Terakhir untuk Papua, penggunaan kembali nama Papua setelah puluhan tahun bernama Irian Jaya dan sebelumnya Irian Barat merupakan bentuk pengakuan mendasar atas daerah ini terlepas dari desakan yang sangat kuat juga dari elit-elit lokal yang menginginkan kembali penggunaan nama Papua (Djojosekarto dkk, 2008).
Â
Sebagaimana sejarah mencatat, bahwa sejak Irian Barat dibebaskan dari penjajahan Belanda pada 1964 sampai 1998. Daerah ini menjadi salah satu daerah yang terbelakang dari segala sisi (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, infrastruktur dan lain-lain). Daerah ini juga sama sekali tidak dianggap istimewa kecuali hanya karena kekayaan alamnya yang melimpah ruah dan menjadi target penjarahan oleh negara berbagi bersama dengan korporasi asing.
Â
Namun, sejak reformasi bergulir dan tumbangnya rezim otoriter yang sentralistik. Desakan perubahan yang keras disuarakan oleh elit-elit lokal Papua membuat cemas dan khawatir republik. Sehingga pada 1999, MPR memandang perlunya pemberian status otsus bagi Papua bersama dengan Aceh yang diamanatkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 (Djojosoekarto dkk, 2008).
Â
Momentum perubahan ini mendapat dukungan dari Presiden Abdurrahman Wahid dengan menyetujui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua tahun 2000 yang tertuang dalam Keputusan DPRD Irian Jaya No. 7/DPRD/2000. Setelah itu, delegasi Papua terus berjuang untuk adanya kebijakan otonomi khusus bagi Papua yang akhirnya mendapat hasil dengan dikeluarkannya UU 21/2001 tentang otsus bagi Provinsi Papua.
Â
Selanjutnya, Presiden Megawati tahun 2003 mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 1 yang membagi Provinsi Papua menjadi dua yakni Papua dan Irian Jaya Barat dan berubah menjadi Papua Barat. Keberhasilan Papua dan Aceh mendesak pemberlakuan khusus bagi mereka oleh pempus inilah yang kembali membuka cakrawala akan pentingnya desen-tralisasi asimetris dalam NKRI.
Â
Uraian di atas sebenarnya merupakan solusi yang telah diambil pemer-rintah untuk menghadapi kebinekaan dan dinamika politik yang terjadi di dalam negara kesatuan ini. Kebijakan desentralisasi asimetris merupakan keputusan yang tepat dan patut untuk diapresiasi. Sayangnya, kebijakan ini tidak diikuti dengan kesungguhan pemerintah nasional untuk mem-berlakukan desentralisasi asimetris secara kontekstual.