Walaupun Alissa sudah mengetahui hal ini sebelumnya, tapi tetap saja. Rasanya seperti ini kali pertama ia mengetahui penyakit kronis yang menimpa teman seumur hidupnya.
"Leukimia, Dok?"
Dokter mengangguk dan memberikan surat hasil pemeriksaan kepada ayah Aiqal. Ibunya mengambil alih surat itu dan segera membukanya. Matanya memanas melihat keterangan bahwa anaknya ini benar-benar mengidap leukimia.
Alissa yang berada disampingnya, ikut membaca surat itu. Darahnya berdesir membaca satu persatu kalimat yang tertera di dalam surat itu. Ia ikut menangis, memeluk ibu Aiqal. Wanita ini pasti sangat terpukul mengetahui hal ini.
"Kami sudah boleh melihat anak kami, Dok?"
"Silakan, tetapi pasien masih harus banyak-banyak istirahat."
"Baik, terima kasih."
Dokter itu mengangguk dan segera pergi meninggalkan mereka. Alissa menuntun ibu Aiqal kedalam. Dilihatnya tubuh yang terkapar terbaring lemah di atas bangkar. Wajahnya yang semula putih merona, kini terlihat pucat pasi.
Aiqal yang sudah menyadari kehadiran mereka, melemparkan senyum. Ibunya dengan segera menghampiri dan memeluknya. Lagi-lagi isakan terdengar dari wanita karir itu.
"Ma, Aiqal nggak apa-apa," lelaki itu mengusap jejak-jejak air mata ibunya.
"Bisa-bisanya Mama nggak tahu kalau selama ini kamu merasakan sakit," sang suami menghampiri istrinya. Ia mencoba untuk menenangkannya.
"Maafkan kami, Aiqal. Karena Papa dan Mama terlalu sibuk dengan pekerjaan. Kami tidak pernah sempat menanyakan keadaan kamu, apa yang kamu alami selama ini, dan yang kami tahu hanya kamu adalah siswa yang berprestasi." Alissa terharu melihat kedua orang tua itu menangis, meminta maaf kepada anaknya.