Â
Sekarang ini, setidaknya ada lima daerah yang mendapat kebijakan de-sentralisasi asimetris yakni Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Papua dan Papua Barat. Kita patut mengapresiasi atas ditetapkannya kelima daerah ini sebagai daerah dengan otonomi khusus atau daerah istimewa. Tentu, dalam menetapkan suatu daerah asimetri atau tidak itu berdasarkan pada beberapa hal.
Â
Bagi penulis, setidaknya ada empat hal utama yang dapat dijadikan sebagai dasar atau basis asimetris suatu daerah. Keempatnya yaitu basis atau faktor politik, basis sosial dan kebudayaan, basis geografis dan basis ekonomi. Beberapa daerah atau kawasan yang ke depan dapat diberikan status otsus atau kawasan khusus yaitu Sumatra Barat, Bali dan Nusa Tenggara Timur (basis sosial dan kebudayaan).
Â
Selanjutnya, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (basis geografis). Dan Medan, Pekanbaru, Batam, Palembang, Bandung Raya, Surabaya-Gresik-Sidoarjo, Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar, Manado dan Jayapura (basis ekonomi).
Â
Namun, pelaksanaan desentralisasi asimetris di Indonesia masih setengah hati dan pempus belum memiliki komitmen yang cukup untuk melaksna-kannya dengan baik. Tiga bidang yang didesentralisasikan (kewenangan, fiskal dan pengawasan), masih memperlihatkan dengan jelas nuansa pe-nyeragaman. Tidak ada pembedaan pelaksaan desentralisasi antara daerah dengan daerah lainnya dalam tiga bidang tersebut.
Â
Akhirnya, untuk beberapa daerah yang mendapat status otsus mengalami paradoksial dan kendala di bidang pembangunan, penggunaan anggaran dan pelaporan kinerja daerah. Ini membuat kebijakan desentralisasi asimetris dan otonomi daerah pada umumnya di Indonesia menjadi semu. Â Bahkan, daerah-daerah justru dibuat ketergantungan dengan uluran tangan pempus yang berakibat pada dependensi yang tinggi dan tidak mandiri dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Â