Mohon tunggu...
Rahma Nadia
Rahma Nadia Mohon Tunggu... Akuntan - tpwk

treat people with kidness

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(Bukan) Reinkarnasi

6 Februari 2021   11:31 Diperbarui: 6 Februari 2021   11:40 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAGIAN 1 

Sinar mentari berusaha membangunkan Maura Nazreen lewat celah gorden kamarnya. Suara ayam berkokok pun sudah seperti ibunya ketika membangunkan dirinya. Mengganggu! Pikir Maura. Namun begitu, Maura tetap membuka matanya dan bangkit dari kasur yang sedari tadi seperti enggan untuk ditinggalkan. Maura bergegas untuk mandi dan bersiap-siap berkumpul dengan keluarganya, melakukan ritual pagi mereka. Sarapan. 

"Kamu hari ini jadi pergi ke Jakarta, Ra?" tanya ibunya. 

"Jadi dong Bu! Aku udah pesan tiketnya, bahkan udah ngasih tahu penulisnya juga, loh Bu, lewat Instagram. Malu dong kalau nggak jadi," jawab Maura sambil terus mengoleskan selai cokelat pada rotinya. 

"Mau ngapain sih emang? Jauh-jauh dari Bandung mau ke Jakarta. Kalau ada apa-apa gimana?" kali ini sang ayah yang bertanya sambil sesekali menyesap kopinya. 

"Hush! Ayah dijaga dong ucapannya," peringat sang istri. 

"Iya nih Ayah ... Doa-in itu yang baik-baik. Pulang bawa jodoh kek, misalnya. Atau-" Azra tiba-tiba menyahut, memotong ucapan sang kakak. "Udah deh, biar aman aku juga harus ikut kak Alissa. Gimana, baguskan ide aku?" 

"Nggak! Nggak ada bagus-bagusnya. Lebih bagus lagi kalau kalian gak usah pergi. Diam aja di rumah!" Tegas sang ibu. 

"Ibu itu cuma sirik sama kita. Setiap hari di rumah. Sekalinya keluar cuma buat kumpul sama ibu-ibu, nge-gosip!" Ucapan si bungsu ini benar-benar membuat sang ibu kesal. Entahlah, anak itu menurun dari siapa. 

"Makanya Ayah ... Sering-sering ajak Ibu keluar. Me time gitu, pacaran lagi. Tapi ingat, kita nggak mau punya anggota keluarga baru!" Alissa dan Azra tak kuasa menahan tawa. Ayahnya hanya menahan senyum melihat kelakuan anak mereka. Setelah puas meledeki sang ibu, Alissa bergegas pamit kepada adik dan kedua orangtuanya. 

"Ayah kan sekarang pacarannya sama berkas-berkas dari kantor," sindiran itu berhasil membuat sang ayah mendekat pada istrinya. "Iya Ibu ... Sabar ya. Nanti kalau udah beres semua perkejaan di kantor, kita pacaran lagi. Berdua aja, anak-anak nggak usah di bawa. Iya ibu ya?" 

Mereka semua tertawa, merasa senang karena berhasil menggoda sang Ratu di rumahnya. Sedangkan sang Ratu? Diam-diam ia merutuki kelakuan keluarganya ini. 

"Udah ah! Aku mau pamit dulu. Dengerin," Maura menjeda ucapannya. Ia mendekat kepada orang tuanya. "Ayah, Ibu, Maura pergi dulu ya ... Doa-in aku selamat sampai tujuan. Maaf karena Maura ngotot untuk pergi ke Jakarta," 

"Kamu ngomong apa sih? Ibu sama Ayah pasti doa-in kamu, Maura. Kami cuma minta supaya kamu jaga diri kamu baik-baik," Maura pun mendekati ibunya. Ibu, ayah, dan adiknya berangsur mendekat, memeluk Maura. "Pesan ayah sama seperti ibu. Jaga diri! Ayah percaya sama kamu. Makanya ayah izinin kamu pergi." 

Kini giliran Azra yang berbicara. "Jangan lama-lama ya kak. Nanti nggak ada yang ladeni aku adu mulut. Oh iya, jangan lupa titip salam buat penulisnya. Siapa tau dia mau ngasih bukunya buat aku." Maura terkekeh mendengar ucapan adiknya ini. Bisa dibilang, ini kali pertama mereka akur. "Iya, pasti! Kamu jaga ibu dan ayah ya. Jangan ganggu kalau mereka mau pacaran," Azra mengangguk cepat. 

"Aku udah nggak sabar pengen ketemu penulisnya. Kalau gitu aku pamit ya," Setelah selesai dengan sesi pelukannya, Maura pergi. Namun siapa yang tahu kalau ternyata Maura benar-benar pergi. Pergi untuk pulang. Bukan pulang kepada keluarganya. Namun, pergi untuk tak kembali.

...

"Untuk semua penumpang diharapkan untuk tidak panik dan jangan diam di dekat platform kereta. Pegangan yang kuat semuanya!"

Suara itu membangunkan Maura dari tidurnya. Dalam keadaan belum sadar sepenuhnya, Maura merasa ada yang tidak beres dengan laju kereta api ini. Semua penumpang terlihat panik, anak-anak pun menangis ketakutan. Kereta api ini melaju begitu cepat, secepat Cheetah yang berlari untuk mengejar mangsanya.

Suara tangisan dan gesekan antara roda dan rel kereta api menambah kepanikan Maura. Suara itu, ia tidak ingin mendengarnya lagi. Walaupun dirinya yakin bahwa inilah kali pertama dan terakhir ia mendengar suara-suara itu. Maura sangat menyesali kepergiannya ini.

Ia menyesal karena tidak mendengarkan ibunya agar tidak pergi ke Jakarta. Ia juga merasa bersalah karena telah mengingkari janji kepada orang tuanya untuk bisa menjaga dirinya, dan kepada adiknya yang pasti tengah menunggu untuk beradu mulut lagi.

Bayangan tentang dirinya dan keluarganya terlintas di kepala. Semua kejadian-kejadian yang telah mereka lewati bersama membuat Maura kembali diselimuti rasa penyesalan. Tanpa sadar, setitik air menetes dari pelupuk matanya. "Ibu, Ayah, Azra. Maafkan Maura. Maura harus pergi. Pergi untuk pulang," gumam Maura.

Lamunan Maura buyar saat mendengar jeritan-jeritan dari gerbong paling depan. Dan tidak butuh waktu seperkian detik, kesadaran Maura hilang. Semua penumpang yang semula berisik, panik, dan ketakutan, kini tidak lagi bersuara. Kesunyian menyelimuti setiap gerbong. Hanya suara minta tolong yang terdengar dari beberapa orang.

Kecelakaan kereta api kembali terjadi lagi. Walaupun tidak separah tragedi Trowek dan tidak semengerikan tragedi Bintaro. Namun kecelakaan ini juga cukup mengerikan. Kereta yang ditumpangi oleh Maura ini kehilangan Abarnya. Pengontrol kecepatan ini tiba-tiba tidak berfungsi. Entah apa yang terjadi. Namun hal ini menyebabkan kereta api keluar dari jalur rel nya.

Gerbong pertama hingga ke tiga menabrak pohon saat akan berbelok di tanjakan. Gerbong ke empat dan ke lima terjatuh dari jembatan ke sebelah kanan. Dan gerbong ke enam dan ke tujuh masih berada dalam lintasannya, namun dengan posisi terguling.

Naasnya, Maura berada digerbong ke lima. Posisinya berada di sisi kanan kereta. Sehingga saat kereta terjatuh, ia langsung merasakan hantaman dari bebatuan yang membentur gerbong sisinya. Beberapa detik sebelum ia dievakuasi, ruh nya telah meninggalkan raganya. Maura menjadi salah satu dari 17 penumpang yang tewas. Dan sisanya hanya mengalami luka-luka.

...

"Ikhlaskan Bu, jangan menangis terus seperti ini. Kita semua sama kehilangannya seperti Ibu. Kalau Ibu sakit bagaimana? Kasihan Azra. Kasihan juga Maura nya kalau ibu terus menangisinya," ujar sang suami menenangkan istrinya yang baru saja kehilangan putri mereka tiga hari yang lalu.

"Ibu udah ikhlas Ayah ... Tapi Ibu belum terbiasa dengan keadaan ini. Maura yang biasanya menggoda Ibu kalau lagi sarapan. Maura juga yang biasanya bantu Ibu sama Azra bikin kue. Rumah ini akan sepi karena gak ada Maura. Kenapa harus Maura yah?!" sang suami bergegas memeluk istrinya itu.

"Ini sudah takdir. Kita masih punya Azra, Bu. Kasihan Azra kalau Ibu terus begini. Azra juga pasti sedih kehilangan kakaknya. Kita harus kuat di depan Azra," istrinya pun mengangguk menanggapi ucapannya.

...

Sakit, dan gelap. Hal terakhir yang Maura rasakan sebelum ruh nya meninggalkan raganya. Dan kini ia terbangun. Matanya terbuka, mencoba menerima cahaya yang masuk menusuk netra mata cokelatnya pelan-pelan. Ia mengedipkan matanya beberapa kali. Sebelum pandangannya terbuka dengan sepenuhnya.

"Sa! Kamu udah sadar Sa?!"

Sa? Siapa itu? Apa lelaki itu berbicara dengan dirinya? Pikir Maura.

"Hei! Jangan bilang kalau kamu amnesia!"

"Aiqal, iya! Itu Aiqal! Tokoh pemeran utama pria dalam novel yang ia baca. Dan Sa? Apa jangan-jangan Sa adalah Alissa? Aku Alissa?!" Batin Maura sambil terus memandangi ruangan yang ia tempati.

"Alissa?" tanya Aiqal. Aiqal Asyazhar adalah lelaki satu-satunya dalam hidup Alissa menurut novel itu.

"Ah! I-iya?" Alissa tergugup menjawab pertanyaan Aiqal. Kini ruh Maura berada di dalam tokoh utama novel yang ia baca. Oleh karena itu, sepertinya Maura harus terbiasa dengan nama barunya. Alissa Ashafara.

"Kamu nggak amnesia kan? Perasaan kepalanya gak kepentok apa-apa waktu jatuh tadi. Yang patah kan tulang kaki kamu. Kecuali kalau otak kamu ada di dengkul," lelaki itu tertawa menampilkan lesung pipinya.

"A-aku baik-baik aja. Emang aku kenapa?" Dengan polosnya Alissa menjawab.

"Kamu nanya?" Aiqal balik bertanya dengan masih terus tertawa. "Tumben banget, biasanya juga bodoamat."

Oke, Maura harus ingat. Sekarang dia adalah Alissa. Alissa yang cuek dan galak. Tapi, apakah ia bisa terus-terusan menjadi orang lain dalam diri orang lain?

BAGIAN 2

Hari ini, seluruh siswa dan siswi kelas 12 SMA Angkasa Binawarga melaksanakan Try Out ke enam. Aiqal yang malam itu menelponnya mengingatkan Alissa untuk mempersiapkan diri menghadapi TO kali ini. Tentunya, agar Alissa tetap bertahan di peringkat tiga besar pararel di sekolah. Walaupun Aiqal tahu, tanpa belajar pun, Alissa akan tetap berada pada posisinya.

Aiqal yang melihat Alissa gelisah ditempat duduknya segera mendekat. "Kenapa Sa? Gak siap buat TO kali ini?" dengan cepat Alissa mengangguk, membenarkan ucapan Aiqal. Mendapat jawaban seperti itu Aiqal sontak membulatkan matanya, tawanya pecah saat itu juga. Bagi Aiqal, melihat Alissa mengkhawatirkan TO kali ini seperti melihat seekor burung merak yang sedang memamerkan ekornya.

"Baru kali ini, loh, seorang Alissa gak siap buat ujian. Biasanya kamu gak belajar aja masih santai-santai aja buat TO," ingin sekali Alissa mengatakan bahwa Alissa yang sekarang bukanlah Alissa yang dulu. Alissa yang dengan keberaniannya dan juga IQ nya yang tinggi, tidak terdapat dalam diri Maura. Sekeras apapun ia belajar, ia tidak akan bisa menjadi Alissa.

"Oh, aku cuma ..." Alissa berpikir sejenak. "Cuma malas aja kalau harus berurusan sama Mama lagi."

Aiqal menghentikan tawanya. Raut wajahnya berubah. Terlihat sekali bahwa ia sangat berempati kepada Alissa. Alissa adalah tetangganya sekaligus temannya sejak kecil. Terlepas dari berhak atau tidaknya, Aiqal sudah mengetahui penyebab dari luka-luka yang selalu Alissa miliki setelah pengumuman hasil TO.

Sejak kecil Alissa memang sudah berprestasi di sekolah. Ia dan Aiqal selalu berada di peringkat berurutan. Dengan Aiqal yang selalu berada diatasnya. Namun, saat memasuki SMA Angkasa Binawarga ini, hubungan Alissa dengan ibunya merenggang. Bahkan, goresan di pergelangan tangan Alissa selalu bertambah setiap setelah pengumuman hasil ujian.

Lambat-laun Aiqal mengetahui penyebabnya. Karena hanya Aiqal, satu-satunya orang yang dapat Alissa percaya. Dan satu-satunya lelaki yang ada dalam hidupnya. Ayahnya sendiri pergi meninggalkan Alissa dengan ibunya karena sang istri yang terlalu sibuk, sehingga ia mempunyai wanita lain diluar sana.

... 

Try Out sudah selesai dilaksanakan sejak satu jam yang lalu. Hasil Try Out ini akan diumumkan satu minggu lagi di koridor SMA Angkasa Binawarga. Alissa sendiri sedari tadi sudah harap-harap cemas dengan hasil TO nya. Ia tidak mau berurusan dengan ibunya karena dia bukan Alissa. Kehidupan keluarga Maura sangatlah berbeda dengan Alissa. Ia takut, takut mengalami hal yang sama seperti Alissa setelah ruh nya berada di raga tokoh fiksi tersebut. 

"Sa, kenapa? Ada masalah saat ujian tadi?" tanya Saras. Saras Ferezan, teman Alissa yang selalu mendapat peringkat pararel dua dan sedang bersaing untuk mengalahkan kekasihnya, Dimas Damara, yang selalu berada di peringkat pertama. 

"Eh, nggak ada apa-apa kok. Aku cuma lagi nyari Aiqal aja," Alissa tersenyum kikuk. Saras yang melihat gelagat Alissa langsung menanggapi. "Mata kanan bawah. Kamu bohong. Kamu bilang begitu dengan pandangan mata ke arah kanan bawah." Alissa berdecak, ia lupa bahwa Saras memiliki IQ di atasnya. juteknya. "Iya deh maaf. Kalau kamu cari Aiqal, dia ada di lapangan basket sama Dimas."

Tanpa mengucap terimakasih, Alissa langsung pergi meninggalkan Saras menuju lapangan basket. Disana terlihat Aiqal yang sepertinya baru saja selesai bermain. Aiqal yang melihat Alissa disana segera menghampiri dan mengajaknya pulang bersama.

...

Hari pengumuman pun tiba, semua siswa sudah berkerumun di depan koridor untuk melihat peringkat teratas yang sebenarnya sudah bisa mereka tebak. Alissa sendiri takut untuk melihat peringkatnya. Belum sempat melihat pun, ia sudah tahu kalau peringkatnya pasti sangat buruk saat ini.

Dan benar saja. Saat ia hendak mendekati papan pengumuman, semua orang yang ada disana menatapnya. Sesekali ia mendengar bisikan-bisikan yang kurang mengenakan. Tapi Alissa tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang itu, karena Alissa tau, mereka tidak akan berani jika harus berhadapan dengan Alissa. Apalagi disisi Alissa selalu ada Aiqal, lelaki yang digandrungi oleh semua siswi di sekolah ini.

Alissa menyusuri papan nama dengan gelisah. Peringkat pertama ditempati oleh Dimas, ke dua oleh Saras, ke tiga oleh Aiqal, dan dirinya berada di peringkat ... Ke sepuluh! Alissa berbalik dan segera pergi menuju kelas. Gawat. Ia sudah tahu kalau ia tidak akan bisa seperti Alissa.

Tapi, apakah saat menghadapi ibunya nanti ia akan sekuat Alissa? Ia benar-benar takut sekarang. Bukan hanya dirinya saja yang terkejut dengan hasil pemeringkatan tadi. Tapi Saras dan juga Aiqal.

"Sa! Kok kamu bisa ada di peringkat segitu?" wajah khawatir dan terkejut Aiqal sangat kentara bagi Alissa. Alissa sendiri hanya menggeleng, tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Aiqal dan ibunya nanti.

"Sa. Hari ini kamu nggak usah pulang ke rumah dulu. Kalau mau kamu boleh nginap di rumahku," tatapannya begitu meyakinkan. Tapi Alissa tidak akan menghindari ibunya seperti itu. Walaupun sebenarnya ia takut. "Nggak usah Qal, aku nggak apa-apa kok."  

"Nggak apa-apa gimana? Nanti kalau tante-" Alissa segera memotong ucapan Aiqal. "Qal! Aku nggak apa-apa. Aku, aku udah biasa sama Mama. Aku ada di peringkat tiga aja Mama masih marahin aku, jadi nggak salah kalau Mama akan marah lagi saat tau aku ada di peringkat ke sepuluh." Aiqal hanya bsia menghela nafasnya. Percuma juga ia memberi saran pada sahabatnya yang keras kepala ini.

"Yaudah kalau itu mau kamu. Tapi kalau Tante Nadia nyakitin kamu lagi, kamu harus bilang sama aku. Kalau kamu berubah pikiran mau nginap juga nggak masalah," Alissa tersenyum dan mengangguk untuk menanggapinya.

...

"Apa yang kamu lakukan?! Bisa-bisanya kamu buat Mama malu! Kalau kamu terus mendapat peringkat seperti itu, bisa-bisa reputasi Mama menjadi buruk di pandangan orang lain. Apa perlu sekarang Mama daftarin kamu les?" murka ibunya. Sekitar jam delapan malam ibunya pulang dan langsung masuk kedalam kamar sang anak.

Alissa yang sedang duduk di depan meja belajarnya terkejut mendapat tamparan tiba-tiba dari ibunya. Terlihat sekali kalau ibunya itu sangat marah padanya, tatapannya begitu tajam, seperti ada api di dalam matanya. Alissa yang mendapat perlakuan seperti itu pun segera meminta maaf dan berusaha menjelaskan kepada ibunya. Namun, sang ibu malah menjambak rambutnya dengan tangan kanan yang mengapit kedua pipi Alissa.

"Maaf, Ma. Sakit, Alissa janji-" belum sempat menyelesaikan ucapannya, ibunya kembali mengeraskan jambakannya. Membuat Alissa meringis pelan. "Nggak usah janji-janji! Kamu buktikan. Mama gak akan segan-segan melakukan hal yang lebih dari ini supaya kamu bisa mendapatkan peringkat tiga besar lagi. Ingat itu!"

Setelah ibunya pergi, Alissa menangis dan terduduk di kasurnya. Kepalanya sangat pusing akibat jambakan tadi, dan pipinya terasa ngilu karena cengkrama ibunya yang begitu kuat. Alissa bingung. Sekeras apapun ia belajar, ia tidak akan bisa seperti Alissa. Karena IQ mereka berbeda. Alissa dan Maura, berbeda. Ternyata menjadi Alissa langsung sangat menyakitkan dibanding dengan hanya membaca apa yang dialami Alissa di dalam novel. Ia berpikir, mengapa ruh nya harus masuk kedalam tokoh novel ini. Seharusnya kini ia berada di surga, atau mungkin di neraka.

Cukup lama Alissa bergelut dengan pikirannya sendiri. Tanpa disadarinya, ponselnya sudah berbunyi sedari tadi. Melihat siapa nama yang menelponnya, ia segera mengangkatnya.

"Sa? Kamu, baik-baik aja?" hanya terdengar gumaman di seberang telepon sana. Oke, tidak seharusnya Aiqal bertanya seperti itu. Karena ia sudah tahu jawabannya.

"Aku ke rumah kamu ya?" dengan cepat Alissa melarang Aiqal. "Nggak usah, aku mau tidur."

"Oke, kalau gitu besok aja kita ketemu. Kamu harus ceritakan semuanya!" lagi-lagi hanya gumaman yang Aiqal dapatkan. Tak lama Alissa menutup telponnya dan bergegas untuk tidur, walaupun ia yakin tidak akan mungkin ia bisa tidur malam ini.

BAGIAN 3

Seperti apa yang sudah Aiqal perintahkan. Hari ini Alissa dituntut untuk menceritakan semuanya. Disinilah Alissa dan Aiqal sekarang berada. Didalam ruang kelas 12 E yang sunyi dan hanya helaian nafas dari kedua makhluk itu saja yang terdengar. Semua siswa sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu, dan hanya ada beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler hari ini.

Aiqal duduk didepan Alissa yang sedari tadi hanya menunduk memainkan ponselnya. "Sa! Cepat ceritakan semuanya. Jangan main hp dulu!" dengan cepat Alissa mendongakkan kepalanya dan berdecak kesal saat Aiqal berhasil mengambil ponsel ditangannya.

"Cerita apa lagi sih? Kamu sendiri udah tahu kan, apa yang selama ini Mama lakukan kalau hasil ujian diumumkan?" Alissa mengatakan semua itu dengan santai. Sedangkan si pendengar mengangguk membenarkan ucapan Alissa.

"Iya juga sih. Tapi kamu beneran nggak apa-apa kan?" tangan Alissa terangkat. Aiqal mencoba memastikan bahwa perempuan ini tidak lagi melukai dirinya sendiri. Setelah melihat tidak ada satupun luka ditangan Alissa, Aiqal menghela nafas lega. "Syukurlah."

"Udah kan? Aku mau pulang," ujar si pemilik tangan.

"Bentar, masih ada yang mau aku tanyakan," Alissa kembali duduk ditempatnya bersiap mendengar ucapan teman kecilnya itu. "Kenapa bisa ada di  peringkat sepuluh?"

DUAR!!

Pertanyaan itu, pertanyaan yang membuat Alissa seperti tersambar petir. Ia bingung harus memberikan alasan seperti apa kepada Aiqal. Kalaupun ia berkata jujur sudah pasti Aiqal tidak akan percaya. Tapi apa boleh buat? Maura bukanlah anak yang suka berbohong. Jadi, ia akan mencoba jujur dan menceritakan semuanya kepada Aiqal. Percaya, tidak percaya, yang penting ia sudah berusaha untuk jujur.

"Kemampuan aku cuma sampai segitu," Aiqal menggelengkan kepalanya dengan kekehan kecil yang mengiringinya. Tidak percaya seorang Alissa mengatakan hal seperti itu. "Nggak mungkin lah! Kalau kemampuan kamu cuma sampai di peringkat sepuluh, terus kemarin-kemarin itu apa? Dukun nya udah nggak mempan lagi?"

Alissa berdecak kesal dengan tanggapan Aiqal. "Bukan, aku bukan Alissa!" Pernyataan yang dikeluarkan Alissa lagi-lagi membuat Aiqal tertawa terbahak-bahak. Bahkan kali ini Aiqal tidak bisa menahan sakit perutnya karena tertawa yang berlebihan.

"Bukan Alissa? Terus ini siapa?" Aiqal menganggap Alissa sedang melontarkan lelucon dan ia mencoba menanggapi lelucon Alissa ini. "Maura."

"Maura siapa? Setan yang dukun kamu pekerjakan, huh?" seandainya bisa Alissa membuktikan bahwa dirinya memanglah bukan Alissa, akan ia lakukan saat ini juga.

"Aku serius. Aku Maura yang terjebak didalam tubuh tokoh fiksi ini," melihat raut wajah Alissa yang begitu serius membuat Aiqal sedikit percaya dan menghentikan tawanya. Ia mendekat pada Alissa, memperhatikannya dari atas sampai bawah.

"Maksud kamu? Kamu tokoh fiksi?" Alissa mengangguk samar. Ia mengambil nafas dan membuangnya dengan kasar. "Iya. Alissa, Saras, Dimas, kamu, dan semua yang ada disini adalah fiksi! Aku? Aku Maura! Aku orang yang dengan setia membaca novel 'Reflection'. Dimana kamu, Alissa, dan teman-temannya diceritakan dalam novel tersebut."

Aiqal sangat terkejut mendengar pernyataan itu. Sangat, ia sangat tidak percaya. Tidak mungkin hal itu ada. Apalagi ia baru saja mendengar bahwa dirinya hanyalah tokoh fiksi yang diceritakan didalam novel. Bagaimana bisa? Mustahil sekali ada kejadian seperti itu. Kalaupun ada, sudah dapat ia pastikan itu hanyalah cerita.

"Nggak mungkinlah! Aku nggak tahu ternyata kamu suka baca cerita-cerita seperti itu ya," lagi-lagi Aiqal menyangkal penjelasan Alissa. "Terserah. Aku udah jujur. Dan sekarang, aku minta tolong sama kamu. Bantu aku kembali menempati posisi tiga besar di TO selanjutnya,"

"Kamu serius?" Aiqal menjeda ucapannya sebentar sembari menatap dalam-dalam perempuan didepannya ini. "Sejak kapan kamu mau belajar? Kamu kan-" ucapannya terpotong. "Aku Maura! Bukan Alissa!"

Baiklah, Aiqal akan mencoba untuk mempercayainya. Tapi, kalau ini bukan Alissa, lalu dimana Alissa yang sebenarnya? Apakah benar, dirinya ini hanyalah tokoh fiksi? Entahlah, ia sedang tidak ingin memikirkan hal ini.

"Ekhm, oke. Nanti malam aku akan datang ke rumahmu," putus Aiqal yang ditanggapi dengan anggukan.

...

Sudah lima hari ini Aiqal dan Alissa belajar bersama. Melihat perubahan yang terjadi pada diri Alissa, ia semakin yakin dengan apa yang dikatakan oleh perempuan itu beberapa hari yang lalu. Tapi, bagaimana bisa? Kalaupun iya, lantas kemana Alissa yang sebenarnya sekarang? Apa mungkin, hal seperti ini juga akan terjadi pada dirinya?

"Kenapa?" pertanyaan Alissa membuyarkan lamunannya. "Apa yang kamu katakan tempo hari, itu benar?"

"Kamu masih nggak percaya?" Aiqal mengangguk pelan. "Apa yang buat kamu nggak percaya?" lagi-lagi Aiqal hanya menjawab dengan bahasa tubuh. Ia menggelengkan kepalanya.

"Huft! Aku jelaskan sekali lagi," Alissa menjeda ucapannya sebentar dan mulai menceritakan semuanya. Mulai dari tujuan dia pergi ke Jakarta hingga kecelakaan itu terjadi dan ia dinyatakan meninggal. Namun, entah kenapa ia berkahir di sini. Ia tidak bisa memberi tahu alasannya, karena ia sendiri pun tidak tahu.

"Entahlah, kenapa aku bisa berakhir di dalam tubuh Alissa. Harusnya saat ini aku sedang berada di surga. Tidak akan merasakan penderitaan karena memiliki IQ yang rendah," setelah mendengar cerita ini Aiqal mulai mengingat-ingat lagi apa saja perubahan yang terjadi pada diri Alissa pasca tersadar dari pingsannya kala itu.

Alissa yang dulu tidak banyak bicara, galak, dan pemberani. Kini berbanding terbalik dengan Alissa yang sekarang. Apalagi peringkatnya yang turun drastis, karena menurut Aiqal, seburuk apapun keadaan Alissa, ia tidak akan mungkin menempati peringkat tersebut. Perempuan itu jenius, melebihi kata pintar.

Namun yang lebih meyakinkan Aiqal tentang Alissa ini adalah, saat tiga hari yang lalu mereka pergi ke sebuah toko, membeli hadiah untuk diberikan kepada adiknya Dimas.

Di sana tubuh Alissa tiba-tiba panik dan cemas seperti orang yang ketakutan saat Aiqal menunjukkan sebuah mainan kereta api kepada Alissa. Dan sekarang ia tahu alasannya. Perempuan itu trauma karena kecelakaan kereta api yang merenggut nyawanya dan membuat dirinya terjebak di dunia fiksi ini.

"Lupakan itu. Sekarang yang harus dipikirkan adalah apa kamu bisa untuk kembali menempati peringkat tiga besar? Besok kita udah mulai TO yang terakhir," merasa bahwa dirinya baru saja diremehkan oleh orang di hadapannya. Walaupun benar memang begitu kenyataannya. "Aku nggak tahu. Sekeras apapun aku belajar, aku nggak akan bisa seperti Alissa. Aku masih merasa kurang untuk kembali menempati peringkat itu,"

"Kamu udah berusaha. Besok saatnya kamu untuk menunjukkan hasil belajar kita selama ini. Ingat, musuh kamu itu bukan aku, Saras, Dimas, atau mereka-mereka yang ada di atas kamu. Musuh kamu ada pada soal yang kamu kerjakan," Alissa mengangguk sebagai tanda bahwa ia memahami ucapan Aiqal.

"Satu lagi, jangan panik. Kalau kamu dapat soal yang gak bisa dikerjakan, jangan panik, lewat dulu. Kamu tau kan, saat kamu melihat soal yang asing, kamu pasti akan panik. Terus gak bisa fokus lagi ngerjain soal berikutnya," jelas Aiqal.

"Iya, yaudah sana pulang. Ini udah larut malam, besok kan ada ujian. Sana!" bukanya berterimakasih karena telah di berikan saran oleh Aiqal, Alissa dengan sangat tdiak sopannya malah mengusir dirinya. Namun begitu, Aiqal tetap menuruti perkataan Alissa. Ia bergegas pulang kerumahnya.

BAGIAN 4

Alissa mendengarkan petuah dari Aiqal. Saat pengerjaan soal Try Out kemarin, ia selalu mencoba untuk tetap tenang dan tidak panik. Dan benar saja, hal itu membuatnya sedikit terbantu. Belum lagi, dari beberapa hari sebelumnya ia sudah mulai belajar untuk Try Out yang terakhir ini. Walaupun tidak sepenuhnya yakin akan menempati peringkat ke tiga, tapi setidaknya ia masih bisa masuk peringkat ke lima besar.

Sekarang perempuan blonde itu sedang menyusuri koridor. Awalnya ia berniat untuk pergi ke kantin, namun pertemuannya dengan Saras membuat Alissa mengurungkan niatnya.

"Mau kemana sih, Sar?"

"Temani aku nonton pertandingan basket, Alissa."

Alissa mendengus kesal. Mau bagaimana lagi? Dirinya sudah dibawa ke lapangan basket, kalaupun ia menolaknya, percuma. Ia sudah terlanjur malas untuk kembali ke kantin.

Alissa memperhatikan Saras yang sedari tadi begitu heboh meneriakkan nama kekasihnya. Sesekali ia juga melihat ke arah Aiqal yang juga tengah bermain bersama Dimas. Saling berebut untuk mendapatkan bola. Setelah dapat, bola itu akan dilempar ke dalam ring basket.

Pertandingan pun selesai. Saras mengajak dirinya untuk mendekat kearah Dimas. Dilihatnya perempuan itu sangat bersemangat membantu kekasihnya membersihkan keringat dan dengan sigap memberikannya minum. Untung saja dia tidak sendiri, ada Aiqal yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.

"Mereka cocok banget ya? Saras juga kelihatannya perhatian banget sama Dimas," ucap Aiqal yang tengah membersihkan keringat diwajahnya sembari menempatkan dirinya disebelah Alissa.

"Sabar ya, Qal. Saran dari aku, kamu mundur aja. Kalau mau naksir mending sama cewek yang gak punya pacar," Alissa menepuk-nepuk pundak Aiqal. Lelaki itu merasa ada ejekan yang tersembunyi dibalik ucapan Alissa.

"Kalau gitu ... Aku naksir kamu aja. Kamu kan nggak punya pacar," Aiqal tertawa menanggapi ucapannya sendiri. "Wajar sih. Cowok di hidup kamu kan cuma aku," sekali lagi, Aiqal tertawa begitu keras. Sampai-sampai suaranya menggema di sekitar area lapangan.

Sedangkan Alissa. Diam-diam ia mengulum senyumnya. Entah, perasaan seperti apa yang tengah ia rasakan saat Aiqal mengatakan hal itu. Memang benar, hanya dialah laki-laki yang ada di kehidupannya. Ayahnya? Pria itu pergi bersama wanita lain karena ibunya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.

"Berisik, Aiqal!"

"Kenapa? Kamu juga mau kan?" ya, memang benar. Dari dulu, tapi setelah kehadiran Saras, Alissa tidak lagi berharap lebih kepada lelaki itu. Tapi itu Alissa. Bukan Maura. Namun entah kenapa, Maura merasakan apa yang Alissa rasakan. Apakah karena dalam cerita ini alurnya sudah ditentukan? Atau tanpa ia sadari, perasaan itu juga mulai muncul saat sejak pertama kali ia menginjakkan diri di dunia fiksi ini.

Alissa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, dan ternyata berhasil. Mudah sekali mengalihkan Aiqal. Pikirnya. "Ekhm, itu obat apa?"

"Oh, ini vitamin. Akhir-akhir ini lagi sering banget cepat lelah, makanya minum ini. Kamu mau?" tangannya yang memegang obat tersebut disodorkan pada alissa. "Nggak, makasih."

"Oh iya! Besok kamu ikut nonton pertandingan basket ya, sama Saras," pinta Aiqal.

"Nggak mau, males. Aku mau belajar. Bentar lagi kan UN," jawab Alissa.

"Tumben banget belajar, biasanya juga-" ucapannya terhenti saat melihat Alissa memejamkan tatapannya. "Iya ... Maaf, aku, aku belum terbiasa sama Maura."

"Oke, aku nonton." Aiqal memincingkan matanya. "Serius? Katanya nggak mau."

"Iya! Aku, ke kelas duluan," putus Alissa. Sebenarnya Alissa sedikit merasa sedih saat ia tahu kalau Aiqal belum terbiasa dengan Maura yang ada pada diri Alissa. Apa mungkin semua tindakan Aiqal kepadanya, hanya karena Aiqal masih menganggap dirinya adalah Alissa. Bukan Maura. Tapi, untuk apa juga Maura memikirkan hal ini? Toh, dirinya memang hanya menumpang di dalam raga Alissa.

...

Seperti apa yang sudah Alissa katakan, hari ini ia akan menonton pertandingan basket bersama Saras. Disinilah mereka sekarang, di lapangan basket SMA Gintira Biaksara. Pertandingan ini dilakukan hanya untuk mengukur sejauh mana kemampuan mereka. Tidak ada piala, tidak ada medali, tidak ada penghargaan apapun dari pertandingan ini.

Dilihatnya tim basket dari sekolahnya tengah berkumpul. Sepertinya mereka sedang menyusun strategi dan posisi masing-masing. Setelah itu mereka berdoa dan bersorak guna menyemangati diri masing-masing.

PRITTT!

Suara peluit menggema di semua penjuru lapangan. Menandakan bahwa pertandingan akan dimulai. Tim basket SMA Angkasa dan SMA Gintira memasuki lapangan, bersiap pada posisinya masing-masing. Aiqal, selaku ketua tim basket dari sekolahnya berada diposisi paling depan.

PRIT PRIT PRIT

Bola dilambungkan ke atas, Aiqal dengan sigap mengambil bola itu dan dengan mudah memasukkannya ke dalam ring. Oke, masih permulaan. Skor sementara ada pada tim Aiqal.

Sorak sorai terdengar menggema di lapangan beriringan dengan suara decitan dari sepatu para pemain. Banyak sekali supporter yang datang, menyemangati jagoannya masing-masing.

"Dimassss, semangat!" teriak orang disamping Alissa. Ya, pelakunya adalah Saras.

Alissa kembali memperhatikan pertandingannya. Dilihatnya Aiqal kembali membawa bola mendekati ring.

"Nice shoot!"

Aiqal menoleh dan mengacungkan jempolnya pada Alissa yang baru saja berteriak. Bodoh sekali, bisa-bisanya ia berteriak saat orang-orang sedang terdiam.

"Wih! Kamu bisa teriak juga ternyata," tidak sopan, pikir Alissa. Bisa-bisanya Saras mengatakan itu.

Saras yang mendapat tatapan tajam pun, melebarkan senyumnya. "Habisnya kamu teriak kalau lagi marah-marah. Jarang-jarang kan liat kamu muji orang," Saras terkekeh.

"Apaan sih. Udah sana nonton lagi."

Mereka pun kembali menikmati tontonan gratis itu. Alissa tidak lagi bersuara setelah kejadian tadi. Ia takut berteriak diwaktu yang tidak tepat lagi seperti tadi. Sedangkan Saras, perempuan itu tidak henti-hentinya menyoraki nama Dimas. Dapat ia pastikan, besok suara Saras akan hilang.

Pertandingan antara tim basket SMA Angkasa dengan SMA Gintira akhirnya selesai. Pertandingan pun di menangkan oleh SMA Angkasa dengan skor 114 dan SMA Gintira 109. Dimas dan Aiqal menghampiri kedua perempuan itu. Keringat membanjiri wajah kedua laki-laki itu. Terlebih lagi Aiqal. Lelaki itu bertambah ketampanannya saat ia menyugar rambut basahnya itu.

"Gimana, aku keren kan?" tanya Dimas pada Saras.

"Kamu keren banget! Bersihin dulu keringatnya, cepat. Nanti mereka liat ketampanan kamu," keduanya terlihat seperti pasangan baru yang tengah dimabuk asmara.

Alissa yang memperhatikan itu pun tidak peduli. Tapi ia baru ingat, kalau bukan hanya dia yang melihat kelakuan Dimas dan Saras. "Jangan diliatin terus, nanti ngiler."

"Nggak tuh! Biasa aja."

"Iya, iya. Selamat ya, nggak salah mereka pilih ketua tim."

Aiqal mengulum senyumnya. Tidak menyangka seorang Alissa bisa memujinya seperti itu. Tapi, ia baru saja melupakan satu hal. Bahwa perempuan itu bukanlah Alissa. Dia Maura.

"Makasih juga, loh. Udah nonton," Alissa hanya mengangguk sebagai tanggapan.

"Wajah kamu ... Pucat?" dengan ragu Alissa bertanya. Pasalnya, wajah lelaki itu putih sekali sehingga sulit untuk membedakannya. Namun Aiqal dengan sigap menggeleng dan menyangkal pertanyaan Alissa.

"Kita duluan ya," ucap Dimas. Setelah berpamitan, mereka pergi menyisakan Alissa dan Aiqal di lapangan. Bersama beberapa orang yang belum pulang tentunya.

"Kita juga pulang aja kalau gitu. Aku beres-beres dulu," dilihatnya Aiqal mengobrak-abrik isi tasnya. Mungkin, ia ingin menata isinya dengan rapi. Pikir Alissa. Tapi, Aiqal terlihat begitu panik saat semuanya sudah masuk kedalam tas.

Aiqal berbalik dan mentap kearah Alissa. "Sa, kamu-" ucapannya terpotong oleh Alissa yang tiba-tiba berdiri tepat dihadapannya.

"Qal! Kamu berdarah. Hidung kamu," Alissa segera menyodorkan sapu tangan didalam tasnya. Dengan segera membersihkan darah di area hidung Aiqal.

"Kamu kenapa?"

"Aku nggak apa-apa. Mungkin cuma kecapekan," seulas senyum terukir diwajah Aiqal. "Ayo! Kita pulang."

Alissa masih tidak percaya kepada Aiqal. Ia yakin, Aiqal tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Apa mungkin Aiqal sedang sakit? Tapi untuk apa ia menyembunyikan hal itu. Lebih baik ia menanyakannya lagi nanti kepada Aiqal.

BAGIAN 5

Sejak kejadian kemarin hingga hari ini, Aiqal belum juga menunjukkan batang hidungnya di depan Alissa. Bahkan lelaki itu bolos hari ini. Setahu Alissa, Aiqal tidak pernah bolos selama ia bersekolah. Apa mungkin lelaki itu sakit berkepanjangan? Sepertinya Alissa harus memastikannya sendiri. Sepulang sekolah, ia langsung bergegas menuju rumah Aiqal.

Dilihatnya rumah yang terletak di seberang rumahnya itu begitu sepi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya. Apa mungkin Aiqal tidak ada di rumah? Pikir Alissa.

Alissa segera menghampiri rumah itu. Mengetuk pintunya beberapa kali dan sesekali membunyikan bel yang terletak di samping pintunya. Tak lama, pintu pun terbuka. Menampilkan seorang wanita paruh baya dengan senyum mengembang di wajahnya.

"Hai bi Asri! Aiqal nya ada?"

"Den Aiqal belum pulang, non."

"Belum pulang? Memangnya dia kemana?" wanita paruh baya itu sama bingungnya dengan Alissa. "Bibi juga nggak tahu. Tadi pagi sih, pamitnya mau ke sekolah. Ada apa ya, non?"

Alissa semakin bingung. Aiqal sama sekali tidak ada di sekolah. Bahkan, ia melihat sendiri papan absen di depan kelas Aiqal. Disana tertera nama Aiqal dengan keterangan Alfa. "Ah, nggak bi. Kalau gitu Alissa pamit ya," bi Asri pun hanya mengangguk.

Alissa kembali menuju rumahnya. Namun, seseorang menghentikan langkahnya. "Kamu kemana aja?"

...


Hari ini adalah pengumuman hasil Try Out yang terakhir. Sebagian siswa menatapnya dengan penuh tanya dan keheranan. Alissa sudah tahu alasannya. Ia yakin, peringkat yang ia tempati tidaklah sama buruknya dengan Try Out kemarin. Alissa sendiri belum berani melihat hasilnya. Ia berniat untuk melihatnya sepulang sekolah. Dimana siswa sudah tidak lagi mengerumuni papan pengumuman. Seperti semut yang sedang mengerumuni gundukan gula.

"Sa! Kamu belum lihat hasilnya?" Saras datang menghampirinya. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa peringkat kamu selalu turun akhir-akhir ini?"

"Belum hoki kali," jawab Alissa santai.

"Serius, Sa! Kalaupun kamu lagi nggak hoki, nggak mungkinlah dapat peringkat segitu."

"Ya, aku nggak tahu. Udah deh, yang turun kan peringkat aku. Nggak ngaruh juga buat kamu," benar juga kata Alissa. Tapi bagaimana pun juga Saras tetap penasaran. Hal apa yang mengganggu Alissa, sampai-sampai perempuan itu tidak pada posisinya di dua Try Out terakhir ini.

"Yaudah. Kalau ada apa-apa kamu boleh cerita sama aku. Siapa tau aku bisa bantu," Alissa hanya bergumam.

Dilihatnya oleh Alissa, Aiqal baru saja memasuki kelas dan mendudukkan dirinya. Sepertinya lelaki itu baru saja melihat hasil pemeringkatan. Terlihat dari seorang lelaki yang berjalan beriringan dengan Aiqal begitu antusias membicarakan peringkat yang didapatkan oleh Aiqal kali ini. Bagaimana tidak? Menurut apa yang ia dengarkan, Aiqal berhasil merebut posisi kedua dari Saras. Yah, walaupun sebenarnya yang lelaki itu inginkan adalah posisi Dimas. Namun Aiqal sadar, Dimas sulit untuk dikalahkan. Ia adalah pemilik IQ tertinggi di sekolah ini.

Aiqal terlihat tidak perduli dengan peringkat yang didapatkan oleh Alissa. Sepertinya, lelaki itu masih kesal kepadanya. Setelah kejadian kemarin, hari dimana Alissa dan Aiqal beradu mulut. Alissa yang terus menuduh Aiqal menyembunyikan sesuatu darinya, dan Aiqal yang terus berbohong untuk menutupi penyakitnya. Bagaimana pun juga Alissa tidak boleh tahu. Mau, tidak mau, untuk mengakhiri perdebatannya Aiqal memutuskan untuk meninggalkan Alissa sendiri di depan rumahnya.

Alissa sendiri tidak mau menyapa Aiqal terlebih dahulu. Jelas-jelas lelaki itulah yang salah, dengan terus mencoba berbohong untuk menutupi kebenaran yang entah seperti apa.

...

Lagi-lagi ia dibuat kecewa oleh ekspektasi nya sendiri. Di papan pengumuman itu tertulis bahwa Alissa menempati peringkat ke enam. Bahkan, dirinya tidak bisa masuk peringkat ke lima besar.

Sekarang yang ia takutkan adalah ibunya. Apalagi yang akan ibunya lakukan saat tahu Alissa berada di peringkat tersebut. Kemarin saja sudah cukup menyakitkan untuknya. Bagaimana dengan sekarang? Belum lagi sekarang tidak ada Aiqal yang siap bersedia menampung dirinya di rumahnya. Saras? Perempuan itu akan mengetahui masalahnya walau ia berkata bohong.

"Mau pulang kemana?"

Alissa terkejut, ia mengenal suara ini. "Rumah."

"Yakin?" tanya Aiqal. Walaupun sedang marah, tapi ia tidak akan tega jika sahabatnya itu harus terluka lagi.

Alissa menghela nafas panjang. "Mau gimana lagi."

"Kamu bisa menginap kalau mau," lagi-lagi Alissa menolak tawarannya. "Nggak usah. Aku harus bisa menghadapi Mama."

Aiqal mengangguk sambil menimang-nimang ucapan Alissa. "Oke. Kalau ada apa-apa hubungi aku segera." Alissa mengangguk dan melemparkan seulas senyumnya pada Aiqal.

Pandangan Aiqal jatuh pada senyuman yang terukir di wajahnya. Beralih pada matanya yang seindah danau yang tenang dan ia tenggelam di dalamnya. Bagaimana bisa Aiqal keberadaan Alissa? Padahal hampir seluruh kehidupannya di temani oleh perempuan itu.

Ada sesuatu yang membuat bagian tubuh Aiqal menghangat dan mendebarkan. Keberadaan Alissa yang begitu dekat, yang selama ini hampir mengisi sebagian kehidupannya. Dan mungkin kini Aiqal dapat memandang Alissa dengan cara yang berbeda.

Dilihatnya Alissa pergi meninggalkannya. Ia sendiri masih mematung di tempatnya. Memikirkan kejadian-kejadian yang tidak pernah ia lewatkan dengan Alissa namun tidak pernah ia sadari keberadaan perempuan itu. "Bisa-bisanya aku melewatkan semua ini."

"Kamu ... Punya perasaan sama dia?" Dimas, lelaki itu diam-diam sudah memperhatikan interaksi antara Aiqal dan Alissa sedari tadi.

"Ngaco! Aku sama dia udah temenan sejak kecil."

"Justru itu! Nggak mungkin kan kalian berteman selama itu tanpa melibatkan perasaan?" benar juga apa yang dikatakan oleh Dimas. Tapi, mungkin saja. Buktinya, Aiqal sendiri baru menyadari keberadaan Alissa secara nyata hari ini. Bukan sebagai tetangganya dan bukan juga sebagai sahabatnya. Tetapi sebagai Alissa. Atau Maura yang terjebak didalam raga Alissa. Walaupun mereka berbeda, tetapi bagi Aiqal mereka adalah orang yang sama dengan sifat yang berbeda.

"Hati nggak ada yang tahu. Udah sana, Saras nyariin kamu."

Benar saja, setelah berkata seperti itu Dimas langsung pergi meninggalkannya. Padahal, Aiqal baru saja berbohong. Ia pun tertawa, merasa bangga telah berhasil membodohi siswa dengan IQ tertinggi di sekolah ini.

BAGIAN 6

"Kamu nggak dengerin apa yang Mama katakan tempo hari, huh?!" Wanita itu datang secara tiba-tiba membuat Alissa terkejut atas kehadirannya. Alissa mencari kegiatan lain, tidak ingin menatap mata ibunya. "Sekarang kamu juga mengabaikan Mama?! Berani-beraninya kamu melakukan semua itu!"

Alissa menggeleng, sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan semua itu. "Kamu pikir kamu siapa?!"

Alissa memengang kepalanya yang sakit. Ibunya menjambak rambut Alissa secara tiba-tiba, membuatnya meringis kesakitan.

"Aku dengar peringkatmu tidak jauh lebih buruk dari yang kemarin?" Alissa meneguk ludahnya susah payah. "Jawab?!" bentak sang ibu.

"Maaf ... Maafkan aku, Ma," hanya itu yang dapat Alissa katakan. Air matanya jatuh.

Ibunya mengeraskan jambakan dirambut Alissa. Ia menyeret anaknya mendekati dinding dan membenturkannya sekeras mungkin. 

"Benar-benar anak nggak tahu diri! Susah payah aku membesarkan kamu! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu menghancurkan reputasi Mama! Kamu sengaja agar orang lain mengira aku bukanlah ibu yang baik?!" Jambakan di rambutnya terlepas.

Tubuh Alissa terasa remuk. "Kenapa ... Kenapa hanya reputasi yang Mama pikirkan?"

Ibunya mendengus kasar. Kilat amarah berkobar dimatanya. "Kamu pikir tanpa reputasi Mama, kita akan tetap bisa hidup?" Ibunya meraih pipi Alissa dan menamparnya bertubi-tubi.

Alissa tersentak. "Tampar, Ma! Lakukan apapun yang Mama mau!" Alissa terisak. "Mama terlalu menekan aku, yang justru tekanan itu melampaui kapasitas yang aku miliki!"

"Diam kamu!" Wanita itu mengatur nafasnya sebentar. "Kamu dan Ayah kamu sama aja! Sama-sama mengecewakan Mama!"

"Ayah udah memilih yang benar. Kalau aku jadi Ayah, aku juga akan memilih selingkuhannya dari pada harus hidup bersama Mama!" Nafas ibunya memburu. Wanita itu kembali menyeret Alissa dan membenturkannya berkali-kali.

"Maaf ... Maaf ... Maafkan aku, Ma," Ia memohon-mohon kepada ibunya. "Ampun ... Ampuni aku, Ma."

Ini benar-benar menyakitkan baginya. Belum pernah ia mendapatkan perlakuan seburuk ini. Bagaimana bisa Alissa bertahan hidup dengan wanita kasar dan penuh dengan tekanan.

Jemari ibunya mencengkeram dagu Alissa, agar perempuan itu melihat kearahnya. Ia menyunggingkan senyumnya melihat betapa menyedihkannya anak ini.

"Nggak salah aku memperlakukan kamu seperti anak pungut!"

Ibunya menghempaskan dagu Alissa dengan kasar. Kata-kata itu begitu menusuk hati Alissa. Sebelum ibunya pergi, wanita itu sempat memberikan Alissa sebuah cutter. "Mungkin saja kamu butuh untuk malam ini."

Alissa menangis sejadi-jadinya setelah kepergian sang ibu. Tanpa Alissa sadari, ibunya pun terisak secara diam-diam di luar sana. Ia menyesal karena harus memperlakukan Alissa seperti ini. Dan yang paling menyakiti hatinya adalah perkataannya sendiri yang baru saja ia lontarkan kepada anaknya.

...


Pagi ini Alissa terbangun dengan jejak-jejak sisa air matanya semalam. Dilihatnya, seseorang tengah duduk membawakan sarapan untuknya.

"Bangun, sarapan dulu. Nanti aku obati lukanya," lelaki itu mendekat ke arah Alissa, menyerahkan semangkuk sereal dan susu ditangannya.

Alissa memakan sarapannya walaupun tidak menghabiskan semuanya. Setidaknya ia sudah menghargai Aiqal. Aiqal yang kini tengah mengobati luka-lukanya. Sudut bibirnya sobek menyisakan darah yang mengering. Pelipisnya membiru akibat benturan semalam.

Aiqal yang mengobatinya pun merasa prihatin. Tidak seharusnya perempuan seusia Alissa mendapatkan perlakuan seperti ini. "Kamu mau sampai kapan bertahan di rumah ini?"

Alissa meringis pelan saat Aiqal menekan sudut bibirnya yang luka. "Sampai mati mungkin."

Aiqal diam, tidak menanggapi ucapan Alissa. Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat sebelum Alissa kembali bersuara. "Sekarang aku setuju sama teori evolusi Darwin."

Aiqal terdiam, siap mendengarkan apa yang akan dikatakan perempuan itu. "Makhluk hidup yang nggak mampu beradaptasi dengan lingkungannya, lama-kelamaan akan punah. Semua makhluk hidup bersaing untuk mempertahankan hidupnya."

Kali ini Aiqal mencoba menimpali ucapan Alissa. "Dalam kehidupan pasti akan selalu ada persaingan. Kemampuan setiap orang juga berbeda-beda, akan ada yang menang dan ada juga yang gagal."

"Aku ... Rasanya aku nggak bisa beradaptasi di kehidupan Alissa," ia menunduk. "Aku nggak bisa kalau harus terus-terusan jadi orang lain."

Aiqal mengerti apa yang tengah perempuan itu rasakan. Tapi mau bagaimana lagi? Kalaupun Alissa mengatakan kebenarannya, belum tentu semua orang dapat menerimanya. Bahkan, dirinya sendiri masih belum menganggap sepenuhnya bahwa perempuan itu Maura, bukan Alissa.

"Aku capek! Aku capek harus rajin belajar, dapat peringkat yang tinggi. Cuma buat kalian semua merasa bahwa aku adalah Alissa."

Alissa tidak perduli dengan kalimatnya yang membuat ia menjadi terlihat begitu menyedihkan. Yang Alissa inginkan adalah kembali kepada kehidupannya yang dulu. Ia merindukan keluarganya disana.

"Aku yakin kamu bisa. Bisa meraih peringkat seperti keinginan kamu dan Mama kamu. Pelan-pelan, kamu bisa menceritakan semuanya. Walaupun nggak mudah untuk Mama kamu menerima bahwa kamu bukanlah Alissa. Tapi aku yakin, kamu bisa menjadi anak yang Mama kamu inginkan. Sebagai Maura, bukan Alissa."

"Makasih. Aku harap kamu juga bisa memandangku sebagai Maura. Bukan Alissa," Aiqal tertegun mendengarnya. Namun, ia berusaha untuk tetap tersenyum dan mengangguk mengiyakan perkataan Alissa.

...


Malam ini Alissa belajar seperti biasanya. Namun tetap saja, pikirannya tidak fokus pada materi yang sedang ia pelajari. Ia masih bingung, harus dengan cara apa agar ibunya percaya bahwa dirinya bukanlah Alissa. Karena kalau ia tidak jujur, ibunya pasti akan terus menekan dirinya berada pada peringkat ke tiga.

"Alissa ... "

"Mama, ngapain ke sini?"

Ibunya mendekat, memeluk Alissa. Dan menangis disana. "Maaf ... Maafkan Mama, Alissa."

"Maaf, baru sekarang Mama berani meminta maaf langsung sama kamu." Wanita itu menatap putrinya. Baru kali ini Alissa merasakan kehangatan dari tatapan ibunya itu.

"Selama ini Mama selalu merasa bersalah setelah menyakiti kamu. Tapi lagi-lagi Mama selalu melakukannya." Wanita itu kembali terisak. Ia tertunduk di pangkuan anaknya.

"Mama hanya ingin kamu mendapatkan beasiswa kuliah keluar negeri. Karena Mama tahu, Mama nggak bisa biayain kamu. Walaupun Mama udah kerja mati-matian untuk kamu," mendengar itupun air mata Alissa luruh.

"Jadi Mama mohon, kamu harus bisa mendapatkan peringkat ke tiga besar saat UN nanti."

"Alissa akan berusaha lebih keras lagi kali ini, Ma." Wanita itu mengangguk dan tersenyum melihat ada keyakinan di mata putrinya.

"Alissa sayang Mama," keduanya kembali terisak dalam pelukan masing-masing. Ia teringat akan ibunya yang mungkin sekarang sudah dapat mengikhlaskan kepergian dirinya.

"Apapun hasilnya nanti, Mama nggak akan menyakiti kamu lagi."

BAGIAN 7

Saat keluar rumah, Alissa sudah dikejutkan dengan kehadiran Aiqal. Lelaki itu bersandar di dinding samping pintunya. Sudah berapa lama lelaki ini berdiam diri di sini? Pikir Alissa.

"Dari kapan kamu di sini?" 

Aiqal membenarkan posisinya. "Lima belas menit yang lalu, mungkin."

Alissa terkejut, tapi ia mencoba untuk tetap tenang di depan Aiqal. "Ngapain kamu datang sepagi itu?"

"Aku nggak sabar ingin dengar cerita dari kamu," jawabnya diikuti dengan kekehan kecil. Alissa yang mendengar itupun hanya mendengus kesal. Ia mendelikkan matanya dan melenggang pergi meninggalkan Aiqal yang masih mematung ditempat.

"Kamu nggak usah pulang ya hari ini?" Aiqal mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Alissa. Namun, Alissa tidak menanggapi ucapannya. Perempuan itu masuk kedalam mobil yang akan dikendarai oleh aiqal.

Aiqal mengikuti Alissa masuk kedalam mobilnya melalui pintu sebelah kiri. "Sa! Luka kamu nggak ada yang nambah kan?"

"Apa sih, Qal! Aku sama Mama baik-baik aja," setelah selesai memakai sabuk pengamannya, Alissa menoleh ke arah Aiqal. "Baik-baik gimana sih, Sa? Udah jelas-jelas kamu selalu disakiti."

"Aku sama Mama udah baikan."

Aiqal terkejut, ia menoleh ke arah Alissa dan membenarkan posisi duduknya. "Maksud kamu?"

"Semuanya udah baik-baik aja. Mama udah menjelaskan alasan dia terus menekan aku untuk mendapatkan peringkat tiga besar."

"Syukurlah kalau masalah kalian udah selesai," terdengar suara helaan nafas dari seseorang di sampingnya. "Tapi, aku masih belum bisa mengatakan kalau aku bukan Alissa."

"Nggak apa-apa. Perlahan-lahan. Semuanya butuh waktu, Sa," benar kata Aiqal. Sekarang yang terpenting adalah mengembalikan posisi Alissa di hasil Ujian Nasional nanti.

"Qal! Kamu ... Menyembunyikan sesuatu dari aku?" sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk Alissa menanyakan hal ini pada Aiqal.

"Maksud kamu?"

"Obat itu ... Bukan vitamin kan?"

Aiqal menyentil kening Alissa dan membuatnya meringis kesakitan. "Jangan mikir yang aneh-aneh."

"Aku tahu, aku bukan Alissa. Tapi setidaknya untuk hal seperti ini kamu boleh menganggap aku sebagai Alissa. Alissa yang kamu kenal sejak 18 tahun yang lalu,"

Benar, kalau ia terus menyimpan penyakitnya sendirian nanti akan lebih banyak orang yang ia repoti. Aiqal menunduk, helaan nafasnya tertahan. "Aku ... Jangan katakan hal ini kepada siapapun," Alissa mengangguk.

"Leukimia kronis."

Alissa terkejut dengan pernyataan itu. Bagaimana bisa teman kecilnya itu menderita kanker darah dan

erita kanker darah dan menyembunyikan nya sendirian. Matanya memanas, sesuatu didalam sana memaksa untuk keluar. Namun, Alissa tidak mungkin menangis di depan Aiqal.

"Kenapa nggak bilang? Kenapa malah kamu sembunyikan sendiri? Kamu pikir itu bukan penyakit yang berbahaya? Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?" Aiqal tersenyum mendengar perempuan itu mengkhawatirkannya.

"Kamu nggak perlu khawatir. Aku cuma perlu minum obat secara teratur dan terus-menerus."

"Tapi, Qal. Gimana pun juga kamu harus memberi tahu orang tua kamu," ia mencoba membujuk Aiqal. Ia tidak mau lelaki itu menanggung semuanya sendiri.

"Kamu tenang aja, aku pasti sembuh. Untuk orang tua ku ... Aku akan memberi tahu mereka nanti."

"Kapan?"

"Setelah kelulusan," Alissa memberikan tatapan penuh ancaman. Aiqal tahu maksud dari tatapan itu. Alissa pasti akan memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepada orang tuanya.

...


Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi seluruh siswa kelas 12. Ujian Nasional dilakukan dalam dua sesi, pagi dan siang. Tidak ada sesi susulan, jadi mau tidak mau seluruh peserta ujian harus hadir. Kecuali jika berhalangan sakit.

Kelas Alissa mendapatkan sesi pertama. Alissa sendiri menempati barisan paling depan karena namanya berawalan huruf A. Tempat duduk Aiqal berada tepat dibelakangnya. Alissa menggelengkan kepalanya, berusaha untuk tetap fokus dan mulai mengerjakan soal.

"Susah nggak, Sa?"

Perempuan yang sedang memakan bekalnya itu menggeleng. Ini pertama kalinya bagi Aiqal melihat seorang Alissa membawa bekal dari rumah. Dan yang mengejutkannya lagi adalah ibu Alissa sendiri yang membuatnya.

"Oh iya. Aku nanya sama orang yang salah," Alissa mendengus sebal mendengarnya. "Kan udah belajar semalam suntuk."

"Iya ... Iya... Semoga hasilnya juga memuaskan."

"Nggak makan, Qal?"

Lelaki itu menggeleng. "Nggak, nggak ada temen ke kantin."

"Nggak mandiri banget jadi cowok," lelaki itu terkekeh geli. "Yaudah, nih. Kamu makan ini aja."

Aiqal menerima kotak makan yang disodorkan oleh Alissa. "Wih! Kapan lagi kan makan masakan Mama kamu."

"Serius deh, aku juga kaget waktu Mama kasih ini. Udah lama juga kan aku nggak makan masakan Mama," Aiqal mengulum senyumnya. Ia ikut senang melihat teman seumur hidupnya ini senang. 18 tahun ia hidup dan selama itu juga ia berteman dengan perempuan yang tinggal di depan rumahnya.

"Sa, kamu ... Nggak lagi bercanda kan?" Perempuan itu mengatupkan kedua alisnya. "Maksud kamu?"

"Semua yang kamu katakan itu benar? Kamu yang bukan Alissa dan sekarang terjebak di dunia fiksi."

"Masih belum percaya? Wajar sih, soalnya memang nggak mungkin banget hal ini terjadi. Tapi mau gimana lagi, toh semua ini aku yang mengalami."

Terlihat perempuan itu sedang mengatur nafasnya. Mungkin ia kesal karena sulit untuk membuktikan kebenarannya. "Kalau gitu kamu tahu akhir dari cerita ini?"

Alissa menoleh, diam dan menatapnya dalam. "Cerita yang aku baca, belum selesai."

Aiqal terheran-heran mendengarnya. "Kenapa bisa? Bukannya waktu itu kamu bilang mau beli novel ini?"

"Iya ... Sebelumnya aku membaca cerita ini di aplikasi Wattpad. Dan ternyata penulis memilih untuk tidak menyelesaikan ceritanya. Dia ingin langsung menerbitkan ceritanya agar semua pembacanya merasa penasaran dan membeli karyanya."

Aiqal mengangguk. Ia melihat perubahan pada raut wajah Alissa. "Kamu ... Pasti ingin kembali, kan?" Alissa mengangguk lemah. "Tentu. Kira-kira sampai kapan ya, aku berada di sini?"

"Kamu sendiri akan bertahan sampai kapan hidup sebagai Alissa?" lagi-lagi lelaki itu membuatnya berpikir. Padahal baru saja ia melewati masa-masa tersulitnya. Sampai akhirnya ia bisa mendamaikan Alissa dengan ibunya. Tapi, apakah perlakuan ibunya akan tetap sama saat mengetahui bahwa dirinya bukanlah Alissa.

"Kamu kalau nanya suka nggak mikir-mikir dulu!" sergah Alissa.

Aiqal terkekeh melihat respon Alissa yang tidak ia sangka sangka. "Aku kan cuma nanya."

"Aku nggak bisa jawab. Kamu sendiri udah tahu, kalau kemarin aku sempat nggak tahan untuk hidup sebagai orang lain."

"Kita buat perjanjian. Setelah hasil pengumuman UN nanti, kamu harus mengatakan yang sejujurnya mengenai diri kamu sama Mama kamu. Begitu pun aku, aku akan mengatakan mengenai penyakit yang aku derita."

Dilihatnya Alissa seperti tengah menimang-nimang ucapan Aiqal. Dengan cepat perempuan itu mengangguk mantap. "Setuju!"

Pernyataan Alissa mengakhiri percakapan mereka. Setelahnya mereka bergegas mengambil tas dan beranjak dari tempat duduknya. Mereka harus kembali ke rumah masing-masing karena gerbang sekolah akan segera di tutup.

BAGIAN 8

Hari Senin datang sekedip mata. Teman-temannya terlihat begitu santai menghadapi hari ini dan seharusnya Alissa juga bersikap santai seperti mereka. Perempuan itu tidak bisa berhenti membayangkan apa yang akan dilakukan ibunya jika ia tidak mendapatkan peringkat tiga besar. Padahal ibunya sudah mengatakan bahwa dirinya tidak akan menyakiti lagi Alissa, apapun hasilnya. Namun, tetap saja. Alissa tidak ingin menghancurkan harapan ibunya.


Alissa memang tidak merasa kesulitan saat mengerjakan soal ujian, tapi itu bukan jaminan untuknya. Lagi pula semua siswa di sekolah ini memiliki IQ yang tinggi. Mereka bukan hanya pintar, tapi juga jenius. Apalagi Dimas, dia selalu peringkat satu pararel walaupun jarang mengikuti kelas.

"Udah lah, Sa. Santai aja," ujar Aiqal yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik Alissa. "Aku yakin kamu masuk tiga besar."

"Eh! Kalian ngapain masih disini?" mereka cukup terkejut dengan kehadiran Saras dan Dimas yang begitu tiba-tiba.

"Pengumumannya udah ada, Sar?" perempuan itu mengangguk antusias. "Udah, dari tadi malah."

"Kalau gitu, kita lihat sama-sama."


Kecemasan Alissa bertambah saat dilihatnya sekumpulan siswa tengah mengerumuni papan pengumuman. Dengan tanggapnya Aiqal mengatasi kecemasan Alissa.

"Qal, kenapa mereka lihat aku gitu banget ya?" Aiqal sendiri heran, namun ia tidak mau menambah kecemasan Alissa. "Mungkin peringkat kamu naik drastis."

"Nggak mungkin, Qal! Mungkin peringkat aku yang turun drastis. Lebih buruk lagi dari sebelum-sebelumnya."

"Dari pada nebak-nebak, mending kalian lihat aja sendiri. Ribet banget," si peringkat satu pararel itu mengeluarkan suaranya. Sebenarnya ia tidak perlu repot-repot melihat papan pengumuman ini, toh ia sudah yakin. Atau hanya dengan melihat respon teman-temannya pun ia akan tahu sendiri. Namun, demi sang kekasih ia terpaksa ikut berkerumun seperti ini.

"Yaudah, ayok!" Aiqal membawa Alissa mendekat ke arah papan pengumuman. Menerobos setiap orang yang bersiap menghalangi langkahnya.

Alissa menelan ludah. Sekarang dirinya kembali menjadi pusat perhatian teman-temannya.

"Astaga, Alissa! Kamu peringkat kedua?" Saras menutup mulutnya, tidak percaya posisinya tergantikan oleh Alissa.

"Tuh kan, Dim! Kemarin aku nggak maksimal belajarnya. Belum lagi di soal kemarin ada foto aku. Ya aku panik lah. Kaget juga," perempuan itu merajuk pada kekasihnya. "Yaudah, sih. Yang penting aku masih di peringkat pertama."

Saras merengut kesal. "Kalau gitu, selamat ya Alissa. Nggak nyangka banget, kamu yang akan gantiin posisi aku. Aku kira Aiqal," Saras tersenyum sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka semua.

Otak Alissa berhenti beberapa saat. Sebelum matanya dengan tidak sengaja menatap Aiqal yang juga tengah menatapnya. Lelaki itu menyalurkan kehangatan melalui sorot matanya.

"Qal!" lirih Alissa, memanggil nama lelaki itu.

"Selamat, Sa. Sekarang percaya kan? Kalau mereka semua liatin kamu karena peringkat kamu yang naik drastis."

"Tapi, gimana bisa? Atau mungkin ada kesalahan di sistem penilaiannya."

Aiqal menggeleng samar disertai kekehan. "Nggak mungkinlah. Udah deh, dapat peringkat bagus bukannya bersyukur. Ini malah overthinking lagi," Alissa merengut kesal.

"Iya ... Iya ... Bersyukur, nih."

Aiqal tersenyum. Alissa melihat ada perubahan pada Aiqal. Lelaki itu terlihat begitu pucat hari ini. Tidak butuh waktu lama, setetes darah keluar dari hidungnya. Lelaki yang tengah tersenyum itu pun masih tidak menyadarinya.

"Qal! Kamu berdarah," Alissa panik membuat orang-orang disekitarnya menoleh ke arah mereka. "Cepat, Aiqal!"

BRUKK

Baru beberapa langkah, Aiqal sudah ambruk ditempatnya. Dengan segera ia membawa Aiqal ke UKS. Menurut dokter yang sedang bertugas di UKS, Aiqal harus ditangani si rumah sakit. Pihak sekolah pun langsung menghubungi keluarga Aiqal dan membawa Aiqal ke rumah sakit. Alissa yang begitu mengkhawatirkan sahabatnya itu lantas memaksa untuk ikut ke rumah sakit.

...

"Alissa ..."

"Tante," kedua perempuan itu saling memeluk dengan air mata Alissa yang telur mengalir sejak dari tadi.

"Apa yang terjadi sama Aiqal?" suara bariton dari ayah Aiqal membuat Alissa melepaskan pelukannya. "Alissa sama Aiqal-"

Suara dokter menghentikan ucapan Alissa. "Keluarga pasien?"

"Iya, kami orang tuanya," ucap ayah Aiqal. "Anak kami kenapa dok?" Kentara sekali bahwa ibunya Aiqal begitu mengkhawatirkan anaknya.

"Sudah berapa kali pasien mengalami mimisan?"pertanyaan itu membuat kedua orang tua Aiqal saling berpandangan. Alissa sendiri yang beberapa kali pernah melihat Aiqal mimisan tidak berani mengatakannya. 

"Ekhm, kami ... Kami tidak pernah melihat Aiqal mimisan sebelumnya."

Dokter mengangguk paham. "Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien mengalami leukimia kronis."

DUAR!! 

Bagai disambar petir. Jantungnya seperti berhenti berdetak, tubuhnya melemas seketika, dan waktu terasa begitu lambat. Bukan hanya Alissa, tapi juga kedua orang tua ini merasakannya.

Walaupun Alissa sudah mengetahui hal ini sebelumnya, tapi tetap saja. Rasanya seperti ini kali pertama ia mengetahui penyakit kronis yang menimpa teman seumur hidupnya.

"Leukimia, Dok?"

Dokter mengangguk dan memberikan surat hasil pemeriksaan kepada ayah Aiqal. Ibunya mengambil alih surat itu dan segera membukanya. Matanya memanas melihat keterangan bahwa anaknya ini benar-benar mengidap leukimia.

Alissa yang berada disampingnya, ikut membaca surat itu. Darahnya berdesir membaca satu persatu kalimat yang tertera di dalam surat itu. Ia ikut menangis, memeluk ibu Aiqal. Wanita ini pasti sangat terpukul mengetahui hal ini.

"Kami sudah boleh melihat anak kami, Dok?"

"Silakan, tetapi pasien masih harus banyak-banyak istirahat."

"Baik, terima kasih."

Dokter itu mengangguk dan segera pergi meninggalkan mereka. Alissa menuntun ibu Aiqal kedalam. Dilihatnya tubuh yang terkapar terbaring lemah di atas bangkar. Wajahnya yang semula putih merona, kini terlihat pucat pasi.

Aiqal yang sudah menyadari kehadiran mereka, melemparkan senyum. Ibunya dengan segera menghampiri dan memeluknya. Lagi-lagi isakan terdengar dari wanita karir itu.

"Ma, Aiqal nggak apa-apa," lelaki itu mengusap jejak-jejak air mata ibunya.

"Bisa-bisanya Mama nggak tahu kalau selama ini kamu merasakan sakit," sang suami menghampiri istrinya. Ia mencoba untuk menenangkannya.

"Maafkan kami, Aiqal. Karena Papa dan Mama terlalu sibuk dengan pekerjaan. Kami tidak pernah sempat menanyakan keadaan kamu, apa yang kamu alami selama ini, dan yang kami tahu hanya kamu adalah siswa yang berprestasi." Alissa terharu melihat kedua orang tua itu menangis, meminta maaf kepada anaknya.

Alissa kembali teringat akan kejadian dimana ibunya meminta maaf. Rasanya sama seperti ini. Apa yang Alissa alami, kini Aiqal telah mengalaminya.

"Ini bukan salah kalian. Aiqal sendiri yang kurang memerhatikan kesehatan Aiqal. Aiqal yang terlalu memporsir jam belajar Aiqal. Aiqal bersyukur, karena sesibuk apapun kalian, kalian tetap menyempatkan diri untuk bertemu Aiqal. Entah itu saat sarapan, atau makan malam."

Senyum yang Aiqal tunjukkan menular ke semua orang yang ada didalam ruangan ini. Aiqal yang menyadari Alissa yang sedari tadi diam saja, memintanya untuk mendekat.

Alissa menurut, ia mendekat ke arah keluarga kecil itu. "Papa sama Mama nggak usah khawatir sama Aiqal. Karena Aiqal punya Alissa."

Mendengar pernyataan itu darah Alissa mendesir. Nafasnya berhenti beberapa saat. Dan dirasa otaknya tak lagi berfungsi. Ia tidak bisa mencerna perkataan Aiqal.

"Aiqal selalu merasa perlakuan dan kasih sayang yang kalian berikan, sama seperti Alissa."

"Mama sangat senang kalau ternyata perempuan itu Alissa. Mama juga berharap, kalau Alissa bisa menganggap Aiqal seperti Aiqal menganggap Alissa."

Alissa tersenyum kikuk, lain halnya dengan Aiqal yang sedari tadi menahan tawa melihat gerak-gerik alissa. "Mama tenang aja. Alissa pernah bilang, cuma Aiqal satu-satunya lelaki yang ada di hidup Alissa."

Wajahnya memerah, malu sekali rasanya. Disini, ia sama sekali tidak bisa bersembunyi. Mau mengelak pun rasanya sudah tidak sanggup. Terlalu malu untuk Alissa mengangkat wajahnya.

"Udah siap nih masuk kartu keluarga kita," semuanya tertawa mendengar ucapan sang kepala keluarga. Terkecuali Alissa, ia hanya bisa mengulum senyumnya saat ayah Aiqal mengatakan itu.

"Udah, udah. Kasihan, anak orang ini."

BAGIAN 9

Kebahagiaan Alissa bertambah saat mengetahui ternyata mulai melihat dirinya. Bukan sebagai teman, bukan sebagai tetangga, bukan juga sebagai sahabatnya. Tetapi sebagai Alissa, Alissa yang selalu ada untuknya. Membantunya menutupi luka-luka yang selama ini Aiqal rasakan. Begitupun Alissa, ia merasa bahwa Aiqal selalu membantunya keluar dari masalah-masalah ini. Juga membantu menutupi luka-lukanya.

Namun, Alissa baru teringat akan satu hal. Apakah Aiqal melihat dirinya sebagai Alissa, atau mungkin Maura? Tidak ada yang tahu, kecuali Aiqal sendiri.

Alissa tersentak saat seseorang mengelus rambutnya. "Mama bangga sama kamu. Selamat ya, akhirnya kamu bisa mendapatkan beasiswa itu."

Alissa tersenyum. Ia teringat janjinya dengan Aiqal tempo hari. Aiqal sudah menepati janjinya, kini gilirannya. Siap, tidak siap. Ia sudah berjanji pada Aiqal.

"Ma, percaya nggak ... Kalau seseorang ruhnya bisa menempati raga orang lain?" ibunya mengatupkan kedua alisnya. "Nggak mungkinlah. Kalaupun ada, itu cuma cerita fiksi."

"Kalau kejadian ini terjadi sama Alissa, gimana?" Alissa memainkan jarinya. Ia takut dengan respon ibunya. "Maksud kamu?"

"Alissa mau bicara jujur sama Mama," wanita itu semakin tidak mengerti arah pembicaraan anaknya ini. "Apa sih? Jangan buat Mama penasaran."

"Alissa ... Aku Maura."

"Alissa ... Kamu kalau bicara yang jelas, Mama nggak ngerti maksud kamu."

Alissa menghela nafasnya. "Alissa akan jelaskan. Tapi Mama nggak boleh potong ucapan Alissa sebelum selesai," wanita itu mengangguk.

Alissa menahan nafasnya sebentar. Kemudian mulai menceritakan semuanya. Mulai dari kejadian terakhir saat di rumahnya sampai bagaimana awal ia menginjakkan kaki di dunia fiksi ini.

Awalnya raut wajah sang ibu terlihat marah, kesal, dan tidak percaya dengan omong kosong Maura. Namun, setelah Alissa jelaskan perubahan-perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah kecelakaan Alissa membuat ibunya paham. Benar juga, Alissa tidak mungkin mungkin mendapat peringkat seburuk itu walaupun tidak belajar. Alissa yang selalu membantah dan tidak pernah meminta maaf atau ampun saat disakiti olehnya.

Alissa yang sekarang benar-benar berbeda. Sebaliknya dengan Alissa yang sebelumnya. Walaupun ia tidak begitu yakin dengan hal ini, tapi ia akan mencoba menerimanya. Yang berbeda hanya kepribadiannya, bukan raganya. Pikir sang ibu.

"Mama, akan tetap menganggap aku sebagai anak Mama?" wanita itu mengangguk. "Tentu, walaupun akan sulit untuk Mama."

Alissa paham. Apalagi seorang ibu, ia pasti akan sangat sulit menerima hal-hal yang terjadi pada putri semata wayangnya.

"Kamu, akan terus berada di dalam tubuh Alissa?"

"Aku tidak tahu. Kalau bisa, aku ingin secepatnya kembali pada kehidupanku yang semula."

Ibunya tetap tersenyum walaupun terlihat ada kesedihan diwajahnya. Bagaimana pun juga, ia sudah kehilangan anaknya.

...

Alissa dan Aiqal sudah dinyatakan lulus sejak beberapa hari yang lalu. Saat ini mereka tengah menanti pengumuman lolos atau tidaknya di perguruan tinggi yang mereka tuju menggunakan beasiswa yang mereka dapatkan semasa SMA.

"Nggak kerasa ya, bentar lagi udah mau jadi anak kuliahan aja."

Senyum Alissa tertahan, ia menoleh menghadap Aiqal. "Nggak nyangka, aku sama Mama akan berakhir seperti ini."

"Rencana Tuhan emang nggak ada yang salah. Kalaupun menurut kita itu nggak adil, tapi menurutNya itu yang terbaik."

"Menurut kamu, Alissa akan senang nggak ya?" Alissa menoleh ke arah lengannya. Disana terlihat Aiqal baru saja mengaitkan jari-jari mereka.

"Pasti," senyuman terukir diwajahnya. Menampilkan lesung pipi yang sangat menggemaskan bagi Alissa.

"Sa, mau makan apa?" keduanya masih terus berbincang-bincang sambil menyusuri setiap sudut kota.

"Makan di rumah aja."

"Kamu yang masak?" sudah lama rasanya Alissa tidak memasak untuk dirinya. Terakhir adalah dua hari yang lalu. Sebentar, tapi menurut Aiqal itu lama.

"Mie instan, mau?" Lelaki itu menghentikan langkahnya. "Nggak mau. Kita makan di sebrang aja," putusnya.

Aiqal segera menuntun Alissa menyebrangi jalanan. Dilihatnya kanan dan kiri tidak ada kendaraan, hanya ada beberapa yang sedang melaju dengan kecepatan biasa.

Alissa yang melihat kesempatan itupun menggunakannya untuk melepas genggamannya pada lengan Aiqal dan segera kembali ke tempat semula.

"Alissa!" Aiqal menyadarinya saat hampir sampai. "Sebentar! Dompet aku jatuh."

Aiqal kembali menghampiri Alissa. Tanpa melihat kanan dan kiri, ia menyebrang begitu saja. Sampai akhirnya ia melihat Alissa berlari kearahnya, mendorongnya, dan membuatnya terpental dari tempat itu.

BRUGH

Suara benturan mobil dan teriakan dari orang-orang yang sedang berjalan membuatnya panik. Alissa! Pikir Aiqal. Dilihatnya tubuh perempuan itu terbaring didepan mobil yang baru saja menabraknya. Darah bercucuran disekitar tubuhnya.

Alissa yang baru saja ingin ia lindungi, ingin ia jaga, dan ingin ia pertahankan selamanya, terkulai lemah di pelukannya.

Semua karena dirinya. Dia yang tidak sabaran dan tidak hati-hati membuat teman seumur hidupnya itu celaka. Aiqal sendiri tidak akan pernah memaafkan dirinya jika sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi pada Alissa.

BAGIAN 10

"Kamu udah sadar?" pandangannya belum sepenuhnya jelas. Pendengarannya pun masih berfungsi samar-samar. Terakhir yang dia ingat adalah saat akan pergi ke sebuah tempat makan bersama Aiqal. Namun, kendaraan dari samping melaju dengan kecepatan tinggi membuat tubuhnya sedikit terpental.

"Panggil dokter, cepat!"

Tak lama seorang dokter pun datang bersama satu orang perawat disampingnya. "Alhamdulillah, putri anda sudah sadar dari koma nya. Tetapi ia masih harus banyak-banyak istirahat. Jangan terlalu banyak membuatnya beepikir."

Sang ayah mengangguk. Paham akan ucapan dokter. "Maura ... Kamu masih ingat ibu, kan?"

Maura? Apakah mereka semua sudah bisa menerimanya sebagai Maura? Pelan-pelan, ia mulai membuka matanya dengan sempurna.

"Kak, ini aku, Azra."

"Kamu nggak lupa sama Ayah, Ibu, dan adik kamu ini kan?" Kali ini sang ayah yang bersuara.

Ia sungguh terkejut. Matanya sudah terbuka sepenuhnya. Dilihatnya ayah, ibu, dan adiknya sedang memerhatikan dirinya. Ia tidak mengerti maksud dari semua ini.

"Ibu ... Aku, belum meninggal?" reflek mereka semua menggeleng. "Hush! Dijaga ucapannya!"

Benar, dirinya masih hidup. Pikir Maura.

"Tapi Bu, aku nggak tahu ini mimpi atau bukan. Tapi selama ini aku mengalami beberapa kejadian. Aku ... Meninggal dan kemudian hidup di dunia fiksi. Di cerita novel yang akan aku beli, Bu."

"Kamu ini ada-ada saja."

"Kenapa kamu berpikir seperti itu? Setelah kecelakaan kereta itu, dokter menyatakan bahwa kamu selamat, Maura. Kamu hanya mengalami koma. Sudah hampir sebulan ini kamu tidak sadarkan diri," ujar sang ayah.

"Aku, Ayah, dan Ibu. Kami semua sedih mendapatkan kabar kecelakaan yang menimpa Kakak. Apalagi Ibu, Ibu sampai tidak mau makan berhari-hari."

Alissa mulai menceritakan semuanya. Percaya, tidak percaya. Ternyata selama ini, semua yang dia alami hanyalah mimpi. Karena nyatanya, dia tidaklah meninggal. Dia hanya koma, dan selama itu dia bermimpi hidup di dunia fiksi.

"Sekarang kalian jangan sedih-sedih lagi, ya? Aku kan udah sadar. Ibu juga harus banyak-banyak makan. Biar Maura bisa cepat sembuh," perempuan itu menunjukkan senyumannya. Menandakan bahwa ia sudah baik-baik saja.

Senang rasanya mengetahui kalau semua itu hanyalah mimpi. Ia bisa kembali bersama keluarga yang sesungguhnya. Walaupun ada sedikit rasa sedih di hatinya. Harus meninggalkan dunia mimpinya, Aiqal, Mama Alissa, dan teman-temannya yang lain.

"Kak, kemarin aku beli novel yang kakak mau. Nih," Alissa langsung membuka isinya. Ia melihat ending pada cerita itu. Dan ternyata, sebagian cerita yang belum ia baca hampir sama dengan apa yang terjadi di mimpinya.

"Aku selalu bacain novel ini untuk kakak. Siapa tau kakak bangun. Dan benar, sekarang kakak udah sadar."

Alissa berpikir. Mungkin ia mendengar cerita ini dari Azra saat dirinya koma. Maka dari itu, jalan cerita di mimpinya tidak jauh berbeda dengan yang ada di novel.

Ah, sudah lah. Itu semua hanya mimpi. Tidak ada gunanya ia terus tenggelam dalam pikiran-pikiranya itu.

Tapi dari kejadian ini, ia bisa mendapatkan banyak sekali pelajaran saat berada di dalam cerita fiksi itu. Sebagai Alissa. Ia menjadi tahu bahwa untuk mendapatkan apa yang ia mau itu butuh banyak sekali perjuangan. Hidup tanpa persaingan itu mustahil. Seperti Alissa, ia harus bersaing untuk mempertahankan peringkat nya.

Tekanan yang diberikan oleh orang tua, bukan semata-mata untuk mereka sendiri. Tapi untuk diri kita juga. Orang tua mana yang tega menghancurkan hidup anaknya demi kebahagiaan dirinya sendiri? Tidak ada. Setiap orang tua pasti mempunyai alasan sendiri dalam memperlakukan anaknya.

Sejahat dan seburuk apapun perlakuan orang tua kita, mereka tetaplah orang yang sudah membesarkan kita. Sudah seharusnya kita berbakti dan menghormati mereka.

Maura sangat bersyukur dengan kejadian ini. Kecelakaan kereta api yang menimpanya ternyata tidak serta merta merenggut nyawanya. Ia masih dapat si selamatkan dari kecelakaan ini. Ia masih bisa bertemu dengan ibu, ayah, dan adiknya. Mungkin Tuhan masih memberikan waktu kepadanya untuk bertaubat terlebih dahulu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun