Â
Dalam UU 5/1974, dasar filosofi yang digunakan yaitu keseragaman. Berdasarkan filosofi tersebut, pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dalam segala segi dibuat seragam. Akhirnya, pola otonomi yang digunakan bersifat simetris, dalam arti bentuk dan susunan serta isi otonom juga dibuat secara seragam. Namun, karena posisi pempus saat itu sangat kuat sehingga pola ini dapat berjalan sampai lebih dari seperempat abad. Akhirnya, dibutuhkan pola desentralisasi yang berkesimbangan.
Â
Desentralisasi berkeseimbangan merupakan model eklektik yang yang di-hasilkan dari intisari pergulatan konsep yang sudah ada sejak zaman ke-merdekaan. Model ini diyakini akan dapat diterima oleh masyarakat karena secara filosofis telah sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara yang mengutamakan keselarasan dalam dinamika. Beberapa pasal dalam UU 32/2004 memang menggunakan model ekletik.
Â
Seperti dalam hal pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam UU 32/2004 merupakan perpaduan antara structural efficiency model dengan local democracy model. Melalui model ini, kepala daerah (kada) dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung juga kepada rakyat. Sementara itu, DPRD bukan lagi lembaga legislatif yang terpisah melain-kan bersama-sama kada (eksekutif) menjadi bagian dari pemerintahan.
Â
Dengan model berkeseimbangan, paling tidak akan dapat mengurangi potensi konflik antara pempus dengan pemda. Sehingga semua energi bangsa dapat lebih terarahkan pada upaya pembangunan nasional yang pada gilirannya membuat Indonesia menjadi negara maju yang dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Â
C. Â Solusi Sebelumnya
Dalam sebuah negara apalagi berbentuk kesatuan seperti Indonesia. Maka produk hukum yang berlaku secara nasional itu dibuat dan ditetapkan oleh pempus bersama-sama DPR sebagai lembaga legislasi. Demikian pula ke-wenangan untuk menetapkan desentralisasi asimetris untuk sebuah daerah itu berada di tangan pusat.