Alissa kembali teringat akan kejadian dimana ibunya meminta maaf. Rasanya sama seperti ini. Apa yang Alissa alami, kini Aiqal telah mengalaminya.
"Ini bukan salah kalian. Aiqal sendiri yang kurang memerhatikan kesehatan Aiqal. Aiqal yang terlalu memporsir jam belajar Aiqal. Aiqal bersyukur, karena sesibuk apapun kalian, kalian tetap menyempatkan diri untuk bertemu Aiqal. Entah itu saat sarapan, atau makan malam."
Senyum yang Aiqal tunjukkan menular ke semua orang yang ada didalam ruangan ini. Aiqal yang menyadari Alissa yang sedari tadi diam saja, memintanya untuk mendekat.
Alissa menurut, ia mendekat ke arah keluarga kecil itu. "Papa sama Mama nggak usah khawatir sama Aiqal. Karena Aiqal punya Alissa."
Mendengar pernyataan itu darah Alissa mendesir. Nafasnya berhenti beberapa saat. Dan dirasa otaknya tak lagi berfungsi. Ia tidak bisa mencerna perkataan Aiqal.
"Aiqal selalu merasa perlakuan dan kasih sayang yang kalian berikan, sama seperti Alissa."
"Mama sangat senang kalau ternyata perempuan itu Alissa. Mama juga berharap, kalau Alissa bisa menganggap Aiqal seperti Aiqal menganggap Alissa."
Alissa tersenyum kikuk, lain halnya dengan Aiqal yang sedari tadi menahan tawa melihat gerak-gerik alissa. "Mama tenang aja. Alissa pernah bilang, cuma Aiqal satu-satunya lelaki yang ada di hidup Alissa."
Wajahnya memerah, malu sekali rasanya. Disini, ia sama sekali tidak bisa bersembunyi. Mau mengelak pun rasanya sudah tidak sanggup. Terlalu malu untuk Alissa mengangkat wajahnya.
"Udah siap nih masuk kartu keluarga kita," semuanya tertawa mendengar ucapan sang kepala keluarga. Terkecuali Alissa, ia hanya bisa mengulum senyumnya saat ayah Aiqal mengatakan itu.
"Udah, udah. Kasihan, anak orang ini."