  sumber daya manusia yang belum memadai. Sehingga diperlukan mekanisme atau format khusus bagi daerah-daerah asimetri dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas daerah tersebut.
Â
Desentralisasi fiskal sebagai sebuah sistem nasional memang memerlukan kontrol pusat untuk menyamakan pola pikir dalam pembangunan daerah. Tetapi, perlu disadari juga bahwa daerah memiliki cirri khas tertentu, suatu keunikan potensial tertentu yang membutuhkan perlakuan khusus dalam desentralisasi fiskal (Kaho 2012).
Â