Mohon tunggu...
Ekamara Ananami Putra
Ekamara Ananami Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Indonesian

Seorang Insan yang Cita-citanya Terlalu Tinggi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desentralisasi Asimetris: Merawat Kebinekaan dalam Negara Kesatuan

21 April 2016   13:19 Diperbarui: 4 April 2017   16:17 7782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

ABSTRAK

 

Desentralisasi asimetris merupakan salah satu ide atau wacana yang kian marak diperbincangkan oleh ilmuwan, pemerhati dan pelaku pemerintahan di Indonesia. Intensitas pembicaraan tentang desentralisasi asimetris ini tidak dapat dipisahkan dari pengalaman penyelenggaraan pemerintahan terutama pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah sekarang ini dijalan-kan di atas prinsip otonomi daerah dan desentralisasi. Kesadaran bahwa keragaman–geografis, sosiologis, historis, politis dan budaya–yang dimiliki Indonesia dari setiap daerah membuat para pemimpin nasional kita sejak kemerdekaan telah menerapkan konsep otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan kadar yang berbeda-beda.

Undang-undang pertama yang ditelurkan oleh republik yaitu UU 1/1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Telah menitikberatkan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Demikian juga dengan peraturan perundangan berikutnya mulai UU 22/1948, UU 32/1956, UU 1/1957, Perppu 6/1959 dan 5/1960, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999 sampai dengan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah di era reformasi sekarang. Pengaturan otonomi daerah ini jelas diperlukan karena konstitusi telah mengamanatkan perlunya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom dalam Pasal 18 UUD 1945.

Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan suatu keniscayaan dalam negara moderen karena dapat dijadikan sebagai sebuah indikator bahwa sebuah negara tengah melakukan proses demokratisasi. Sebab, pada prinsipnya tujuan akhir dari demokratisasi yaitu kesejahteraan masyarakat, dan otonomi daerah serta desentralisasi merupakan salah satu cara yang cukup popular untuk mengakselerasi kesejahteraan tersebut kepada masyarakat.

 

Namun, setelah hampir 70 tahun Indonesia merdeka dan selama itu pula otonomi daerah diberlakukan. Bahkan lebih lama lagi jika dihitung sejak diberlakukannnya Decentralisatie Wet tahun 1903. Kesejahteraan yang di-maksud tampaknya tidak kunjung menghinggapi segenap masyarakat dengan maksimal. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, pemerintah daerah justru tersandera dan terus berkutat pada aturan-atruran prosedural yang kadang membatasi ruang gerak dan kreativitas pemerintah daerah dalam mengatasi masalah di daerah.

 

Sementara itu, desentralisasi yang memuncak sejak 1999 justru hanya dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah semata tanpa melihat konteks suatu daerah secara komprehensif. Sehingga ada banyak daerah yang justru kelihatan tertatih-tatih membangun daerahnya setelah mendapat limpahan kewenangan. Yang ujung-ujungnya membuat banyak daerah di era otonomi malah hidup dan matinya bergantung pada kebaikan hati pemerintah pusat atas besaran alokasi anggaran yang diberikan ke daerah. Sehingga tidak sedikit orang yang pesimis dengan pelaksanaan otonomi daerah apalagi desentralisasi asimetris dalam upaya penyejahteraan masyarakat. Terlebih, konon katanya kedua hal di atas dapat mengancam eksistensi negara kesatuan.

 

Dengan melihat keragaman yang dimiliki oleh Indonesia serta permasalahan otonomi daerah dan desentralisasi dewasa ini. Penulis ber- keyakinan bahwa desentralisasi asimetris tetap menjadi jalan yang terbaik untuk mengakomodasi keragaman dan mengatasi masalah yang ada ter-sebut. Sehingga tulisan ini setidaknya bertujuan untuk menggambarkan secara lebih jelas lagi terkait konsep desentralisasi asimetris yang benar-benar asimetri.

 

Desentralisasi asimetris secara teoretis sebenarnya tergolong baru di Indonesia daripada pengembangan teori otonomi daerah dan desentralisasi yang hanya mengedepankan pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah. Desentrali-sasi asimetris tidak hanya berbicara pelimpahan wewenang, tetapi juga bagaiamana wewenang, keuangan, pengawasan dan kelembagaan didesentralisasikan secara kontekstual.

 

Selain itu, tulisan ini juga akan memberikan beberapa basis pelaksanaan desentralisasi asimetris yang dapat diterapkan di Indonesia sekaligus kritik atas pelaksanaan desentralisasi asimetris selama ini. Serta penolakan atas argumen yang menyatakan bahwa negara kesatuan seperti Indonesia tidak cocok untuk diterapkannya model desentralisasi yang asimetri. Karena, kenyataan yang ada justru negara kesatuan yang beragam seperti Indonesia perlu menerapkan desentralisasi asimetris.

 

Sehingga, dengan diterapkannya desentralisasi asimetris justru mampu menghargai dan membuat keragaman yang ada menjadi sebuah harmoni kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, ketika kebinekaan itu mampu dirawat dan dikelola dengan baik maka dapat dipastikan pula bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap eksis dan utuh. Dus, dengan sendirinya pula upaya penyejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan baik.

 

Sedangkan, tulisan ini menggunakan metode penulisan kualitatif deskriptif. Pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan literatur (primer) disertai dengan hasil pengamatan penulis pribadi (refleksi) atas penyelenggaraan pemerintahan terutama pemerintahan daerah dalam bingkai otonomi daerah dan desentralisasi.

 

Kata kunci: otonomi daerah, desentralisasi asimetris, kebinekaan, kesatuan.

 

A.   Latar Belakang

Otonomi daerah dan desentralisasi seakan menemukan jati dirinya ketika ruang demokratisasi itu dibuka melalui reformasi 1998. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah berpegang pada prinsip otonomi disertai dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan. Pelaksanaan keduanya ini sejalan dengan demokratisasi yang tengah diusahakan untuk mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat.

 

Sebagai sebuah negeri yang kaya raya, Indonesia memang perlu melak-sanakan desentralisasi setelah rezim sentralistik, yang terbukti selama 32 tahun tidak mampu mengelola kekayaan negeri dengan keliru dan tidak cukup baik. Semua orang tahu bahwa kekayaan alam kita begitu melimpah di hampir semua sektor mulai dari pertanian, kehutanan, perairan, kelautan dan pertambangan.

 

Selain kekayaan alam di atas yang telah membuat kita dijajah teramat lama. Kekayaan sosial dan budaya kita juga tidak dapat diabaikan sebagai sebuah banga yang besar. Ada puluhan etnis, ratusan suku dan bahasa yang melahirkan ribuan bentuk kesenian dan kebudayaan di masyarakat. Semuanya, praktis hampir tersebar rata di seluruh daerah yang mendiami gugusan kepulauan nusantara ini.

 

Pluralitas dan multikulturalisme tak bisa dielakkan lagi–sunatullah–dan menjadi sebuah anugerah bagi bangsa ini. Perbedaan dan keragaman yang kaya ini merupakan potensi, bahkan menjadi salah satu faktor untuk persatuan bangsa jika dikelola dengan baik. Para pendiri bangsa sadar betul akan hal tersebut sehingga lahirlah semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah sesanti–meminjam istilah Purwo Santoso–yang sering kita artikan secara sederhana-normatif yaitu meskipun kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

 

Atas dasar itu pula penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu memer-hatikan kekayaan dan perbedaan yang menjadi karakteristik khas suatu daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia harus dilakukan dengan model keindonesiaan (Lay 2001). Karena penyelenggaraan yang demikian telah digariskan pula oleh konstitusi melalui Pasal 18 UUD 1945.

 

Otonomi daerah (otda) dan desentralisasi sebenarnya bukan barang baru di Indonesia meski baru popular dan memuncak pada pascarefromasi ini. Otda dan desentralisasi yang mengatur pola hubungan pemerintah pusat dengan daerah memang mengalami dinamika yang serius. Sebab, hubu-ngan ini merupakan salah pergulatan serius yang telah menguras energi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang teramat besar dalam sejarah republik (Lay 2001).

 

Pemerintah kolonial Belanda juga sadar akan perbedaan dan pluralitas masyarakat nusantara saat itu. Meskipun pengelolaan perbedaan itu tetap dengan tujuan untuk mempertahankan kedudukannya di nusantara. Tetapi kesadaran perlunya pembedaan pengaturan pemerintahan di tingkat lokal itu disadari dan ditunjukkan melalui terbitnya Decentralisatie Wet tahun 1903.

 

Segenap rangakaian peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah semuanya sepakat untuk menjalankan prinsip otda dan desentralisasi meski dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan ketika konstitusi negara kita bukan UUD 1945 sekalipun–UUD RIS 1949 dan UUDS 1950–juga menggariskan pelaksanaan otonomi dan desentralisasi di tingkat pemerintahan daerah (Kurniadi 2012).

Otonomi daerah dan desentralisasi telah lama dijalani oleh Indonesia. Meskipun tujuan akhirnya bersamaan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yaitu kesejahteraan masyarakat. Namun, terdapat juga alasan-alasan lain yang tak bisa diabaikan mengapa dipilihnya otda dan desentralisasi dalam model penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungannya dengan pusat.

 

Alasan-alasan itu misalnya yang paling sering kita dengar bahwa pemerintah di daerahlah yang paling tahu dan mengerti masalah serta pemecahannya di daerahnya. Pelayanan kepada masyarakat atau publik yang lebih efisien dan efektif menjadi alasan lainnya (Santoso 2010). Bahkan sampai yang sangat kulturalis bahwa perbedaan karakter dan ke-budayaan tiap daerah membuat penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak diboleh dimonopoli oleh pusat yang dikhawatirkan dapat menyera-gamkan pola pemerintahan di semua daerah.

 

Untuk mencapai kesejahteraan dan jawaban atas alasan-alasan penuntut otda dan desentralisasi tersebut. Pascareformasi, Indonesia bahkan menjalankan kebijakan desentralisasi asimetris kepada beberapa daerah. Daerah-daerah tersebut mendapat “gelar” otonomi khusus (Aceh, Jakarta, Papua dan Papua Barat), istimewa (Yogyakarta) dan ekonomi khusus (Batam). Atas berbagai pertimbangan–politis, ekonomis, historis dan budaya–oleh pemerintah pusat (pempus), daerah-daerah itu dianggap berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

 

Lalu, apakah dengan diberlakukannya desentralisasi asimetris kepada daerah-daerah di atas berdampak besar pada meningkatnya taraf kesejah-teraan masyarakat di daerah? Tampaknya tidak juga, sebab pempus meskipun mengatur kekhususan atau keistimewaan daerah-daerah tersebut melalui UU. Tetapi di sisi lain, UU 32/2004 yang menjadi induk peraturan pelaksanaan pemerintahan di daerah justru menyandera kekhususan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa pempus masih setengah hati untuk melakukan desentralisasi apalagi yang asimetri kepada daerah-daerah (Kurniadi 2012). Terutama sekali berkaitan dengan desentralisasi kewenangan dan desentralisasi fiskal

 

Akibatnya, daerah-daerah yang mendapat status otonomi khusus (otsus) hampir tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan daerah non-otsus dalam menyelenggarakan pemerintahan. Alih-alih mempercepat penyejah-teraan masyarakat di daerah, pada beberapa waktu justru beberapa daerah otsus dibuat sangat bergantung pada uluran tangan pempus.

 

Bahasan lain yang tak kalah penting yang mengikuti kebijakan desentra-lisasi asimetris yaitu wacana Indonesia sebagai negara kesatuan dan ancaman disintegrasi nasional. Wacana kesatuan dan federasi merupakan perdebatan klasik bangsa ini terkait bentuk negara yang paling pas untuk Indonesia. Pelaksanaan pemerintahan nasional yang otoriter sejak orde lama diiringi sentralisasi habis-habisan pada orde baru di bawah bendera negara kesatuan. Memang menghasilkan trauma yang mendalam bagi sebagian orang yang akhirnya kembali memperdebatkan bentuk negara.

 

Apalagi konsep desentralisasi asimetris ini katanya lebih cocok atau bahkan mirip dengan konsep negara federal, sehingga sekalian saja kita beralih ke bentuk negara federasi. Daripada berada pada negara kesatuan dengan citarasa federal. Toh, salah satu bapak bangsa Mohammad Hatta juga mengusulkan berbentuk federal. Tetapi benarkan demikian? Benarkah desentralisasi asimetris itu mengancam kesatuan dan integrasi banga?

 

Pertanyaan tersebut akan terjawab pada bab selanjutnya dari tulisan ini sekaligus akan memberikan penjelasan mengapa desentralisasi asimetris penting untuk diterapkan Indonesia. Karena, penulis berkeyakinan pada dasarnya otda dan desentralisasi itu sudah menjadi pilihan yang baik.

 

B.   Alternatif Gagasan

Telah banyak ilmuwan politik dan pemerintahan yang mengkaji terkait konsep otda dan desentralisasi baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, untuk Indonesia yang plural dan multikultur dengan beragam per-bedaan yang ada. Diperlukan keberanian untuk membuat konsep desentralisasi yang unik yaitu desentralisasi yang asimetri.

 

Sudah cukup pemerintahan yang sentralistik mempertontokan arogansinya kepada bangsa atas pengabaian kepada dan pengelolaan yang salah terhadap pluralitas dan perbedaan yang ada. Kekayaan Indonesia perlu disyukuri dan dirawat salah satunya melalui kebijakan desentralisasi asimetris. Karena model ini dapat menghargai, mengakomodasi dan memberikan peluang cukup untuk mengelola segala perbedaan dan kekayaan yang ada.

 

Meskipun desentralisasi asimetris telah diterapkan oleh pempus untuk sedikit daerah. Tetapi itu belum sepenuhnya asimetri dan terkesan setengah hati dengan banyaknya peraturan yang justru menyandera ke-asimetrisan serta menghambat kemandirian daerah. Itu karena paradigma yang digunakan pempus dalam memahami desentralisasi termasuk yang asimetris masih keliru.

 

Tulisan ini selain mengurai pentingnya penerapan desentralisasi asimetris di Indonesia sekaligus kritik atas pemahaman pempus selama ini dalam menerapkan hal tersebut. Juga menarik karena akan mengurai hal-hal yang dapat membuat suatu daerah mendapat status asimetri yang tentu disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing daerah. Bahwa pemberian status desentralisasi yang asimetri tidak selalu berdasar pada pertimbangan-pertimbangan politis-pragmatis. Tetapi memang didasarkan pada pertimbangan riil dan obyektif atas suatu daerah.

 

C.   Rumusan Masalah

Kekayaan dan keragaman Indonesia yang melahirkan keunikan, pluralitas dan perbedaan merupakan satu kenyataan yang tak terbantahkan lagi. Secara geografis saja, Indonesia telah menunjukkan keunikannya, seperti yang kita hafal sejak sekolah di tingkat dasar. Bahwa Indonesia berada di antara dua benua Asia dan Australia. Serta di antara dua samudera Pasifik dan Hindia.

 

Sebagai ilustrasi, Indonesia terdiri dari 13.466 pulau bahkan sampai 17.000 pulau, memiliki lebih dari 400 suku bangsa dan lebih dari 600 bahasa serta dialek daerah (Kurniadi 2012). Dari aspek geografis saja, dapat dijadikan dasar bahwa penyelenggaraan pemerintahan terutama di tingkat lokal tidak dapat diseragamkan atau harus asimetri. Belum lagi dari aspek lain seperti ekonomi, politik, sejarah dan budaya yang karakteristik setiap daerah tentu berbeda satu sama lain.

 

Karena itu, desentralisasi asimetris merupakan jawaban sekaligus pilihan yang tepat untuk mengelola kekayaan dan ragam perbedaan sebagai sebuah anugerah tersebut. Meskipun desentralisasi asimetris tersebut bukan merupakan pilihan yang mudah bagi Indonesia bahkan seringkali menjadi dilema ketika dihadapkan dengan pluralitas dan heterogenitas bangsa (Pratikno dalam Karim dkk, 2003).

 

Berdasarkan uraian-uraian pengantar sebelumnya, maka tulisan ini dapat menjadi sebuah jawaban atas beberapa pertanyaan penulis atau mungkin segenap pembaca juga terkait desentralisasi asimetris dengan kondisi bangsa Indonesia. Bahwa sebenarnya apa itu desentralisasi asimetris dan konsep-konsep dasarnya. Bagaimana hubungan desentralisasi asimetris dengan bentuk negara kesatuan, serta mengapa penting diterapkan di Indonesia merupakan beberapa pertanyaan kunci dalam tulisan ini.

 

D.   Tujuan

Kesatuan telah dipilih oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah bentuk negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selama ini mendomi-nasi wacana pilihan bentuk negara yang oleh alat pertahanan negara (TNI) menjadi harga mati. Ekstremnya bentuk dominasi wacana kesatuan ini bahkan tercermin dalam pasal 37 ayat 5 UUD 1945 mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.

 

Pada dirinya, NKRI dihadapkan pada pluralitas dan heterogenitas bangsa yang tak bisa dielakkan. Oleh karena itu, negara membuka dirinya dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama di daerah melalui pasal 18 di dalam konstitusi sebagai jawaban, pengakuan sekaligus penghormatan terhadap keragaman yang ada di setiap daerah.

 

Tulisan ini pada hakekatnya bertujuan untuk meyakinkan segenap pembaca bahwa kebijakan desentralisasi asimetris dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu perlu dilakukan. Karena desentralisasi asimetris mampu mengakomodasi dan mengelola keragaman tiap daerah sebagai sebuah potensi untuk mencapai tujuan akhirnya yang inheren dengan tujuan akhir demokrasi yaitu kesejahteraan masyarakat.

 

Tentu selain mengurai konsep desentralisasi asimetris, tulisan ini juga akan memperlihatkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan atas pelaksanaan desentralisasi asimetris secara bersamaan dapat mengancam negara kesatuan dan integrasi nasional. Justru, negara-bangsa yang unitarian seperti Indonesia harus melaksanakan desentralisasi asimetris.

 

Pada akhirnya juga, tulisan ini bertujuan untuk memberikan catatan-catatan kritis kepada pempus atas pelaksanaan desentralisasi asimetris selama ini yang dipahami secara keliru oleh pengambil kebijakan nasional.

 

E.   Urgensi Gagasan

Gagasan terkait desentralisasi asimetris itu sudah lama disuarakan oleh pemerhati dan ilmuwan pemerintahan di Indonesia. Beberapa hal yang telah penulis sebutkan sebelumnya menjadi dasar untuk mendesak pemangku kepentingan agar menerapkan kebijakan desentralisasi asimetris. Seperti, aspek pluralitas, keragaman, keunikan, heterogenitas dan perbedaan di setiap daerah (bineka).

 

Ditambah lagi pengalaman pahit selama puluhan tahun pemerintahan di-jalankan secara sentralistik yang mengabaikan perbedaan dan potensi di setiap daerah. Malah menganggap segala macam perbedaan yang ada dapat menjadi ancaman bagi kesatuan bangsa dan mengganggu stabilitas politik rezim berkuasa.

 

Sekarang, setelah reformasi digulirkan selama 15 tahun. Desentralisasi asimetris dapat leluasa dijalankan oleh pempus kepada pemerintah daerah (pemda). Sedikitnya ada lima daerah di Indonesia yang telah diterapkan otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun, kebijakan tersebut masih setengah hati dijalankan oleh pemerintah pusat.

 

Sehingga desentralisasi dan keasimetrisan untuk beberapa daerah itu tampak parsial. Parahnya lagi, paradigma pempus akan desentralisasi asimetris menggunakan paradigma prosedural yang normatif. Bukannya menggunakan pola pikir kontekstual yang substantif. Akibatnya, kebijakan desentralisasi asimetris itu belum mampu menjawab persoalan-persoalan di daerah secara nyata dan mendalam yang menimbulkan opini bahwa kebijakan desntralisasi asimetris yang diambil pempus hanya mempertim-bangakan citra dan faktor politis semata. Oleh karena itu, gagasan atau konsep terkait desentralisasi asimetris ini tetap urgen untuk dibahas.

 

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

A.   Landasan Teori

Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan salah satu kajian penting yang dinamis dalam ilmu politik dan pemerintahan. Kesadaran bahwa pe-merintahan di tingkat lokal itu sangat berdampak langsung pada upaya penyejahteraan masyarakat membuat kajian ini semakin tidak bisa di-abaikan begitu saja. Pada dasarnya, otda dan desentralisasi itu sendiri tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

 

Salah satu argumen klasik terkait otda dan desentralisasi yaitu pernyataan yang diajukan oleh Rondinelli dan Cheema (1983). Bahwa desentralisasi merupakan proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan ke-putusan atau otoritas administratif (pemerintahan) kepada organisasi-organisasi di lapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi-otonom dan pemerintahan lokal atau organisasi non-pemerintah. Pemaknaan ini menurut Said (2008) merupakan pemaknaan dari pers-pektif politik dan dari perspektif kebijakan-administratif menurut Wasistiono (2010).

 

Sementara itu, Pollit dkk (1998) membagi desentralisasi itu dalam empat klasifikasi yaitu (1) desentralisasi politik dan desentralisasi administratif (2) desentralisasi kompetitif dan desentralisasi non-kompetitif (3) desentral-isasi internal dan devolusi (4) desentralisasi vertikal dan desentralisasi horizontal. Lebih jauh oleh Pollit dkk,  desentralisasi dipahami sebagai sebuah upaya yang bersifat ekonomis yaitu meminimalisasi biaya dari sumber daya yang ada dan meningkatkan hasil atau kinerja (Djojosoekarto dkk, 2008).

 

Sebagai akibat dari dianutnya desentralisasi, maka dalam pelaksanaannya dibentuklah daerah-daerah yang otonom yaitu daerah yang diberi hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah otonom ini selanjutnya memiliki sistem rumah tangga daerah yaitu tatanan yang berkaitan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah (Kaho 2012).

 

Lebih lanjut, Kaho membagi empat tipe sistem penyerahan kewenangan oleh pempus kepada pemda. Pertama, sistem residu yaitu ketika pempus telah menentukan secara umum terlebih dahulu tugas yang menjadi wewenang pempus dan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kedua, sistem material yaitu ketika tugas-tugas pemda ditetapkan satu per satu secara limitatif dan rinci.

 

Ketiga, sistem formal yaitu ketika pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur atau mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci  atau tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan UU. Keempat, sistem otonomi riil dan seluas-luasnya yaitu ketika penyerahan urusan, tugas dan kewenangan-kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor-faktor yang nyata dan riil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dari pemda maupun pempus itu sendiri (kontekstual).

 

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi asimetris di Indonesia telah dilaksanakan jauh sejak pemerintahan kolonial Belanda berkuasa. Meski penerapan asimetrisme itu lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan fokus mengurus Jawa semata. Namun pemerintah kolonial telah memberikan perlakuan khusus untuk wilayah-wilayah kerajaan serta dengan institusi-institusi tradisional dalam bentuk zelfbestuurende lanschappen (Kurniadi 2012).

Pelaksanaan politik otda dan desentralisasi di Indonesia yang semakin masif dalam 10 tahun terakhir melewati tahun-tahun yang sangat panjang. Namun, seperti yang diungkapkan melalui berbagai riset dan evaluasi, pengalaman pelaksanaan politik otda dan desentralisasi untuk sebagian besar gagal memenuhi janji awalnya. Sejumlah daerah justru di-hinggapi sejumlah patologi yang kronis.

 

Evaluasi internal yang dilakukan Departemen (Kementerian) Dalam Negeri sendiri menunjukkan banyak daerah yang gagal memenuhi sistem pelayanan yang lebih baik. Studi dan penelitian lain yang dilakukan oleh pemerhati pemerintahan dan masyarakat sipil dari dalam dan luar negeri, juga banyak memberikan catatan kritis atas pelaksanaan otda dan desentralisasi di Indonesia. 

 

Karena itu, kita tampaknya membutuhkan cara berpikir baru yang me-nekankan pada adanya kebutuhan untuk memerhatikan perbedaan antar-daerah dan keunikan masing-masing daerah. Sekaligus kepentingan obyektif Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa untuk merancang kebi-jakan desentralisasi ke depan (Pratikno dkk, 2010).

 

Cara berpikir atau paradigma ini dikenal dengan asymmetrical decentrali-zation, yang secara legal-konstitusional memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang inheren dalam praktek desentralisasi Indonesia. Apalagi secara empirik, Indonesia telah melaksanakan desentralisasi asi-metris di NAD, DKI Jakarta, DIY dan Papua. Bahkan banyak desain kelem-bagaan yang berangkat dari paradigma asimetri ini, seperti pengem-bangan kawasan ekonomi khusus, pusat-pusat pertumbuhan, kawasan otorita dan kota-kota mandiri. Masalahnya, praktek-praktek pengaturan daerah atau kawasan secara asimetri di atas belum terintegrasi sebagai bagian dari rezim desentralisasi di Indonesia. Masing-masing hanya menjadi rezim yang berdiri sendiri-sendiri tanpa kaitan satu sama lain.

Dalam kajian ilmu politik dan pemerintahan, pengaturan pemerintahan daerah yang berbeda selain disebut dengan asymmetrical decentralization. Juga dikenal dengan asymmetrical devolution, asymmetrical federalis atau secara umum asymmetrical intergovernmental arrangements. Beberapa hal yang membuat hadirnya desentralisasi asimetris ini yaitu terkait kapa-sitas pemda, apresiasi terhadap keunikan budaya suatu daerah, faktor sejarah dan keberagaman etnis (Djojosoekarto dkk, 2008).

 

Perbincangan terhadap desentralisasi asimetris ini semakin hangat dan marak terutama setelah pengalaman menjalankannya di era reformasi ini. Meningkatnya intensitas pembicaran tersebut salah satunya karena muncul wacana bahwa desentralisasi asimetris–berdasar pengamatan atas pengalaman pelaksanaannya–justru dapat mengancam integrasi bangsa dan mengarah pada arah federalisme yang selama puluhan tahun sebelumnya dianggap “haram” untuk didiskusikan.

 

Proses demokratisasi yang diusahakan sejak 1998 memang benar kembali membangkitkan sifat-sifat kedaerahan. Tapi itu hanya karena daerah-daerah merasa dilahirkan kembali setelah puluhan tahun mati suri berada di bawah cengkeraman rezim yang sentralistik. Sehingga, daerah merasa menemukan ruang yang luas untuk bereskpresi, mengeksplorasi dan mengembangkan budaya daerah agar tetap eksis di era globalisasi ini.

 

Memang otda tidak sendirinya memosisikan daerah secara lebih baik dalam kerangka negara kesatuan nasional. Justru sebaliknya, otda dapat memperkuat kecenderungan parokialisme dan separatisme serta diabai-kannya kepentingan-kepentingan nasional yang lebih luas daripada ter-ciptanya kepentingan daerah yang dangkal (Smith dikutip oleh Said, 2008). Tetapi jika kita berbicara Aceh dan Papua, itu merupakan wacana klasik yang lebih besar ditumpangi oleh kepentingan politik dan simbolisasi semata ketimbang bagaimana upaya untuk menyejahterakan masyarakat.

Tidak hanya masalah munculnya sifat kedaerahan yang tinggi serta ancaman integrasi nasional dapat disebabkan oleh otda dan desentralisasi asimetris. Tetapi juga masalah penguasaan sumber daya alam, politik dan ekonomi di daerah oleh penguasa daerah menjadi catatan kritis lain atas kebijakan ini. Tetapi itu terjadi hanya jika desentralisasi asimetris tidak dipahami dan dijalankan dengan baik apalagi sunguh-sungguh.

 

Meskipun potensi dan peluang akan munculnya konsolidasi parameter-paramater primordial yang dapat memunculkan rasa kedaerahan yang berlebihan itu ada dan wajib untuk dicermati. Tetapi, yang perlu digarisbawahi bahwa otda dan desentralisasi itu sendiri bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan dan sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan dan pemujaan terhadap politik kesukuan (Lay 2001).

 

Isu bahwa desentralisasi asimetris dapat mengancam eksistensi negara kesatuan juga tak lebih dari mitos murahan. Karena faktanya, justru negara penganut federalisme yang kebanyakan runtuh akibat tidak mampu mengelola perbedaan di dalam persatuan dan kesatuannya. Uni Soviet dan Yugoslavia merupakan dua contoh konkret bahwa tidak ada korelasi signifikan antara kebijakan desentralisasi asimetris dengan bentuk negara.

 

Apalagi, negara kesatuan itu pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua bentuk utama. Yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi (Kaho 2012). Dan Indonesia tampaknya memang harus memilih bentuk yang kedua–dengan sistem desentralisasi. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi terutama pada pasal-pasal penjelasan untuk pasal 1 dan pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen. Sehingga, sesungguhnya pempus tetap mem-punyai hak untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

 

B.   Pendapat-pendapat

Pada uraian di atas, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mem-bentangkan secara komprehensif landasan-landasan teoretis yang akan membingkai tulisan ini untuk menjawab rumusan-rumusan masalah yang diajukan sebelumnya. Untuk memperkuat penjelasan teoretis sebelumnya, pada bagian ini penulis akan memberikan secara singkat pendapat-pendapat tiga orang ahli politik dan pemerintahan Indonesia terkait desentralisasi asimetris.

 

Ahli pertama yaitu Cornelis Lay yang telah lama menyuarakan perlunya desentralisasi yang tidak sama (asimetri) antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dalam beberapa kesempatan dan tulisannya, Lay menyebut desentralisasi ini dengan desentralisasi yang keindonesiaan. Desentralisasi yang mampu mengakomodasi, menghargai, mengakui dan merawat perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh bangsa ini.

 

Lay mengungkapkan bahwa Indonesia atau nusantara itu pada dirinya telah mengakui dan menghormati perbedaan satu sama lain sejak lama. Argumen-argumen pokok yang bisa ditelusuri dari berbagai pengalaman bahwa stabilitas sistem bisa dicapai melalui pengaturan politik dan pe-merintahan yang bercorak desentralisasi karena di dalam format tersebut terakomodasi empat hal yang paling sensitif dalam dunia politik. Yakni pembagian kekuasaan, pembagian keuntungan, pemberdayaan lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan (Lay 2001).

 

Oleh karena itu, pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya merupakan jawaban tak terhindarkan jika substansi dari pergulatan politik di Indonesia yaitu untuk mewujudkan sebuah sistem yang stabil dan di-tegakkan di atas kebanggan dan kepatuhan pada keindonesiaan. Bahkan, dengan pemancaran kekuasaan secara geografis lewat pemberian otonomi yang luas akan berakibat pada proses demokratisasi sistem secara ke-seluruhan.

 

Namun demikian, untuk mewujudkan desentralisasi yang keindonesiaan tersebut, Lay mensyarakatkan beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, mekanisme penyelesaian konflik secara beradab dan adil yang inheren dalam demokrasi. Kedua, perlu ditegakkan mekanisme demokratis yang menjamin hak-hak minoritas. Ketiga, adanya mekanisme pemanfaatan dan pembagian hasil kekayaan alam di daerah yang berimbang dan berkelan-jutan.

 

Keempat, sentimen etnik dan keagamaan tidak boleh mengancam pro-fesionalisme dan prinsip persamaan apalagi keindonesiaan. Kelima, ber-jalannya fungsi-fungsi lintas pemerintahan seperti koordinasi dan sinkron-isasi dengan baik. Keenam, perlunya pemahaman bersama bahwa subs-tansi dari otonomi merupakan keniscayaan yang tidak boleh dikorbankan. Meski penataan kembali otonomi daerah itu memang suatu keperluan.

 

Ilmuwan kedua yang penulis angkat pendapatnya tekait desentralisasi asimetris yaitu Purwo Santoso. Santoso (2012) menyampaikan dua hal pokok mengapa asimetrisme menjadi sesuatu yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Pertama, bahwa asimetrisme merupakan urgensi untuk merespons secara kontekstual.

 

Selama ini, sebagian besar kalangan termasuk pengambil kebijakan me-maknai desentralisasi hanya semata-mata berupa pelimpahan kewe-nangan kepada daerah dan setelah dilimpahkan selesailah persoalan. Desentralisasi hanya dipandang dari perspektif aktualistis tidak dilihat secara kontekstual.

 

Sebagai gambaran, Indonesia mengklaim dan mengaku dirinya sebagai negara kepulauan dan negara maritim terutama setelah berjuang habis-habisan dalam merumuskan UNCLOS (United Nation’s Convention of Law of Sea). Tetapi, konteks kemaritiman ini tidak mewarnai agenda pem-bangunan negeri karena penataan pemerintahan tidak dijalankan pada konteks kemaritiman.

 

Ironisnya, ketika muncul daerah-daerah kepulauan yang sadar akan konteks kemaritiman dalam menyelenggarakan pemerintahan. Alih-alih mendukung dan mengapresiasi, pempus justru ketakutan dan merasa curiga. Padahal, munculnya inisiatif dari daerah-daerah kepualuan tersebut karena mereka sadar akan keunikan dan perbedaan mereka sebagai daerah yang mengandalkan sektor kemaritiman dalam kehidupannya.

 

Selanjutnya, Santoso juga mengembankan konsep desentralisasi asimetris sebagai variabel antara. Sebagai refleksi kritis, desentralisasi perlu dipo-sisikan sebagai variabel antara atau langkah antara untuk mengoptimalkan keterkaitan demokrasi dengan kesejahteraan. Sebagai variabel antara, desentralisasi harus dipandang sebagai ruang untuk mengekang penjara-han arena dan otoritas publik dari tokoh dan kekuatan yang beroperasi di tingkat lokal.Tetapi di saat yang sama, ia juga harus dimaknai sebagai ruang untuk mewujudkan gagasan demokrasi yang menyejahterakan di tingkat lokal (Santoso 2008). Sehingga, desentralisasi tidak hanya dapat dimaknai sebagai wacana administrasi negara atau admnistrasi pemerin-tahan serta domain birokrasi pemerintahan saja.

 

Pendapat terakhir yaitu konsep desentralisasi berkeseimbangan yang di-ajukan oleh Sadu Wasistiono. Setiap pergantian pemerintahan dalam periode lima tahunan, selalu ada keinginan baik yang berasal dari legis-latif maupun eksekutif untuk mengubah UU tentang pemerintahan daerah. Akibatnya, seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum dan kebingu-ngan bagi pelaksana di daerah. Sehingga, untuk mengatasinya perlu di-susun desain besar desentralisasi dengan pilihan model berkeseimbangan (Wasistiono 2010).

 

Dalam UU 5/1974, dasar filosofi yang digunakan yaitu keseragaman. Berdasarkan filosofi tersebut, pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dalam segala segi dibuat seragam. Akhirnya, pola otonomi yang digunakan bersifat simetris, dalam arti bentuk dan susunan serta isi otonom juga dibuat secara seragam. Namun, karena posisi pempus saat itu sangat kuat sehingga pola ini dapat berjalan sampai lebih dari seperempat abad. Akhirnya, dibutuhkan pola desentralisasi yang berkesimbangan.

 

Desentralisasi berkeseimbangan merupakan model eklektik yang yang di-hasilkan dari intisari pergulatan konsep yang sudah ada sejak zaman ke-merdekaan. Model ini diyakini akan dapat diterima oleh masyarakat karena secara filosofis telah sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara yang mengutamakan keselarasan dalam dinamika. Beberapa pasal dalam UU 32/2004 memang menggunakan model ekletik.

 

Seperti dalam hal pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam UU 32/2004 merupakan perpaduan antara structural efficiency model dengan local democracy model. Melalui model ini, kepala daerah (kada) dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung juga kepada rakyat. Sementara itu, DPRD bukan lagi lembaga legislatif yang terpisah melain-kan bersama-sama kada (eksekutif) menjadi bagian dari pemerintahan.

 

Dengan model berkeseimbangan, paling tidak akan dapat mengurangi potensi konflik antara pempus dengan pemda. Sehingga semua energi bangsa dapat lebih terarahkan pada upaya pembangunan nasional yang pada gilirannya membuat Indonesia menjadi negara maju yang dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.

 

C.   Solusi Sebelumnya

Dalam sebuah negara apalagi berbentuk kesatuan seperti Indonesia. Maka produk hukum yang berlaku secara nasional itu dibuat dan ditetapkan oleh pempus bersama-sama DPR sebagai lembaga legislasi. Demikian pula ke-wenangan untuk menetapkan desentralisasi asimetris untuk sebuah daerah itu berada di tangan pusat.

 

Dalam sejarah desentralisasi Indonesia, pempus sebenarnya telah mem-berikan solusi atas perbedaan dan keistimewaan atas suatu daerah. Label daerah istimewa itu diberikan kepada daerah bahkan sejak pemerintahan Soekarno dan dilanjutkan oleh Soeharto.

 

Bagian ini akan memberikan beberapa bentuk kebijakan pempus dalam bentuk desentralisasi asimetris kepada Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Kebijakan-kebijakan tersebut boleh dibilang sebagai solusi atas perbedaan, keunikan, kekhususan dan keistimewaan (kebinekaan) suatu daerah.

 

Aceh ketika Indonesia merdeka merupakan salah satu karesidenan dalam Provinsi Sumatra, selanjutnya berada di bawah Provinsi Sumatra Utara melalui UU 10/1948. Namun, pada tahun 1949 melalui Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Des/WKPM/1949, Aceh menjadi provinsi yang berdiri sendiri dan lepas dari Provinsi Sumatra Utara (Djojosoekarto dkk, 2008).

 

Sialnya, melalui UU 5/1950 Aceh kembali dimasukkan sebagai salah satu karesidenan ke dalam Provinsi Sumatra Utara. Hal ini menimbulkan gejolak yang membuat pempus mengeluarkan UU 24/1956 terkait pem-bentukan daerah otonom Aceh. Pergolakan di Aceh semakin menjadi-jadi dengan munculnya organisasi DI/TII Aceh di bawah pimpinan Daud Bereueh sebagai bagian dari jaringan DI/TII Kartosoewirjo.

 

Sehingga, untuk meredam konflik dan menjaga keamanan Aceh, PM Hardi pada 1959 mengirim satu misi khusus yang dikenal dengan Misi Hardi. Misi ini akhirnya menghasilkan pemberian status Daerah Istimewa kepada Aceh melalui Keputusan PM RI Nomor 1/Missi/1959. Status keistimewaan ini di-kukuhkan dalam Pasal 88 UU 18/1965, yang memberikan hak-hak otonomi yang luas kepada Aceh di bidang agama, adat dan pendidikan (Djojosoe-karto dkk, 2008).

 

Namun, pelaksanaan keistimewaan ini tidak berjalan dengan baik selama pemerintahan Soeharto berkuasa. Baru setelah Reformasi 1998, keistime-waan Aceh diperkuat lagi dengan UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi DIA. Selain UU tersebut, keistimewaan Aceh juga ditegaskan di dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000 yang merekomendasikan pempus dan DPR untuk menge-luarkan UU otsus bagi Aceh.

 

Akhirnya, Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 9 Agustus 2001 menandatangani UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD. Setelah konfrontasi republik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ber-akhir melalui Kesepakatan Helsinki pada 15 Agustus 2005. Untuk men-ciptakan kedamaian di Aceh dan sebagai bentuk komitmen republik atas Kesepakatan Helsinki. Maka dikeluarkanlah UU 11/2006 tentang Peme-rintahan Aceh (UU PA), yang menegaskan desentralisasi asimetris dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh.

 

Sementara itu, Jakarta telah ditetapkan sebagai ibukota pemerintah RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Serangkaian peraturan perundang-undangan menyertai pembentukan Jakarta sebagai daerah khusus ibukota negara. Mulai dari 1948 diberi nama dengan Pemerintah Nasional Kota Jakarta, 20 Februari 1950 menjadi Stad Gemeente Batavia lalu 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praja Jakarta.

 

Lalu, pada 1958 sebagai daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya. Tahun 1961 melalui PP 2/1961 jo UU 2/1961, dibentuklah Peme-rintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. UU 10/1964 menyatakan DKI Jakarta Raya tetap menjadi ibukota dengan nama Jakarta (Djojosoekarto dkk, 2008).

 

Sama dengan Aceh, selama Soeharto berkuasa perbedaan Jakarta hanya karena pemimpin Jakarta dimasukkan dalam protokoler kenegaraan dan sistem pengangkatan untuk walikota. Selebihnya, Jakarta tidak lebih sebagai wajah pempus yang otoriter dan menguras daerah-daerah lain untuk membangun dirinya sendiri. Sementara untuk menundukkan daerah-daerah tersebut digunakan mekanisme sticks and carrots (Lay 2001).

 

Setelah Soeharto jatuh, republik mengeluarkan UU 34/1999 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang sebutan pemda berubah menjadi pemprov DKI Jakarta dan otonominya tetap berada di tingkat provinsi. Sampai akhirnya diganti dengan UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI.

 

Sedangkan untuk Yogyakarta, Koesnadi Hardjosoemantri mengingatkan bawhwa proses pembentukan Yogyakarta sebagai daerah istimewa (DI) itu bukan tanpa modal. Selain atas kemauannya sendiri, jadinya Yogyakarta sebagai DI juga sejalan dengan UUD 1945. Sehingga proses pengistime-waan tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja (Hariadi dan Kristanto dalam Rosari, 2011).

 

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, predikat keistimewaan yang di-dapat oleh Yogyakarta itu dikenal dengan sebutan ijab kabul antara republik dengan Yogyakarta. Pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dan Paduka Paku Alam (PA) VIII, menge-luarkan amanat yang amat terkenal itu yang salah satu isinya menyebut bahwa Yogyakarta dan Adikarto merupakan bagian dari RI yang bersifat istimewa.

 

Amanat tersebut dibalas dengan surat oleh Presiden Soekarno pada tanggal 7 September 1945 yang mengakui keberadaan Yogyakarta sebagai DI. Surat tersebut sebenarnya bertanggal 19 Agustus 1945 ketika Soekarno mendapat informasi dari GBPH Puroboyo, sebagai anggotaa PPKI dari Yogyakarta bahwa Yogyakarta tetap setia kepada RI. Namun, Soekarno baru mengirimnya setelah Sultan dan PA mengeluarkan amanat (Soewarno dalam Rosario, 2011).

 

Selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta diatur dalam UU 22/1948 dan secara formal dibentuk dengan UU 3/1950 tentang Pembentukan DIY yang diubah dengan UU 19/1950. Setelah reformasi, melalui UU 22/1999 Yogyakarta mempertanyakan bentuk keistimewaannya yang dirasa tidak diakomodasi lagi pun demikian dengan UU 32/2004 (Djojosekarto dkk, 2008).

 

Sehingga, setidaknya sejak tahun 2006 atas dasar sejarah dan budaya, pemda DIY yang didukung oleh kraton, kadipaten dan hampir seluruh masyarakat Yogyakarta. Berjuang untuk mendapat kembali status dan bentuk keistimewaannya yang akhirnya dijawab oleh pempus dan DPR dengan UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY atau lebih dikenal dengan sebutan UUK.

 

Terakhir untuk Papua, penggunaan kembali nama Papua setelah puluhan tahun bernama Irian Jaya dan sebelumnya Irian Barat merupakan bentuk pengakuan mendasar atas daerah ini terlepas dari desakan yang sangat kuat juga dari elit-elit lokal yang menginginkan kembali penggunaan nama Papua (Djojosekarto dkk, 2008).

 

Sebagaimana sejarah mencatat, bahwa sejak Irian Barat dibebaskan dari penjajahan Belanda pada 1964 sampai 1998. Daerah ini menjadi salah satu daerah yang terbelakang dari segala sisi (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, infrastruktur dan lain-lain). Daerah ini juga sama sekali tidak dianggap istimewa kecuali hanya karena kekayaan alamnya yang melimpah ruah dan menjadi target penjarahan oleh negara berbagi bersama dengan korporasi asing.

 

Namun, sejak reformasi bergulir dan tumbangnya rezim otoriter yang sentralistik. Desakan perubahan yang keras disuarakan oleh elit-elit lokal Papua membuat cemas dan khawatir republik. Sehingga pada 1999, MPR memandang perlunya pemberian status otsus bagi Papua bersama dengan Aceh yang diamanatkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 (Djojosoekarto dkk, 2008).

 

Momentum perubahan ini mendapat dukungan dari Presiden Abdurrahman Wahid dengan menyetujui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua tahun 2000 yang tertuang dalam Keputusan DPRD Irian Jaya No. 7/DPRD/2000. Setelah itu, delegasi Papua terus berjuang untuk adanya kebijakan otonomi khusus bagi Papua yang akhirnya mendapat hasil dengan dikeluarkannya UU 21/2001 tentang otsus bagi Provinsi Papua.

 

Selanjutnya, Presiden Megawati tahun 2003 mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 1 yang membagi Provinsi Papua menjadi dua yakni Papua dan Irian Jaya Barat dan berubah menjadi Papua Barat. Keberhasilan Papua dan Aceh mendesak pemberlakuan khusus bagi mereka oleh pempus inilah yang kembali membuka cakrawala akan pentingnya desen-tralisasi asimetris dalam NKRI.

 

Uraian di atas sebenarnya merupakan solusi yang telah diambil pemer-rintah untuk menghadapi kebinekaan dan dinamika politik yang terjadi di dalam negara kesatuan ini. Kebijakan desentralisasi asimetris merupakan keputusan yang tepat dan patut untuk diapresiasi. Sayangnya, kebijakan ini tidak diikuti dengan kesungguhan pemerintah nasional untuk mem-berlakukan desentralisasi asimetris secara kontekstual.

 

Daerah-daerah di atas, kecuali mungkin Jakarta dan Yogyakarta masih merupakan daerah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang relatif rendah. Yang paling jelas, dengan masih adanya konflik antara hubungan pempus dengan pemda menunjukkan bahwa solusi yang diberikan di atas belum komprehensif. Akibatnya, daerah seringkali berhadap-hadapan dengan pusat terutama berbicara masalah kewenangan dan keuangan.

 

Sehingga, bagi penulis perlu ditinjau kembali format desentralisasi asimetris yang paling cocok dengan Indonesia. Bukan saja masalah apa dan bagaiman desentralisasi asimetris itu dijalankan tetapi juga terkait hal-hal apa saja yang dapat menjadikan suatu daerah itu pantas untuk diberikan kebijakan desentralisasi yang asimetri. 

 

BAB III: METODOLOGI PENULISAN

Seperti yang disampaikan pada bagian-bagian awal, bahwa tulisan ini merupakan tulisan kualitatif. Seperti diketahui, tulisan atau penelitian kualitatif merupakan tulisan yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara-cara kuantifikasi (Ghony dan Almanshur, 2012).

 

Lebih jauh, tulisan jenis  ini lebih menekankan pada kualitas atau hal ter-penting suatu barang atau jasa. Hal terpenting itu dapat berupa kejadian, fenomena, kebijakan dan gejala sosial. Penelitian kualitatif ini biasanya untuk menunjukkan kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsio-nalisasi organisasi, pergerakan sosial, dampak kebijakan dan hubungan kekerabatan.

 

Dalam metode penelitian kualitatif terdapat beberapa cara atau teknik pengumpulan data antara lain teknik yang alamiah berupa studi pustaka atau literatur (sumber data primer), tetapi banyak pula yang menggunakan teknik-teknik observasi, partisipasi dan dokumentasi. Untuk kesempatan ini, penulis lebih cenderung menggunakan teknik studi pustaka.

 

Pustaka yang dimaksud dalam tulisan ini dan menjadi sumber yaitu buku, artikel, jurnal dan laporan penelitian atau laporan evaluasi. Selain penggu-naan sumber-sumber pustaka tersebut, penulis juga menggunakan teknik observasi atau pengamatan. Namun, pengamatan di sini tidak diartikan sebagai proses pengamatan lapangan. Tetapi pengamatan pribadi atas praktek dan pemberitaan penyelenggaraan desentralisasi (refleksi).

 

Karena tulisan ini merupakan tulisan kualitatif dan metode pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka. Ditambah dengan pengamatan atau lebih tepatnya refleksi atas penyelenggaraan desentralisasi dan pe-merintahan di daerah. Maka analisis data atas tulisan ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif.

 

Data-data yang didapat itu dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran serta penjelasan terkait data tersebut (reduksi data). Analisis ini cenderung menggunakan analisis strukturalisme, bahwa perbaikan dan perubahan itu dapat dilakukan dengan cara-cara restrukturisasi untuk mengatasi permasalahan yang ada. Selain itu juga menggunakan teknik penarikan simpulan serta verifikasi data.

 

BAB IV: PEMBAHASAN

A.   Basis Asimetris

 

Untuk menentukan suatu daerah asimetri atau tidak dengan daerah lain yang kemudian ditentukan sebagai daerah yang diterapkan kebijakan desentralisasi asimetris. Tentu terdapat beberapa hal dasar yang membuat daerah itu asimetri dengan yang lain. Sehingga, masyarakat dapat dengan mudah membedakan daerah yang asimetri tersebut dengan daerah lain.

 

Bagi penulis, setidaknya ada empat hal yang dapat menjadi basis asimetri bagi sebuah daerah. Keempat hal tersebut yaitu basis politik, basis sosial dan budaya, basis geografis dan basis ekonomi. Munculnya empat basis ini tidak dapat dilepaskan dari keragaman yang dimiliki oleh Indonesia. Dan keempatnya penulis anggap sudah cukup untuk membedakan asimetri suatu daerah dengan daerah lain.

 

Pertama, basis politik. Faktor politik ini tidak dapat dipisahkan dari latar sejarah daerah tersebut terutama sejarah integrasi daerah itu dengan pemerintah republik. Pengalaman pelaksanaan desentralisasi asimetris selama ini menunjukkan faktor politik seringkali menjadi alasan utama bagi pemerintah republik untuk memberikan kebijakan istimewa. Meskipun hal tersebut tidak banyak dan tidak sering diakui oleh pempus.

 

Aceh merupakan salah satu daerah yang aspek politiknya lebih utama ketimbang aspek lain dalam pemberian kebijakan otsus melalui UU 18/2001 dan UU 11/2006. Lagi-lagi, meskipun pemerintah–pusat maupun daerah–mengaku otsus untuk Aceh tersebut lebih karena budaya Aceh yang unik dengan daerah lain terutama penggunaan syariat Islam dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari.

Konflik antara Aceh dengan pempus yang berlangsung selama ini baik karena alasan politis maupun ekonomi merupakan titik tolak mengapa faktor politik menjadi basis asimetri bagi Aceh. Perlawanan Aceh yang tercermin dalam bentuk GAM dengan aroma separatisme yang kuat meembuat konflik antara daerah dengan pusat menjadi-jadi (Pratikno dkk, 2010).

 

Tentu saja kelakuan dan sikap Aceh yang demikian membuat pempus harus memutar otak jauh lebih keras untuk menghadapi atau merespons tuntutan Aceh. Isu persatuan dan kesatuan nasional menjadi dasar prag-matis bagi pusat untuk menetapkan desentralisasi asimetris bagi Aceh dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Selain Aceh, daerah lain yang faktor politik menjadi dominan dalam pemberian otsus yaitu Papua.

 

Kedua, basis sosio-budaya. Keragaman yang dimiliki Indonesia sudah barang tentu tidak dapat dipisahkan dari keragaman dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Kebudayaan nusantara yang telah hadir dan eksis di kehidupan masyarakat jauh sebelum Indonesia moderen terbentuk merupakan basis asimetri suatu daerah.

 

Namun, itu saja tidak cukup. Penyelenggaraan pemerintahan lokal di suatu daerah dengan segala keunikan dan kearifannya menjadi pendukung kuat untuk basis sosio-budaya ini. Kelestarian tradisi dan norma-norma lokal dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini menjadi poin tambahan bagi suatu daerah untuk diberikan kebijakan asimetri.

 

Apalagi, seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa pemerintah kolonial Belanda saja saat itu membuat ratusan–sekitar 250–buah perjanjian dan kontrak dengan daerah atau institusi-institusi tradisional. Setidaknya ada dua bentuk keistimewaan satuan-satuan pemerintahan lokal (asli) dari sudut sejarah yaitu susunan pemerintahan yang berbentuk volksgemeen-schappen seperti nagari, lembang, gampong marga dan sebagainya. Serta pemerintahan yang berbentuk zelfbestuurende landschappen yaitu pengakuan kepada daerah eks praja yang bersifat kerajaan seperti kepada Yogyakarta (Pratikno dkk, 2010).

 

Yogyakarta merupakan daerah yang menjadi contoh paling tepat dari pelaksanaan desentralisasi asimetris yang berbasis sosio-budaya ini. Lestarinya tradisi-tradisi Jawa (Mataram) dalam kehidupan masyarakat di tengah-tengah moderenisasi dan sebagai daerah urban yang multikultur. Disertai pula dengan eksisnya institusi dan perangkat-perangkat pemerintahan lokal. Menjadikan daerah ini berada di posisi terdepan dalam menjaga keragaman tradisi dan budaya nusantara. Sehingga, sudah menjadi keniscayaan jika daerah ini diberlakukan kebijakan desentralisasi asimetris.

 

Daerah lain yang menurut penulis juga pantas menjadi asimetri dengan basis sosio-budaya ini yaitu Sumatra Barat, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Tiga daerah ini selain Yogyakarta, merupakan daerah yang konsisten dan mampu mempertahankan kebudayaannya sampai sekarang. Kehidupan masyarakat di daerah ini juga masih sangat kental diwarnai dengan tradisi dan kearifan lokal.

 

Ketiga, basis geografis. Sebagai negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau dan disatukan oleh lautan. Indonesia memiliki posisi geografis yang sangat strategis dalam ruang politik dan ekonomi internasional. Sehingga, aspek geografis tidak dapat diabaikan dan diperlukan perlakuan khusus untuk mengelolanya dengan baik.

 

Untuk basis geografis ada dua daerah yang pantas untuk asimetri dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah yaitu daerah yang berbentuk kepulauan dan daerah perbatasan atau terdepan atau terluar. Kedua daerah ini sangat penting bagi Indonesia karena memiliki nilai geo-strategis dan geo-politik yang cukup tinggi.

 

Daerah kepulauan tentu tidak bisa disamakan dengan daerah non-kepulauan. Pulau-pulau yang disatukan oleh laut dalam daerah tersebut membuatnya perlu pengelolaan daerah yang khas kepulauan. Hal itu untuk memastikan masyarakat yang ada di semua pulau memiliki aksesibi-litas, fisibilitas, fasilitas dan tingkat kesejahteraan yang sama. Ditambah lagi dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan, membuat daerah kepulauan memerlukan penggunaan manajemen pemerintahan yang berbasis kepulauan dan kelautan (kemaritiman).

 

Sehingga, jika ada wacana daerah-daerah kepulauan menuntut penye-lenggaraan pemerintahan daerah yang asimetri. Itu patut diapresiasi dan direspons secara positif oleh pempus, bukan justru mencurigai aksi mereka. Daerah-daerah yang masuk dalam desentralisasi asimetris ber-basis geografis (kepulauan) yaitu Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Maluku Utara.

 

Sementara untuk daerah dengan geografis yang berbatasan langsung dengan negara tetangga atau daerah terdepan dan terluar. Daerah perbatasan memiliki nilai politik yang strategis terutama untuk menunjukkan kedaulatan kepada negeri tetangga. Sudah sering kita mendengar pemberitaan dan informasi tentang permasalahan yang ada di daerah perbatasan.

 

Masalah klasik seperti bergesernya patok atau tapal batas negara merupakan salah satu masalah krusial yang sampai saat ini masih terjadi. Kasus Sipadan dan Ligitan tentu merupakan tamparan keras yang memalukan bagi Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Permasalahan semakin rumit ketika kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat perbatasan itu jauh lebih rendah ketimbang tetangga mereka di seberang.

 

Tidak mengherankan jika banyak warga negara kita di perbatasan terutama yang berbatasan dengan Malaysia. Lebih senang menggunakan mata uang ringgit daripada rupiah, transaksi ekonomi lebih gampang dan dekat dilakukan dengan tetangga ketimbang dengan negeri sendiri. Akibatnya, tidak sedikit pula warga negara kita yang menggadaikan kewarganegaraannya hanya karena masalah ekonomi.

 

Munculnya konsep membangun kota di beranda depan rumah, menjadi salah satu alternatif yang harus diperbincangkan secara serius oleh segenap pemangku kepentingan di negeri ini. Pemusatan pembangunan untuk daerah perbatasan sudah saatnya dilakukan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, sosial dan pelayanan publik yang baik dengan daerah lain apalagi dengan tetangganya.

 

Untuk desentralisasi asimetris yang berbasis geografis (perbatasan) ini, daerah yang cocok bagi penulis yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Papua. Terutama untuk daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia (timur), penulis merasa perlu untuk disegerakan.

 

Keempat, basis ekonomi. Ada beberapa daerah di Indonesia yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta beberapa daerah lain yang prospektif untuk dikembangkan menjadi pusat-pusat per-tumbuhan dan pengembangan ekonomi baru.

 

Sebenarnya, pempus telah sadar perlunya perlakuan khusus kepada daerah-daerah tersebut. Tentu kita mengenal dengan sebutan kawasan industri, kawasan pengembangan ekonomi terpadu , kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas, tempat penimbunan berikat dan kawasan ekonomi khusus. Yang semuanya merupakan kawasan-kawasan yang ditetapkan oleh pempus melalui beragam ketetapan peraturan seperti Keppres, PP, Perppu sampai UU (Pratikno dkk, 2010).

 

Khusus untuk daerah yang berbasis ekonomi ini, penulis menilai bentuk-nya dapat berupa kota metropolitan atau kawasan megapolitan (lintas daerah) dilihat dari struktur dan kekuatan ekonomi. Kehadiran kawasan-kawasan ini juga penting dalam rangka pemerataan titik-titik pertum-buhan ekonomi supaya tidak berpusat atau didominasi oleh Jawa semata.

 

Kawasan megapolitaan Jabodetabek merupakan salah satu daerah yang jelas masuk dalam kategori desentralisasi asimetris berbasis ekonomi ini. Selain Jabodetabek, untuk Jawa setidaknya ada dua kawasan lagi yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan megapolitan yaitu Bandung Raya dan Sugresi (Surabaya, Gresik dan Sidoarjo).

 

Di luar Jawa, daerah yang paling berpotensi untuk menjadi kawasan megapolitan yaitu Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar). Sementara untuk kota metropolitan yaitu Pekanbaru, Medan, Palembang, Batam, Balikpapan, Pontianak, Manado dan Jayapura. Kawasan atau daerah-daerah ini perlu menyelenggarakan pemerintahan daerah yang asimetri untuk mengelolan potensi perekonomian yang ada di daerahnya.

 

Setidaknya, keempat hal di ataslah yang dapat menjadi basis bagi suatu daerah untuk ditetapkan sebagai daerah yang asimetri dalam menyeleng-garakan pemerintahan daerah. Sementara untuk daerah khusus ibukota, sengaja penulis tidak cantumkan karena sebuah daerah yang menjadi ibukota negara seperti Jakarta itu, sudah seharusnya untuk diperlakukan berbeda dengan daerah lain. Perlakuan khusus untuk ibukota negara juga telah lazim dilakukan oleh hampir seluruh negara di dunia.

 

Selain keempat basis asimetri di atas, penelitian Djojosoekarto dkk (2008). Menunjukkan bahwa pemberian otsus kepada daerah itu juga dipengaruhi oleh tinggi rendah atau kuat lemahnya antara dua variabel yang saling memengaruhi yaitu variabel desakan daerah dan akseptansi pusat.

 

Jika desakan daerah kuat dan akseptansi pusat tinggi maka pemberian kebijakan otsus cenderung lebih cepat dan mudah seperti yang terjadi pada Aceh dan Papua. Sementara jika desakan daerah kuat tetapi aksep-tansi pusat rendah maka pemberian otsus akan penuh dinamika dan tarik ulur seperti yang terjadi pada Yogyakarta.

 

Selanjutnya, jika desakan daerah kuat tetapi akseptansi pusat tinggi maka pemberian otsus itu tidak menemukan kendala berarti seperti yang terjadi pada Jakarta. Dan jika desakan daerah lemah dibarengi dengan aksep-tansi pusat rendah pula maka pemberian otsus hanya sekadar wacana yang kadang timbul tenggelam seperti yang terjadi pada Riau.

 

Tinggal, yang menjadi pertanyaan yaitu apakah kebijakan desentralisasi asimetris itu diterapkan untuk tingkat provinsi atau kabupaten/kota? Pertanyaan ini perlu segera dijawab, namun pada kesempatan lain yang memang khusus kesempatan atau tulisan itu memperbincangkan tema tersebut.

 

B.   Desentralisasi Asimetris Semu

 

Seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya bahwa pelaksanaan desentralisasi asimetris khususnya di era reformasi ini dilaksanakan dengan semu dan tidak sepenuh hati oleh pempus. Karena, meskipun beberapa daerah di Indonesia telah diakui dan ditetapkan berbeda dengan daerah lainnya. Tetapi pada banyak aspek, pemandangan “seragam” itu masih sangat tampak terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

 

Pertama, terkait dengan urusan-urusan daerah. Kewenangan merupakan salah satu item yang didesentralisasikan oleh pempus ke daerah. Di dalam UU 32/2004 tentang pemda terdapat dua urusan utama daerah yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berjumlah 26 urusan seperti pendidikan dan kesehatan. Sementara urusan pilihan berjumlah delapan urusan seperti pertanian dan kehutanan.

 

Masalah muncul karena adanya kewajiban daerah untuk mengerjakan 26 urusan tersebut. Penyerahan urusan dari pusat ke daerah tidak meme-nuhi aspek edukasi karena pempus tidak melihat sejauh mana kesiapan pemda dalam menjalankan urusan tersebut. Kesiapan tersebut terutama menyangkut masalah sumber daya manusia dan infrastruktur di setiap daerah yang berbeda-beda (Kaho 2012).

 

Ditambah lagi pempus memiliki kewenangan untuk membuat Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang berfungsi untuk mengatur hubungan antara tingakatan dan susunan pemerintahan baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah dalam pelaksanaan suatu urusan peme-rintahan. Masalah muncul karena NSPK ini berlaku untuk semua daerah dengan ketentuan yang sama pula di setiap daerah.

 

Hal di atas justru mengingkari prinsip asimetri yang dijalankan oleh bebe-rapa daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Daerah-daerah dengan otsus tidak ada bedanya dengan daerah-daerah non-otsus dalam mengerjakan urusan dan NSPK penyelenggaraan pemerintahan. Kita bisa bayangkan misalnya, karena penyeragaman yang dibuat oleh pempus membuat jenis pekerjaan, fungsi, wewenang, tanggung jawab dan per-tanggungjawaban seorang camat di Kota Yogyakarta sama persis dengan apa yang dikerjakan oleh seorang camat di Kabupaten Puncak.

 

Sehingga, daerah-daerah otsus yang sebenarnya memiliki kewenangan khusus sesuai dengan UU yang membentuknya. Menjadi tidak leluasa dan penuh keterbatasan karena adanya berbagai macam perangkat peraturan dari pusat yang mengamputasi kekhususan-kekhususan tersebut. Ter- utama dari UU 32/2004 sendiri yang menjadi perarturan induk dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

 

Kedua, terkait dengan anggaran atau fiskal. Desentralisasi fiskal juga merupakan salah satu item yang didesentralisasikan kepada pusat. Distri- busi fiskal ini diperlukan untuk mengimbangi distribusi kewenangan atau urusan yang telah diberikan sebelumnya. Apalagi UU 32/2004 menggu-nakan prinsip uang mengikuti fungsi.

 

Desentralisasi fiskal secara umum bertujuan untuk (1) mengurangi ketim-pangan fiskal antara pusat dan daerah (2) mengurangi ketimpangan fiskal antardaerah (3) menjamin keberlanjutan fiskal di daerah dan (4) mendo-rong kinerja daerah. Dengan kata lain, daerah diharapkan mampu melaku-kan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana dan keadilan (Kaho 2012).

 

Bagi daerah-daerah otsus, sumber pendapatan daerah sesuai dengan UU 33/2004 terkait perimbangan keuangan antara pempus dan pemda, diperoleh dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Tetapi juga, daerah-daerah otsus mendapat dana tambahan berupa dana otsus atau dana keistimewaan serta tambahan dana bagi hasil seperti yang diperoleh Aceh dari sektor minyak dan gas.

 

Namun mari kita perhatikan daerah-daerah otsus khususnya Aceh dan Papua. Laporan IGI tahun 2013 menunjukkan paradoks pembangunan yang terjadi di Aceh, padahal disiram dengan dana otsus dan tambahan dana bagi hasil migas yang cukup besar. Misalnya, tingkat kemiskinan di Aceh antara tahun 2008 – 2012 memang mengalami penurunan menjadi 19,46%. Tetapi masih berada di atas rata-rata nasioanal yang hanya 11,66%.

 

Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh tahun 2008 – 2012 terus membaik tetapi selisih poinnya justru semakin melebar dari 0,17 menjadi 0,57. Ini mengindikasikan bahwa adanya tata kelola pemerintahan yang kurang baik di Aceh. Terbukti dengan peringkat 7 yang diraihnya dalam hal tata kelola pemerintahan yang baik dari 10 provinsi di Sumatra.

 

Sedangkan untuk kasus Papua, berdasar pada laporan Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal (TADF) Kementerian Keuangan tahun 2012. Menun-jukkan bahwa program yang didanai melalui dana otsus seperti RESPEK dan RESPIM. Belum ada kejelasan apakah program dijalankan didasarkan pada perencanaan program dan pencapian target pembangunan wilayah tertentu atau tidak.

 

Ini tentu karena sifat pengelolaan daerah termasuk keuangan daerah di Aceh dan Papua yang notabene asimetri itu sama dengan daerah lain di Indonesia. Padahal untuk dua daerah ini terutama Papua masih menga-lami kelemahan pada kemampuan manajemen pemerintahan dan keuangan daerah, akibat dari kapasitas  sumber daya manusia yang belum memadai. Sehingga diperlukan mekanisme atau format khusus bagi daerah-daerah asimetri dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas daerah tersebut.

 

Desentralisasi fiskal sebagai sebuah sistem nasional memang memerlukan kontrol pusat untuk menyamakan pola pikir dalam pembangunan daerah. Tetapi, perlu disadari juga bahwa daerah memiliki cirri khas tertentu, suatu keunikan potensial tertentu yang membutuhkan perlakuan khusus dalam desentralisasi fiskal (Kaho 2012).

 

Baik dalam UU 32/2004 maupun UU 33/2004 serta UU 29/2009 tentang pajak dan retribusi daerah. Ternyata belum mampu meningkatkan ke-kuatan fiskal bagi pemda sehingga menyebabkan ketergantungan yang cukup tinggi dari pusat. Sehingga tujuan desentralisasi untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah maupun antardaerah belum dapat dikatakan berhasil dicapai (Jaya 2010).

 

Ketergantungan yang tinggi atas uluran tangan pusat ini membuat ruang gerak daerah terbatas dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Jika suatu daerah dianggap “bandel” atau tidak memenuhi prosedur dan ketentuan yang ditetapkan oleh pusat. Maka penundaan pengucuran dana perimbangan oleh pusat ke daerah menjadi senjata ampuh untuk meng-hadapinya. Padahal menurut Kaho (2012), berdasar laporan Kementerian Keuangan tahun 2011 menunjukkan bahwa persentase dana perim- bangan rata-rata mencapai 70% dari total pendapatan daerah.

 

Ketiga, terkait desentralisasi pengawasan. Sebagai negara kesatuan, aspek pengawasan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam proses dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam UU 32/2004, pada dasarnya terdapat tiga jenis pengawasan yaitu pengawasan preventif, pengawasan represif dan pengawasan umum. Pengawasan ini dilakukan biasanya terutama untuk mengevaluasi atau mengesahkan rancangan peraturan daerah.

 

Azas dekonsentrasi (pembantuan) yang dibebankan pada tingkat pemerintah provinsi (gubernur) merupakan salah satu cara untuk menga-wasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah (pengawasan umum). Gubernur sebagai wakil pempus di daerah berwenang mengawasi, meme-riksa dan menyelidiki segala hal yang menyangkut pekerjaan pemda. Seperti penggunaan dana keuangan dan material, penggunaan tenaga personalia serta pelaksanaan tugas-tugas teknis operasional yang dilakukan oleh Kemendagri untuk mencapai sasarannya (Kaho 2012).

 

Lagi-lagi, proses pengawasan untuk daerah-daerah otsus itu sama persis dengan pengawasan terhadap daerah lainnya. Semua daerah di Indonesia sama-sama diatur oleh sebuah PP terkait pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur penghargaan dan sanksi. Akibatnya, format Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Peme-rintahan (LAKIP) antardaerah semuanya sama.

 

Setidaknya, dari uraian di atas terkait tiga bidang desentralisasi (kewena-ngan, fiskal dan pengawasan) yang diberikan kepada daerah terutama daerah otsus itu bersifat semu belaka. Pempus tampaknya masih enggan sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada daerah. Pengakuan kera-gaman dengan sendirinya terbantahkan dengan segala macam peraturan dan format penyelenggaraan pemerintahan daerah yang seragam. Ke depan, desentralisasi (asimetris) perlu kita tinjau dan perbaiki kembali.

 

C.   Mitos Mengancam Kesatuan

 

Ide federalisme kembali muncul pada tahun 1998 ketika reformasi bergulir. Wacana perubahan menjadi sebuah negara federasi begitu derasnya saat itu untuk merespons bentuk negara kesatuan–tepatnya rezim otoriter– yang puluhan tahun telah mengekang kebebasan warga negara dan menyeragamkan semuanya.

Otonomi daerah dan desentralisasi yang diikuti oleh desentralisasi asimetris dianggap belum cukup untuk menjawab keinginan perubahan tersebut. Terlebih, kebijakan desentralisasi (asimetris) malah menampak-kan gejala fragmentasi antardaerah yang tajam dengan rasa bangga yang berlebihan pada suku, agama, ras dan kelompok sendiri.

 

Isu disintegrasi pun menyeruak, seakan-akan kebijakan desentralisasi asimetris sebagai bentuk implementasi sesanti Bhinneka Tunggal Ika justru mengancam kesatuan nasional. Tentu saja, aspek politis lagi-lagi mendominasi perdebatan wacana ini. Meskipun tidak bisa dimungkiri perdebatan wacana ini secara ilmiah juga berlangsung cukup keras.

 

Penelitian Syaukani dkk (2003) setidaknya dapat menjadi jawaban atas kegalauan di atas. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena otonomi daerah dan desentralisasi secara umum memiliki beberapa fungsi yang menunjang kelangsungan persatuan dan kesatuan nasional. Setidaknya ada empat fungsi yang dapat menjadi penunjang tersebut yaitu fungsi pendidikan politik, pemberian kembali hak-hak politik warga masyarakat di daerah, membangun demokrasi dari bawah dan fungsi percepatan pem-bangunan.

 

Fungsi-fungsi ini justru mengarah pada kekuatan integrasi nasional sepanjang dilakukan dengan tepat dan benar disertai dengan komitmen yang tinggi. Dengan desentralisasi maka akan tercipta mekanisme bahwa daerah dapat mewujudkan sejumlah fungsi politik terhadap pemerintahan nasional dan hubungan kekuasaan menjadi lebih adil. Sehingga, daerah akan memiliki kepercayaan akhirnya akan tetap berintegrasi ke dalam pe-merintahan nasional.

 

Pengalaman negara-negara di dunia juga menunjukkan bahwa nyaris tidak ada negara kesatuan di dunia ini yang bubar atau runtuh akibat kebijakan desentralisasi (asimetris). Justru, akibat penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik di negara-negara federal membuat banyak federasi jatuh, Uni Soviet dan Yugoslavia merupakan contoh yang paling nyata. Ketika tidak ada lagi pemimpin yang dapat menyatukan perbedaan yang ada dibarengi pula dengan struktur pemerintahan terutama struktur ekonomi federasi yang semakin lemah. Mempercepat proses kejatuhan dua negara ini.

 

Pengalaman negara-negara lain juga menunjukkan betapa kebijakan desentralisasi asimetris itu mampu mempertahankan eksistensi dan ke-wibawaan pemerintah nasional. Samin di Norwegia, Quebec di Kanada, Basque di Spanyol, Pattani di Thailand, Moro di Filipina, Hongkong di Cina, Kashmir di India dan masih banyak lagi (Pratikno dkk, 2010). Merupakan daerah-daerah yang mendapat perlakuan khusus dari pempus karena keunikannya sekaligus pengakuan atas kebinekaan yang menjadi salah satu kekayaan negara tersebut.

 

Bagi penulis, isu bahwa desentralisasi asimetris dan otonomi daerah pada umumnya dapat mengancam kesatuan dan integrasi nasional itu tak lebih dari sebuah mitos. Daripada kita terus berprasangka buruk atas kebijakan desentralisasi asimetris sebagai implementasi sesanti Bhinneka Tunggal Ika di dalam NKRI. Lebih baik kita memikirkan supaya bagaimana desen-tralisasi asimetris yang telah dijalankan ini dievaluasi dan diperbaiki lagi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

 

 

 

 

BAB V: PENUTUP

 

 

A.   Simpulan

 

Kekayaan alam, sosial dan budaya yang menghasilkan kebinekaan di Indonesia merupakan suatu anugerah yang patut disyukuri oleh segenap bangsa. Salah satu pilar kebangsaan dan kenegaraan, Bhinneka Tunggal Ika bukan semata-mata semboyan negara yang tertulis di pita dan di-cengekeram oleh Garuda Pancasila.

 

Kebinekaan tersebut harus dirawat, dimanfaatkan dan dikelola dengan baik dan benar. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kebijakan desentralisasi asimetris merupakan langkah yang tepat untuk menjaga ke-kokohan salah satu pilar bangsa ini. Sebab, desentralisasi asimetris me-mungkinkan pengakuan dan penghormatan atas kebinekaan tiap daerah yang diaktualisasikan di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

 

Kebijakan desentralisasi asimetris sebenarnya telah dilakukan sejak pe-merintah kolonial Belanda berkuasa melalui Decentralisatie Wet tahun 1903. Selain itu, perjanjian dan kontrak yang dilakukan dengan tidak kurang dari 250 institusi adat dan tradisional di nusantara saat itu. Me-nunjukkan betapa perlunya perlakuan berbeda terhadap beberapa daerah yang dianggap unik dengan daerah lainnya.

 

Masa Indonesia moderen (kemerdekaan sampai sekarang) juga sebenar-nya mengakui dan memberikan beberapa keistimewaan kepada daerah yang dianggap berbeda dari beberapa aspek. Meskipun setiap masa memiliki taraf dan kadar yang berbeda-beda dalam mengakui perbedaan dan keunikan tersebut.

 

Sekarang ini, setidaknya ada lima daerah yang mendapat kebijakan de-sentralisasi asimetris yakni Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Papua dan Papua Barat. Kita patut mengapresiasi atas ditetapkannya kelima daerah ini sebagai daerah dengan otonomi khusus atau daerah istimewa. Tentu, dalam menetapkan suatu daerah asimetri atau tidak itu berdasarkan pada beberapa hal.

 

Bagi penulis, setidaknya ada empat hal utama yang dapat dijadikan sebagai dasar atau basis asimetris suatu daerah. Keempatnya yaitu basis atau faktor politik, basis sosial dan kebudayaan, basis geografis dan basis ekonomi. Beberapa daerah atau kawasan yang ke depan dapat diberikan status otsus atau kawasan khusus yaitu Sumatra Barat, Bali dan Nusa Tenggara Timur (basis sosial dan kebudayaan).

 

Selanjutnya, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (basis geografis). Dan Medan, Pekanbaru, Batam, Palembang, Bandung Raya, Surabaya-Gresik-Sidoarjo, Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar, Manado dan Jayapura (basis ekonomi).

 

Namun, pelaksanaan desentralisasi asimetris di Indonesia masih setengah hati dan pempus belum memiliki komitmen yang cukup untuk melaksna-kannya dengan baik. Tiga bidang yang didesentralisasikan (kewenangan, fiskal dan pengawasan), masih memperlihatkan dengan jelas nuansa pe-nyeragaman. Tidak ada pembedaan pelaksaan desentralisasi antara daerah dengan daerah lainnya dalam tiga bidang tersebut.

 

Akhirnya, untuk beberapa daerah yang mendapat status otsus mengalami paradoksial dan kendala di bidang pembangunan, penggunaan anggaran dan pelaporan kinerja daerah. Ini membuat kebijakan desentralisasi asimetris dan otonomi daerah pada umumnya di Indonesia menjadi semu.  Bahkan, daerah-daerah justru dibuat ketergantungan dengan uluran tangan pempus yang berakibat pada dependensi yang tinggi dan tidak mandiri dalam menyelenggarakan pemerintahan.

 

Satu hal lain yang patut disorot terkait kebijakan desentralisasi khususnya yang asimetri yaitu hubungannya dengan bentuk negara kesatuan. Salah satu pilar kebangsaan dan kenegaraan kita yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. NKRI menjadi pilihan terakhir bangsa ini dalam me-nentukan bentuk negara.

 

Wacana bahwa desentralisasi asimetris dapat mengancam integrasi dan kesatuan nasional begitu kuat dengan melihat praktek desentralisasi asimetris selama ini. Sehingga muncul kembali ide perlunya kita beralih ke bentuk negara federasi jika ingin mengakomodasi kebinekaan yang ada. Tetapi, itu penulis anggap tidak lebih dari sebuah mitos belaka.

 

Karena faktanya, justru banyak negara federal di dunia yang justru jatuh dan membubarkan diri karena ketidakmampuannya mengelola kebinekaan yang ada. Uni Soviet dan Yugoslavia merupakan contoh konkret dan ter-baik untuk fakta di atas. Sementara, banyak negara kesatuan di dunia yang tetap eksis dan bertahan karena kemampuannya merawat, mengakui dan mengelola segala macam perbedaan yang ada.

 

Sehingga, tidak korelasi yang signifikan sama sekali antara bentuk negara dengan kebijakan desentralisasi asimetris. Yang terpenting justru ke depan bagaimana kita dapat mencari dam memperbarui format desentralisasi asimetris saat ini. Karena memang penulis akui, masih terdapat beberapa lubang-lubang yang perlu kita tutup secepatnya dalam penyelengaraan pemerintahan daerah yang asimetri.

 

B.   Saran

 

Dalam kesempatan ini, penulis hanya ingin mengajukan beberapa saran untuk perbaikan pelaksanaan kebijakan desentralisasi asimetris di Indonesia. Pertama, desentralisasi asimetris yang telah berjalan untuk beberapa daerah selama ini harus ditinjau kembali terutama dari segi pengaturan penyelenggaraan pemerintahan.

 

Hal tersebut diperlukan untuk menyamakan persepsi antara pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan, pemerintah daerah sebagai pelaksana kebijakan dan para ilmuwan desentralisasi sebagai ahli konsepsi kebijakan. Karena pengamatan atas praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang asimetri selama ini menunjukkan adanya ketidaksamaan dan saling ketidakpuasan satu sama lain.

 

Kedua, masyarakat Indonesia harus diberikan pendidikan desentralisasi asimetris supaya lebih peka dan sensitif dengan kebinekaan yang dimiliki oleh bangsa ini. Sebab jika kebinekaan ini justru diabaikan dan malah diseragamkan, bukan mustahil NKRI hanya menjadi sebuah nama. Pengalaman untuk berintegrasi ke dalam NKRI sebenarnya telah menun-jukkan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang menghargai ke- binekaan tersebut.

 

Sehingga, ke depan perlu ada beberapa daerah baru yang menjalankan kebijakan desentralisasi asimetris. Tentu dengan memerhatikan empat basis asimetris yang penulis ajukan sebelumnya. Karena, desentralisasi asimetris memiliki beragam fungsi yang tujuan akhirnya menyejahterakan masyarakat di daerah. Akhirnya, sesanti Bhinneka Tunggal Ika itu pada dasarnya tidak dapat dipertentangkan dengan NKRI. Karena keduanya memang saling melengkapi satu sama lain sebagai pilar kebangsaan dan kenegaraan Indonesia bersama-sama dengan Pancasila dan UUD 1945.

 

DAFTAR PUSTAKA

Djojosekarto, Agung dkk, (Ed, 2008, Kebijakan Otonomi Khusus Khusus di Indonesia Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta, Jakarta: Kemitraan.

Ghony, M. Djunaidi dan Fauzan Almanshur, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Gismar, Abdul Malik dkk, (Ed, 2013, Indonesia Governance Index “Tantangan Tata Kelola Pemerintahan di 33 Provinsi”, Jakarta: Kemitraan.

Jaya, Wihana Kirana, 2010, Kebijakan Desentralisasi di Indonesia dalam Perspektif Teori Ekonomi Kelembagaan, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi, Tanggal 23 Desember 2010, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kaho, Josef Riwu, 2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Yogyakarta: PolGov.

Karim, Abdul Gaffar dkk, (Ed, 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kurniadi, Bayu Dardias, 2012, Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Seminar di LAN, Tanggal 26 November 2012, Jatinangor.

Lay, Cornelis, 2001, Otonomi Daerah dan Keindonesiaan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No. 2, Nopember 2001, hal. 139 – 162.

Pratikno dkk, 2010, Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Yogyakarta: Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM.

Rondinelli, D.A. dan Cheema, G.S., (Eds, 1983, Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly-Hills: Sage Publication.

Rosari, Aloysius Soni BL de, (Ed, 2011, Monarki Yogya Inkonstitusional?, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Said, M. Mas’ud, 2008, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang: UMM Press.

Santoso, Purwo, 2010, Masyarakat Sipil, Demokrasi dan Desentralisasi Pemerintahan, Kumpulan Makalah Diskusi Paralel HUT ke-10 Yayasan Tifa, Jakarta: Yayasan Tifa.

Santoso, Purwo, 2012, Asimetri Desentralisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional di IPDN, Tanggal 20 November 2012, Jatinangor.

Syaukani, HR dkk, 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal, 2012, Policy Brief 2012, Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Wasistiono, Sadu, 2010, Menuju Desentralisasi Keseimbangan, Jurnal Ilmu Politik, No. 21, Tahun 2010, hal 1 – 25.

 

*Juara III Nasional LKTI Empat Pilar Kebangsaan MPR RI Tahun 2013

 

[caption caption="Sumber: https://www.kratonwedding.com"][/caption]

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun