Alissa memang tidak merasa kesulitan saat mengerjakan soal ujian, tapi itu bukan jaminan untuknya. Lagi pula semua siswa di sekolah ini memiliki IQ yang tinggi. Mereka bukan hanya pintar, tapi juga jenius. Apalagi Dimas, dia selalu peringkat satu pararel walaupun jarang mengikuti kelas.
"Udah lah, Sa. Santai aja," ujar Aiqal yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik Alissa. "Aku yakin kamu masuk tiga besar."
"Eh! Kalian ngapain masih disini?" mereka cukup terkejut dengan kehadiran Saras dan Dimas yang begitu tiba-tiba.
"Pengumumannya udah ada, Sar?" perempuan itu mengangguk antusias. "Udah, dari tadi malah."
"Kalau gitu, kita lihat sama-sama."
Kecemasan Alissa bertambah saat dilihatnya sekumpulan siswa tengah mengerumuni papan pengumuman. Dengan tanggapnya Aiqal mengatasi kecemasan Alissa.
"Qal, kenapa mereka lihat aku gitu banget ya?" Aiqal sendiri heran, namun ia tidak mau menambah kecemasan Alissa. "Mungkin peringkat kamu naik drastis."
"Nggak mungkin, Qal! Mungkin peringkat aku yang turun drastis. Lebih buruk lagi dari sebelum-sebelumnya."
"Dari pada nebak-nebak, mending kalian lihat aja sendiri. Ribet banget," si peringkat satu pararel itu mengeluarkan suaranya. Sebenarnya ia tidak perlu repot-repot melihat papan pengumuman ini, toh ia sudah yakin. Atau hanya dengan melihat respon teman-temannya pun ia akan tahu sendiri. Namun, demi sang kekasih ia terpaksa ikut berkerumun seperti ini.
"Yaudah, ayok!" Aiqal membawa Alissa mendekat ke arah papan pengumuman. Menerobos setiap orang yang bersiap menghalangi langkahnya.
Alissa menelan ludah. Sekarang dirinya kembali menjadi pusat perhatian teman-temannya.