Sinopsis
Alya dan Arga adalah dua sahabat yang selalu tampak bertolak belakang. Sejak kecil, mereka sering bertengkar karena hal-hal sepele—dari siapa yang harus duduk di depan di mobil hingga memilih acara TV. Meski sudah tumbuh dewasa, kebiasaan mereka saling berdebat tak pernah hilang. Setiap kali bertemu, selalu ada kesalahpahaman yang membuat keduanya kesal satu sama lain.
Namun, di balik tatapan sinis dan sindiran tajam, ada perasaan yang mulai muncul tanpa mereka sadari. Alya sering bertanya-tanya, mengapa hatinya berdebar setiap kali Arga menatapnya lama-lama, meskipun ekspresi wajahnya datar dan dingin? Dan Arga, yang selalu merasa kesal dengan sifat keras kepala Alya, mendapati dirinya mulai merindukan kehadirannya.
Saat keduanya dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek kampus, hubungan mereka semakin rumit. Dengan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama, batas antara persahabatan dan perasaan cinta mulai kabur. Tapi, apakah mereka bisa mengatasi ego dan kesalahpahaman yang selama ini menjadi penghalang, atau justru akan kehilangan satu sama lain?
Dalam suasana penuh tawa, tangis, dan momen-momen manis, "Cinta dalam Tatapan Kesal" menggambarkan bagaimana cinta bisa tumbuh di tempat yang tak terduga, bahkan dalam kemarahan yang paling dalam.
Bab 1: Sebuah Pertemuan yang Tidak Terduga
Matahari sore bersinar lembut ketika Alya melangkah keluar dari gedung kampus, rambut panjangnya tergerai ditiup angin. Hatinya sedang gundah. Minggu ini penuh dengan tugas, dan dosen favoritnya baru saja menambah daftar pekerjaan dengan sebuah proyek besar. Dan tentu saja, ia harus bekerja berpasangan. Sesuatu yang paling tidak ia sukai—berbagi pekerjaan dengan orang lain.
“Kenapa harus berpasangan, sih? Aku bisa melakukan semuanya sendiri,” gumamnya kesal sambil menatap layar ponselnya.
Tanpa memperhatikan jalan, Alya hampir menabrak seseorang. Dengan langkah cepat, orang itu berhasil menghindar tepat waktu.
“Perhatikan jalan kalau jalan, Alya. Nggak semua orang punya waktu buat berhenti mendadak kayak aku,” suara dingin itu terdengar familiar. Alya mendongak dan melihat wajah yang sangat dikenalnya—Arga.
“Kenapa harus kamu sih, Ga? Baru ketemu aja sudah bikin hari aku lebih buruk,” balas Alya sambil melipat tangan di dadanya, alisnya terangkat tinggi.
Arga mengangkat bahunya, ekspresinya datar seperti biasa. “Aku nggak minta ketemu kamu juga. Jalanmu aja yang nggak hati-hati.”
Mereka berdua sering bertemu, tapi setiap pertemuan selalu diwarnai dengan argumen kecil. Bukannya tak kenal, mereka adalah teman masa kecil, tetangga yang sering kali terpaksa menghabiskan waktu bersama saat masih kecil. Namun, seiring bertambahnya usia, hubungan mereka lebih mirip seperti kucing dan anjing.
Alya mendesah, merasa hari ini semakin melelahkan. “Kamu dapat proyek kelompok juga, kan?”
“Iya,” jawab Arga singkat, seolah tak peduli.
“Harapanku, semoga kamu bukan partner aku. Aku butuh yang bisa diajak kerja sama,” kata Alya dengan nada sinis.
Arga tersenyum tipis, tatapan matanya tetap tenang. “Kamu beruntung, Alya. Ternyata aku partner kamu.”
Alya terdiam sejenak, lalu menatap Arga dengan ekspresi tak percaya. “Kamu serius?”
Arga mengangguk pelan. “Aku juga nggak suka ini. Tapi ya, mau gimana lagi. Kita berdua harus menyelesaikan ini bersama.”
Alya menahan diri untuk tidak berteriak frustrasi. Dari semua orang di kelasnya, kenapa harus Arga? Orang yang paling sering membuatnya kesal! Semakin dipikirkan, semakin ia merasa hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya.
“Kita harus mulai bekerja besok, siapkan waktumu,” ujar Arga sambil melirik jam tangannya. Tanpa menunggu jawaban dari Alya, dia berbalik dan berjalan pergi.
Alya hanya bisa menatap punggung Arga yang semakin menjauh. “Hebat, sekarang aku harus bertahan hidup dengan si dingin Arga,” gumamnya pelan, berusaha menahan kekesalan yang meletup di dadanya.
Namun, di dalam hati, ada perasaan lain yang tak bisa ia abaikan. Meskipun mereka selalu bertengkar, ada sesuatu tentang Arga yang selalu membuatnya penasaran. Sesuatu yang selama ini berusaha ia tolak. Tapi, bekerja berdua dengan Arga selama berminggu-minggu? Alya tak yakin bisa terus menghindar dari perasaan itu.
Dengan berat hati, Alya melangkah pulang, pikirannya penuh dengan bayangan tentang proyek, tugas yang menumpuk, dan… Arga.
Besok akan jadi awal yang panjang, dan Alya tidak yakin dia siap menghadapi perasaan yang mulai bercampur aduk di hatinya.
Bab 2: Awal dari Sebuah Ketegangan
Keesokan harinya, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena bersemangat, melainkan karena perutnya terasa bergejolak. Mengingat ia harus bertemu dan bekerja sama dengan Arga seharian ini membuatnya stres. Ia memandang pantulan dirinya di cermin, berharap bisa menghilangkan segala kecemasan yang mengganggunya.
"Tenang, Alya. Kamu cuma harus melewati ini. Nggak ada yang spesial tentang kerja kelompok ini," katanya pada diri sendiri, mencoba menyuntikkan keberanian.
Namun, meski sudah mengatakan itu berulang kali, jantungnya tetap berdebar lebih cepat dari biasanya. Dengan enggan, ia mengambil tasnya dan melangkah keluar menuju kafe dekat kampus tempat ia dan Arga sepakat untuk bertemu.
Ketika Alya sampai di kafe, Arga sudah duduk di sudut ruangan dengan laptop terbuka. Wajahnya tetap tenang dan dingin, seperti biasa. Ia terlihat asyik mengetik, tampak tak peduli dengan suasana sekitar. Alya mendekat dan duduk di depannya, berusaha sekeras mungkin untuk mengendalikan raut wajahnya agar tidak menunjukkan kekesalan.
"Udah mulai tanpa aku, ya?" tanya Alya, mencoba terdengar santai, meski nada kesal tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan.
Arga mengangkat kepala, menatap Alya sekilas sebelum kembali pada laptopnya. "Aku cuma ngatur template dokumen. Biar kita nggak buang waktu."
Alya menghela napas dalam. Ia tahu Arga bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi sikapnya yang selalu tenang dan tanpa ekspresi itu kadang bisa sangat mengganggu. "Oke, jadi kita mulai dari mana?"
Arga menutup laptopnya sebentar, menatap Alya dengan serius. "Aku pikir kita bisa bagi tugas. Aku ambil bagian riset dan kamu bisa fokus pada presentasi. Biar lebih cepat selesai."
Alya mengernyit. "Tunggu, jadi kamu mikir aku cuma bisa bikin presentasi? Bukannya aku juga bisa riset?"
Arga menaikkan alis. "Bukan gitu. Aku cuma ngatur biar kerja kita efisien. Kamu jago ngomong di depan kelas, dan aku lebih suka di belakang layar. Jadi logis kan kalau kita bagi tugas kayak gitu?"
Meski masuk akal, Alya tetap merasa tersinggung. Ia tidak suka dianggap hanya bisa melakukan satu hal. "Kalau gitu, kita kerjain dua-duanya bareng. Aku nggak mau cuma bagian ngomong. Aku juga mau kontribusi di riset."
Arga menghela napas pendek, tampak berpikir. "Oke, kalau itu yang kamu mau. Tapi kalau ada masalah dengan riset, jangan salahin aku."
Alya mendecak pelan, menahan diri untuk tidak membalas dengan kata-kata tajam. "Santai aja. Aku tahu apa yang aku lakukan."
Percakapan mereka terus berlanjut dengan nada dingin dan penuh ketegangan. Setiap kali salah satu dari mereka mencoba mengusulkan ide, yang lain selalu punya argumen yang seolah-olah sengaja mencari perdebatan. Mereka berdua keras kepala, sama-sama enggan mengalah.
Namun, meskipun suasana di antara mereka terasa canggung dan tegang, ada momen-momen singkat di mana Alya menangkap tatapan Arga yang berbeda. Sekilas saja, seperti dia sedang berpikir lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Tapi, setiap kali Alya mencoba mengamati lebih jauh, Arga kembali menjadi dirinya yang biasa—dingin dan tak terjangkau.
Setelah beberapa jam diskusi tanpa banyak hasil, Alya mulai merasa lelah. Mereka berdua tampak keras kepala, terlalu sibuk saling mempertahankan pendapat hingga tidak banyak kemajuan.
"Aku rasa kita perlu istirahat sebentar," kata Alya sambil menghela napas, menutup laptopnya. "Kalau terus kayak gini, kita nggak akan selesai."
Arga melihat jam tangannya dan mengangguk. "Baiklah. Kita bisa lanjut setelah makan siang."
Saat mereka berjalan keluar dari kafe, suasana masih terasa canggung. Alya menggigit bibirnya, mencoba menghilangkan rasa frustrasi yang mengganggunya sejak awal pertemuan.
"Kenapa kamu selalu serius banget, sih, Ga?" tanya Alya tiba-tiba, menghentikan langkah mereka. Arga menatapnya dengan alis sedikit terangkat, tampak terkejut dengan pertanyaan itu. "Maksudku, kamu selalu kayak… nggak peduli sama hal-hal kecil. Kayak, nggak ada yang bisa bikin kamu marah atau kesal."
Arga tersenyum tipis, senyum yang jarang Alya lihat. "Mungkin karena aku nggak mau buang waktu buat hal-hal nggak penting."
"Itu menurut kamu, Ga. Tapi nggak semua hal kecil nggak penting," balas Alya dengan nada lebih lembut.
Arga diam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. "Mungkin kamu benar. Tapi aku selalu berpikir, kalau terlalu mikirin hal-hal kecil, kita malah bakal kehilangan gambaran besarnya."
Alya mengangguk pelan, mencoba memahami cara pikir Arga. "Tapi kadang, hal-hal kecil itu justru yang bikin semuanya lebih bermakna."
Perkataan Alya membuat Arga terdiam lebih lama kali ini. Mereka melanjutkan berjalan dalam diam, tapi suasana antara mereka sedikit berubah. Mungkin ini baru langkah awal, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda di antara mereka.
Bab 3: Batas Antara Persahabatan dan Perasaan
Keesokan harinya, Alya sudah bersiap lebih awal dari biasanya. Meski sedikit gugup, ia merasa hari ini mungkin akan lebih baik. Pertemuan terakhir mereka, meski diwarnai argumen, setidaknya membuat mereka mulai memahami cara berpikir masing-masing, walau sedikit. Ia bertekad untuk bekerja lebih baik dengan Arga kali ini—meski masih ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
Sesampainya di kampus, ia menemukan Arga sudah berada di ruang kelas dengan laptopnya, seperti biasa. Ia tampak serius melihat catatan riset yang mereka kumpulkan, wajahnya tenang seperti selalu. Alya melangkah masuk dengan hati-hati, berharap kali ini mereka bisa bekerja sama tanpa banyak gesekan.
"Selamat pagi," sapa Alya sambil duduk di sebelah Arga.
Arga melirik ke arah Alya sejenak sebelum kembali ke layar laptopnya. "Pagi."
Alya tersenyum tipis, sedikit lega karena suasana tidak sekaku sebelumnya. Ia membuka laptopnya dan mulai bekerja bersama Arga tanpa banyak bicara. Namun, di tengah-tengah kesibukan, Alya tak bisa menahan rasa penasaran yang terus mengganggunya sejak pertemuan terakhir mereka.
"Arga," panggil Alya pelan. "Aku masih kepikiran soal yang kamu bilang kemarin."
Arga berhenti mengetik dan menatap Alya, menunggu kelanjutan kata-katanya.
"Soal hal-hal kecil yang menurut kamu nggak penting. Aku cuma ingin tahu... Apa kamu benar-benar nggak pernah peduli sama hal-hal kayak gitu?" tanya Alya sambil memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi wajah Arga yang biasanya sulit ditebak.
Arga terdiam sebentar, seolah mempertimbangkan jawaban yang tepat. "Aku nggak bilang aku nggak pernah peduli. Cuma, aku punya prioritas. Kadang, hal-hal kecil memang penting, tapi seringkali mereka cuma ganggu fokus."
Alya mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik jawaban Arga. Ia menatap wajahnya yang dingin, tapi entah kenapa kali ini ia merasa ada sedikit kehangatan di sana, sesuatu yang selama ini mungkin ia lewatkan.
"Kadang... Aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu," ujar Alya tanpa sadar.
Arga menatapnya dengan alis terangkat. "Menyembunyikan apa?"
"Aku nggak tahu. Cuma... Aku merasa kamu nggak sepenuhnya seperti yang kamu tunjukkan. Seperti ada bagian dari kamu yang kamu nggak biarkan orang lain lihat," jawab Alya, menatap Arga dengan serius.
Arga tak langsung menjawab. Dia menatap laptopnya sejenak sebelum kembali menatap Alya. "Mungkin kamu terlalu banyak mikir, Alya."
Alya mendengus pelan. "Mungkin. Tapi aku rasa ada yang kamu sembunyikan."
Sebelum Arga bisa menjawab, pintu kelas terbuka dan beberapa teman mereka masuk. Suasana berubah, dan percakapan terhenti begitu saja. Namun, Alya tak bisa menghilangkan perasaan aneh yang terus tumbuh setiap kali dia berhadapan dengan Arga. Ada sesuatu di balik sikap dinginnya yang membuatnya semakin penasaran.
Selama beberapa jam berikutnya, mereka kembali fokus pada proyek mereka, berbagi ide dan berdiskusi tanpa banyak perdebatan. Meski terkadang Arga tetap menunjukkan sisi keras kepalanya, Alya mulai melihat bahwa dia sebenarnya mendengarkan dan mempertimbangkan masukan dari orang lain—termasuk dirinya.
Ketika jam makan siang tiba, Arga menutup laptopnya dan menghela napas. "Kayaknya kita butuh istirahat. Kita udah cukup banyak kemajuan hari ini."
Alya mengangguk setuju. "Iya, benar. Mungkin kita bisa makan siang di kantin."
Mereka berjalan bersama menuju kantin kampus, dan selama beberapa menit pertama, suasana di antara mereka cukup canggung. Tapi, lambat laun, Alya mulai merasa lebih nyaman, dan begitu juga Arga. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal di luar proyek, mulai dari film yang baru mereka tonton hingga kenangan masa kecil mereka.
"Masih ingat waktu kita dulu sering rebutan mainan di rumah aku?" Alya tiba-tiba bertanya dengan senyum mengembang.
Arga tertawa kecil—suara yang jarang didengar Alya. "Iya, kamu selalu ngotot mau menang."
"Kamu juga! Kamu nggak pernah mau ngalah," protes Alya, meski sambil tertawa.
Percakapan santai itu membuat keduanya lupa akan ketegangan yang biasa terjadi di antara mereka. Alya mulai menyadari bahwa, di balik sikap dingin dan serius Arga, sebenarnya ada seseorang yang hangat dan peduli. Hanya saja, dia terlalu pandai menyembunyikannya.
Saat mereka kembali ke kelas, Alya merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Perasaan yang selama ini ia coba abaikan mulai terasa lebih nyata. Setiap kali ia berada di dekat Arga, perasaannya semakin sulit dikendalikan. Ini bukan lagi hanya tentang persahabatan yang penuh dengan argumen dan kesal. Ada sesuatu yang lebih dalam.
Dan Alya tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi perasaan itu—atau mungkin, hanya membiarkannya berkembang dengan cara yang tak terduga.
Bab 4: Ketidakpastian yang Mengganggu
Alya menatap layar laptopnya, namun pikirannya jauh melayang. Di hadapannya, Arga duduk dengan wajah serius, sekali lagi tenggelam dalam riset mereka. Tapi bagi Alya, proyek ini bukan lagi satu-satunya hal yang mengganggu pikirannya. Semakin ia bekerja bersama Arga, semakin jelas perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
“Alya?” suara Arga membuyarkan lamunannya.
“Hah? Apa?” Alya mengerjapkan mata, berusaha kembali fokus.
“Kamu udah dapet bagian yang kamu riset? Aku butuh data itu buat merapikan analisisnya,” kata Arga dengan nada netral, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.
Alya merasa wajahnya memerah sedikit. "Iya, iya... maaf, aku nggak fokus tadi. Aku akan selesaikan sekarang."
Arga hanya mengangguk dan kembali menatap laptopnya. Meski sikapnya tampak biasa, Alya merasakan bahwa Arga mulai menyadari ada sesuatu yang mengganggunya. Namun, ia terlalu takut untuk mengungkapkannya, apalagi jika itu menyangkut perasaan yang mulai tumbuh terhadap Arga.
Setelah beberapa jam bekerja dalam keheningan, akhirnya Alya menyerahkan hasil risetnya kepada Arga. "Ini bagian aku," katanya, berusaha terdengar profesional.
Arga mengangguk sambil menerima flashdisk yang diberikan Alya, namun alih-alih langsung fokus pada pekerjaannya, ia menatap Alya sebentar. "Kamu kelihatan nggak seperti biasanya. Ada yang salah?"
Alya terkesiap. Arga memang jarang bertanya hal-hal seperti itu, apalagi menunjukkan perhatian. Meski pertanyaan itu sederhana, hati Alya berdebar lebih kencang. Ia berusaha tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nggak, aku baik-baik aja. Cuma sedikit capek."
Arga tidak langsung menerima jawaban itu. Ia memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang menganalisis Alya. "Kalau kamu capek, kita bisa istirahat sebentar. Proyek ini nggak harus selesai sekarang juga."
Alya tak tahu harus menjawab apa. Biasanya, Arga akan mendorong mereka untuk bekerja lebih cepat, lebih efisien, dan jarang memberikan jeda. Tapi kali ini, dia justru menawarkan istirahat? Alya merasa semakin bingung dengan Arga.
Tanpa sadar, ia menghela napas panjang. "Oke, mungkin kita memang perlu istirahat sebentar."
Mereka berdua duduk dalam diam selama beberapa menit, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Alya menatap Arga yang terlihat begitu tenang, seolah tidak pernah merasa tertekan atau cemas. Ia ingin tahu apa yang ada di balik ketenangan itu, apa yang sebenarnya Arga rasakan. Selama ini, Arga selalu tampak tak tersentuh, tapi sekarang, entah kenapa, Alya merasa seolah ada celah kecil di dinding yang selalu Arga bangun.
Akhirnya, Alya memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang sudah lama ia simpan dalam hati.
"Arga... kamu pernah nggak merasa bingung dengan perasaan kamu sendiri?"
Arga menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Bingung? Maksud kamu gimana?"
Alya menundukkan kepalanya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Ya, kamu tahu... seperti ada sesuatu yang kamu rasakan, tapi kamu nggak yakin apa itu atau kenapa kamu merasakannya."
Arga terdiam, sejenak tidak memberikan jawaban. Ia menatap Alya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku rasa, semua orang pernah merasa seperti itu."
Alya mengangguk pelan, meski jawaban itu tidak sepenuhnya memuaskannya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang apa yang Arga pikirkan, tapi pada saat yang sama, ia takut mengungkapkan perasaannya sendiri.
“Kenapa kamu tiba-tiba nanya kayak gitu?” Arga bertanya dengan nada lembut, sesuatu yang tidak biasa darinya.
Alya menggigit bibirnya, mencoba merangkai kata-kata. “Nggak apa-apa. Cuma penasaran aja.”
Arga tetap memandangnya, lalu, tanpa peringatan, ia menggeser kursinya lebih dekat. “Alya, kamu tahu kan kalau kamu bisa cerita ke aku kalau ada yang mengganggu?”
Jantung Alya hampir berhenti saat mendengar kata-kata itu. Suara Arga terdengar begitu serius, dan tatapannya begitu dalam, membuat Alya merasa seolah-olah ia bisa tenggelam di dalamnya. Ia merasa terjebak antara keinginan untuk terbuka dan ketakutan akan apa yang akan terjadi jika ia melakukannya.
“Aku... aku nggak tahu harus bilang apa, Ga,” akhirnya Alya berbisik, merasa suaranya hampir tak terdengar.
Arga tetap diam, menunggu, memberinya ruang. Dan di saat itu, Alya merasa seolah semua emosi yang ia pendam selama ini, semua kebingungannya tentang Arga, tentang perasaannya sendiri, mulai memuncak.
"Arga... aku nggak tahu bagaimana caranya ngungkapin ini, tapi akhir-akhir ini... aku merasa ada yang berubah. Aku nggak tahu apa ini hanya aku atau... atau kamu juga merasakannya, tapi aku mulai melihat kamu... berbeda."
Kata-kata itu keluar dengan susah payah, dan saat ia selesai, Alya merasakan tubuhnya menegang, menunggu reaksi Arga. Ia menunduk, takut melihat apa yang mungkin akan terpancar dari wajahnya.
Arga terdiam, dan seolah-olah waktu berhenti selama beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam bagi Alya. Kemudian, Arga menarik napas dalam, seolah sedang memikirkan jawaban yang tepat.
"Alya..." Arga memulai dengan suara pelan, "aku... juga merasakan sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini. Aku nggak yakin apa itu, tapi... mungkin memang ada sesuatu yang berubah."
Alya akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Arga dengan mata penuh harapan dan kekhawatiran. "Jadi... kamu juga merasakannya?"
Arga mengangguk perlahan, tapi senyumnya tetap samar. "Tapi aku nggak yakin apa yang harus kita lakukan dengan perasaan ini. Kita punya banyak hal yang perlu diselesaikan, dan... aku nggak ingin membuat segalanya lebih rumit."
Alya merasa lega sekaligus bingung. Perasaan mereka ternyata sama, namun tidak ada kepastian apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka berada di ambang sesuatu yang lebih besar, namun juga menghadapi ketidakpastian yang besar.
Dan untuk saat ini, Alya hanya bisa menunggu, berharap bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka berdua bisa menghadapinya bersama.
Bab 5: Antara Harapan dan Ketakutan
Sejak percakapan itu, hubungan Alya dan Arga terasa berubah, tapi perubahan itu terasa halus—hampir tak terucap. Mereka masih bekerja bersama di proyek mereka, tetapi ada semacam keheningan berbeda di antara mereka. Bukan lagi keheningan canggung seperti sebelumnya, melainkan sebuah jeda di mana keduanya seolah mencoba mencari tahu langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
Pagi itu, Alya duduk di depan laptopnya di perpustakaan kampus, menunggu Arga datang seperti biasa. Ia masih bisa merasakan detak jantungnya lebih cepat setiap kali mengingat pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu. Perasaan itu kini tidak lagi bisa dia abaikan, tapi di saat yang sama, ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia menunggu Arga untuk mengambil langkah pertama? Atau apakah ia harus berani maju dan jujur tentang perasaannya?
Saat Arga datang dan duduk di hadapannya, Alya berusaha menjaga sikap santainya. Mereka bertukar sapa singkat sebelum mulai kembali fokus pada tugas yang harus diselesaikan. Namun, kali ini, Alya merasa perasaannya semakin sulit disembunyikan. Setiap kali Arga menatapnya, ada detak yang tak terkontrol di hatinya, dan setiap kali mereka berbicara, Alya merasakan dirinya terlalu sadar akan setiap kata yang keluar.
Di tengah-tengah kesibukan itu, Alya merasa kesulitan untuk berkonsentrasi. Pikirannya terus kembali pada percakapan mereka sebelumnya, pada perasaan yang tak terucapkan. Dan ketika akhirnya ia memutuskan untuk berbicara, kata-katanya keluar lebih cepat dari yang ia rencanakan.
"Arga," panggilnya, membuat Arga mengangkat pandangannya dari laptop.
"Iya?" Arga menjawab, suaranya tenang seperti biasa.
Alya merasa tenggorokannya mengering seketika. Namun, kali ini ia tahu ia tidak bisa mengabaikan perasaannya lagi. "Tentang... pembicaraan kita kemarin. Kamu bilang kamu juga merasakan sesuatu yang berubah, tapi aku ingin tahu—apa kamu... apa kamu pikir kita harus melakukan sesuatu soal itu?"
Arga terdiam, menatap Alya dengan mata yang sulit dibaca. Waktu terasa melambat di sekitarnya, dan Alya bisa merasakan jantungnya berdetak semakin keras. Ia mencoba menahan napas, menunggu jawaban Arga yang tampaknya memerlukan waktu lebih lama dari yang ia duga.
"Alya..." Arga mulai berbicara pelan, suaranya terdengar ragu. "Aku juga nggak tahu apa yang harus dilakukan soal ini. Di satu sisi, aku... merasa kita punya perasaan yang sama. Tapi di sisi lain, aku nggak ingin hubungan kita berubah menjadi sesuatu yang malah bikin semuanya lebih sulit."
Alya menatap Arga, merasakan emosi yang campur aduk di dalam dirinya. "Jadi... kamu nggak yakin?"
Arga menghela napas panjang. "Bukan soal aku nggak yakin tentang perasaanku, Alya. Aku cuma... khawatir. Kita bekerja sama dalam proyek ini, dan aku nggak ingin sesuatu yang kita rasakan malah mengganggu apa yang kita bangun bersama."
Alya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa kecewa. Ia mengerti kekhawatiran Arga, namun perasaan itu tidak bisa begitu saja diabaikan. "Tapi, Ga... kalau kita terus mengabaikan ini, bukannya malah lebih sulit nanti?"
Arga terdiam lagi, memikirkan kata-kata Alya. "Mungkin kamu benar. Tapi aku juga nggak mau kita terburu-buru. Kita bisa jalan pelan-pelan, melihat bagaimana semuanya berjalan. Aku nggak ingin kehilangan kamu sebagai partner—dan, ya, sebagai teman."
Mendengar kata-kata itu, Alya merasa lega, meskipun masih ada rasa ragu. Ia senang bahwa Arga juga mengakui perasaannya, tetapi ada ketidakpastian tentang ke mana hubungan ini akan membawa mereka. Namun, untuk saat ini, ia merasa cukup dengan kesepakatan mereka untuk melangkah pelan-pelan.
Setelah percakapan itu, mereka kembali bekerja seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat Alya merasa lebih dekat dengan Arga. Setiap kali mereka berbicara, ada tatapan yang lebih lembut di mata Arga, dan setiap kali mereka saling berdebat tentang proyek, ada canda tawa kecil yang menghiasi percakapan mereka.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan meski hubungan mereka masih dalam batas ketidakpastian, Alya merasa semakin nyaman di dekat Arga. Mereka tidak lagi hanya dua orang yang bekerja bersama dalam proyek, tetapi lebih dari itu—mereka adalah dua hati yang perlahan-lahan saling menemukan, meski jalan di depan mereka masih terlihat samar.
Di akhir minggu, setelah mereka selesai bekerja, Arga tiba-tiba mengajaknya keluar untuk makan malam di luar kampus. Alya, yang awalnya terkejut dengan ajakan itu, akhirnya setuju. Makan malam itu menjadi momen di mana mereka bisa berbicara tanpa tekanan proyek, tanpa harus memikirkan deadline, dan lebih fokus pada diri mereka sendiri.
"Sebenarnya aku nggak pernah membayangkan kita bisa sampai di titik ini," kata Alya sambil tertawa kecil, ketika mereka berbagi cerita tentang bagaimana mereka dulu sering bertengkar tentang hal-hal sepele.
Arga tersenyum. "Aku juga. Awalnya aku pikir kita nggak akan pernah bisa akur."
"Tapi lihat kita sekarang," lanjut Alya, mencoba menyembunyikan rasa haru yang mulai muncul. "Kita malah bisa makan malam bareng seperti ini."
Arga menatap Alya dengan senyum tipis, dan di saat itu, Alya merasakan kehangatan yang menyelimuti hatinya. Ia tahu hubungan mereka masih jauh dari jelas, tapi ia juga tahu bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan menghadapi semuanya bersama.
Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semuanya akan baik-baik saja.
Bab 6: Titik Balik yang Tak Terduga
Malam itu, setelah makan malam yang menyenangkan, Alya dan Arga pulang dengan perasaan lebih ringan. Meski ketidakpastian masih menyelimuti hubungan mereka, ada harapan baru yang tumbuh di antara mereka. Alya merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya, semangat yang lebih besar untuk menjalani hari-harinya bersama Arga.
Namun, keesokan harinya, keadaan mendadak berubah. Saat Alya tiba di kampus, ia mendengar desas-desus tentang perubahan mendadak dalam struktur proyek mereka. Ternyata, dosen pembimbing mereka memutuskan untuk mempercepat deadline presentasi. Hal ini membuat semua anggota tim dalam keadaan panik, termasuk Arga.
Ketika Alya menemukan Arga di perpustakaan, ia sudah melihat kerut di dahi Arga. “Alya, kita harus segera menyusun ulang presentasi ini! Dosen bilang kita harus siap dalam dua minggu!” kata Arga, suaranya penuh tekanan.
Alya merasa gelisah mendengar kabar itu. “Dua minggu? Tapi kita belum setengah jalan!”
“Aku tahu! Kita harus bekerja keras, dan aku butuh bantuanmu untuk memecah bagian-bagian yang perlu kita fokuskan.” Arga berkata sambil membuka dokumen di laptopnya.
Alya merasa tekanan semakin berat. Dia ingin membantu, tetapi di saat yang sama, ia merasa tidak siap menghadapi situasi ini. “Tapi, Ga... apa kita bisa menyelesaikannya dalam waktu segitu?” tanyanya, sedikit ragu.
“Kita harus bisa! Kita sudah bekerja keras sejauh ini, kita nggak bisa menyerah sekarang,” jawab Arga dengan semangat, meskipun jelas ada kegugupan di wajahnya.
Dengan perasaan campur aduk, Alya mengangguk. “Oke, kita lakukan! Mari kita bagi tugas dan mulai segera.”
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kerja keras dan tekanan yang semakin meningkat. Alya dan Arga menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, mempersiapkan materi presentasi, dan berdebat tentang detail-detail kecil. Alya mulai merasa frustasi, terutama ketika Arga menjadi terlalu fokus pada detail hingga kehilangan pandangan keseluruhan proyek.
Suatu malam, saat mereka kembali ke apartemen Alya setelah bekerja hingga larut, Alya tidak dapat menahan diri. “Arga, kita perlu bicara!” ujarnya, suaranya penuh emosi.
Arga berhenti di pintu, menatap Alya. “Tentang apa?”
“Tentang cara kita bekerja. Aku merasa kamu terlalu terfokus pada detail dan itu membuat kita kehilangan arah. Kita butuh strategi yang lebih jelas untuk menghadapi deadline ini,” kata Alya, berusaha menyampaikan pendapatnya.
Arga terdiam, wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa tersinggung. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk proyek ini, Alya. Kita nggak bisa santai ketika waktu kita terbatas!”
“Aku juga ingin yang terbaik, tapi kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita juga butuh istirahat dan melihat gambaran besarnya. Kita bukan robot, kita manusia,” jawab Alya, merasa emosinya semakin memuncak.
Mereka berdua terdiam, saling menatap. Alya merasakan ketegangan di udara. Tidak ingin memperpanjang argumen, Alya melanjutkan. “Aku hanya ingin kita bekerja sama dengan lebih baik. Ini bukan tentang siapa yang benar atau salah. Aku tahu kita bisa melakukannya, asal kita saling mendukung.”
Arga menghela napas, tampak berpikir. “Kamu benar. Mungkin aku memang terlalu terfokus pada detail. Aku minta maaf jika itu membuatmu merasa tertekan,” katanya pelan.
Alya merasa lega mendengar permintaan maaf Arga. “Tidak apa-apa. Aku juga harus lebih sabar. Mari kita coba mencari cara untuk bekerja lebih baik sama-sama.”
Malam itu, setelah diskusi panjang, mereka akhirnya menemukan cara baru untuk mendekati proyek mereka. Mereka memutuskan untuk membagi tugas dengan lebih jelas dan mengambil jeda di tengah-tengah kerja keras mereka. Mereka mulai berkomunikasi dengan lebih terbuka, dan secara bertahap, ketegangan di antara mereka mereda.
Selama minggu berikutnya, Alya dan Arga merasa lebih baik. Mereka dapat menyelesaikan banyak pekerjaan dengan lebih efisien, dan suasana hati mereka juga mulai pulih. Momen-momen kecil di antara mereka—tertawa bersama, berbagi makanan ringan, atau bahkan saling menggoda—semuanya mulai membawa kembali keceriaan yang sempat hilang.
Namun, di tengah semua itu, Alya masih merasakan ada sesuatu yang belum terucap antara mereka. Meskipun hubungan mereka terasa lebih dekat, ia juga merasakan keengganan dari Arga untuk berbicara tentang perasaan yang mereka bicarakan sebelumnya.
Suatu sore, ketika mereka berdua duduk di luar kampus, menikmati teh es di bawah pohon rindang, Alya merasa itu adalah waktu yang tepat untuk membahas hal itu. “Arga,” ia memulai dengan suara lembut, “aku tahu kita sudah banyak membahas proyek ini, tapi... bagaimana dengan perasaan kita?”
Arga menatap Alya, dan Alya bisa melihat keraguan di wajahnya. “Kita sudah sepakat untuk berjalan pelan-pelan, kan?”
“Iya, tapi itu tidak berarti kita tidak bisa membahasnya. Aku merasa kita sudah lebih dekat, dan aku ingin tahu ke mana kita sebenarnya ingin pergi,” Alya berkata, berusaha mengekspresikan keinginannya untuk memahami hubungan mereka lebih dalam.
Arga terdiam, tampak berpikir keras. “Alya, aku suka bersamamu. Tapi aku juga takut. Kita memiliki banyak tanggung jawab, dan aku tidak ingin merusak apa yang kita miliki.”
Alya merasa harapannya mulai menguap. “Jadi, kamu tidak ingin memperjelas apa yang kita rasakan?”
Arga menggigit bibirnya, lalu menjawab, “Aku ingin, tapi aku juga ingin memastikan bahwa kita tidak kehilangan apa yang kita miliki saat ini.”
Alya merasa hatinya tertekan. “Jadi, kita akan terus menunggu?”
“Aku tidak ingin itu. Mari kita coba untuk bersikap terbuka dan jujur satu sama lain. Tapi aku juga ingin kita tetap fokus pada apa yang harus kita selesaikan saat ini. Kita bisa bicara lebih dalam setelah proyek ini selesai,” Arga menjawab.
Alya mengangguk, meski ia merasa ada sedikit rasa pahit di hatinya. “Baiklah. Aku mengerti.”
Mereka berdua menghabiskan sisa sore itu dalam keheningan, masing-masing memikirkan apa yang diungkapkan. Alya tahu bahwa hubungan mereka masih dalam perjalanan, dan meskipun ada ketidakpastian, ia percaya bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan menemukan cara untuk melewatinya bersama.
Tapi, saat mereka kembali ke pekerjaan mereka, Alya tidak bisa menahan perasaan bahwa waktu akan segera menjadi penentu bagi hubungan mereka. Mungkinkah mereka akan menemukan jalan keluar dari ketidakpastian ini, ataukah mereka akan terus berputar di tempat tanpa menemukan kejelasan? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Bab 7: Pertemuan Tak Terduga
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan minggu demi minggu mereka semakin mendekati tenggat waktu presentasi. Alya dan Arga semakin sering bekerja sama, membagi tugas, dan berusaha menjaga suasana hati mereka tetap ceria meskipun tekanan terus meningkat. Mereka belajar untuk saling mendukung dan menghadapi tantangan yang ada.
Namun, di balik kerja keras itu, Alya masih merasakan ada sesuatu yang terpendam dalam dirinya. Setiap kali ia melihat Arga, ia merasakan ketertarikan yang mendalam, tetapi juga rasa ragu. Arga sering kali tampak terjebak dalam pikirannya sendiri, seolah ada sesuatu yang menghalangi dia untuk sepenuhnya terbuka.
Suatu sore, setelah sesi kerja yang panjang, Arga meminta Alya untuk menemaninya ke sebuah acara seminar di kampus. “Ini tentang manajemen waktu dan proyek. Mungkin kita bisa mendapatkan beberapa wawasan berguna untuk presentasi kita,” jelasnya.
Alya setuju, meskipun di dalam hatinya ia merasakan ada lebih dari sekadar belajar yang ingin mereka lakukan. Acara seminar itu diadakan di aula besar dengan banyak peserta. Saat mereka memasuki ruangan, Alya melihat banyak wajah-wajah yang dikenalnya, tetapi satu wajah menarik perhatian lebih dari yang lain—Mira, mantan pacar Arga.
Mira adalah sosok yang menawan dan karismatik. Alya ingat betul bagaimana hubungan Arga dan Mira berakhir, dan meskipun mereka berdua telah berusaha menjalin persahabatan, Alya merasakan ketegangan di udara. “Arga, itu Mira,” katanya sambil menunjuk ke arah Mira yang sedang tertawa dengan beberapa teman.
Arga menatap Mira dan seketika wajahnya berubah. “Oh, ya... Aku hampir lupa. Dia juga akan hadir di sini.”
Alya bisa melihat ketegangan di wajah Arga. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan khawatir.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Arga, meski Alya bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Seminar dimulai, dan saat pembicara berbicara, Alya merasakan perhatian Arga terpecah. Dia sering melirik ke arah Mira, dan Alya merasa hatinya sedikit teriris. Ia tidak ingin merasa cemburu, tetapi kenyataannya sulit untuk dihindari.
Setelah seminar selesai, Mira menghampiri mereka. “Arga! Senang melihatmu di sini!” sapa Mira dengan senyuman lebar, seolah tidak ada sejarah yang menyakitkan di antara mereka.
“Hey, Mira. Bagaimana kabarmu?” Arga menjawab, mencoba menjaga nada suaranya tetap santai.
Alya merasa terjebak di antara mereka. Ia tersenyum canggung, berusaha tetap bersikap ramah. “Hi, Mira.”
Mira tersenyum kembali dan menatap Alya dengan curiga. “Kamu pasti Alya, kan? Arga sering membicarakan tentang proyek kalian.”
“Ah, ya. Kami sedang bekerja sama,” jawab Alya, berusaha terdengar percaya diri.
Mira mengangguk. “Kalian pasti sibuk. Semoga semuanya berjalan lancar. Semoga tidak terlalu tertekan.” Lalu, Mira berpaling ke Arga lagi. “Kapan-kapan kita harus berbincang-bincang. Aku ingin tahu lebih banyak tentang proyek kalian.”
Alya bisa merasakan keraguan di antara mereka. “Tentu, Mira. Kita bisa bertemu lain waktu,” jawab Arga, namun nada suaranya tidak seantusias itu.
Setelah Mira pergi, Alya merasa angin dingin menyelimuti suasana. “Kau baik-baik saja, Ga?” tanyanya.
Arga menggelengkan kepalanya, “Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut melihatnya di sini.”
“Aku tahu itu bukan situasi yang mudah. Tapi kau tidak perlu merasa canggung, kita bisa melewati ini bersama,” kata Alya berusaha menenangkan.
Arga tersenyum, meski matanya tidak sepenuhnya berbinar. “Terima kasih, Alya. Kamu selalu mengerti.”
Malam itu, saat mereka berjalan pulang, Alya merasakan ada ketegangan di antara mereka. Ia ingin mengungkapkan perasaannya, tetapi melihat reaksi Arga terhadap Mira membuatnya ragu. Ia tidak ingin menjadi penghalang bagi Arga jika ia masih memiliki perasaan terhadap mantannya.
Mereka berbicara sedikit selama perjalanan, tetapi Alya bisa merasakan suasana hatinya semakin berat. Saat sampai di depan apartemen Alya, ia tidak bisa menahan diri. “Arga, apa kau masih merasa terikat dengan Mira?”
Arga terdiam sejenak, menatap Alya dengan intens. “Mira adalah bagian dari masa laluku. Kami sudah selesai, dan aku berusaha untuk melanjutkan. Tapi, kadang-kadang, kenangan itu sulit untuk dilupakan.”
Alya merasa jantungnya berdebar. “Kau tahu, jika kau merasa butuh waktu untuk menyelesaikan semua ini, aku mengerti. Aku tidak ingin menekanmu,” katanya, berusaha tidak menunjukkan kerentanan.
“Tidak, Alya. Aku tidak ingin kau berpikir seperti itu. Aku suka bersamamu. Tapi semua ini memang sedikit rumit,” jawab Arga, menghela napas berat.
Alya merasa hampa. “Aku ingin kau tahu, aku ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi. Aku tidak akan pergi.”
Arga menatap Alya, matanya mengandung rasa terima kasih yang mendalam. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik. Terima kasih, Alya.”
Mereka berpisah di depan pintu apartemen, dan Alya merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Ia tahu bahwa hubungan mereka berada di ambang perubahan, tetapi dengan segala kerumitan yang ada, ia merasa bingung. Dia ingin maju, tetapi ketidakpastian ini terus menghantuinya.
Keesokan harinya, saat Alya tiba di kampus, ia menemukan Arga sedang berbicara dengan Mira di area pertemuan. Alya merasakan keraguan dan kecemburuan menggelayuti hatinya saat melihat mereka berbincang dengan akrab. Meski Arga terlihat baik-baik saja, perasaannya tidak bisa disangkal.
Sementara Arga dan Mira terus berbicara, Alya merasa terasing. Ia tahu ini adalah momen penting bagi Arga, dan ia tidak ingin menjadi orang yang menghalanginya untuk menyelesaikan urusan masa lalunya. Namun, di saat yang sama, ia juga merasa ketakutan kehilangan sesuatu yang telah mereka bangun bersama.
Dengan berusaha keras untuk menenangkan diri, Alya memutuskan untuk menjauh. Dia tidak ingin menjadi bagian dari ketegangan ini. Dengan langkah mantap, ia pergi ke perpustakaan, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kerumitan yang sedang dihadapinya.
Namun, saat ia duduk di meja belajarnya, pikiran tentang Arga dan Mira terus menghantui. Alya tahu ia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaannya. Ia harus menemukan cara untuk berbicara dengan Arga tentang apa yang ia rasakan tanpa mengganggu proses penyelesaian masa lalu Arga.
Ketika sore hari tiba, Alya menemukan diri kembali di apartemennya. Ia tahu ia harus berbicara dengan Arga sebelum segala sesuatunya semakin rumit. Mungkin inilah saatnya untuk mengambil langkah berani dan membuat perasaannya jelas—apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh ataukah akan terus terjebak dalam ketidakpastian ini.
Dengan tekad baru, Alya mengirim pesan kepada Arga: “Ga, bisakah kita bicara malam ini? Aku ingin mengungkapkan sesuatu yang penting.”
Dia menunggu balasan Arga dengan rasa cemas. Saat ponselnya berbunyi, ia meraih dengan cepat. Pesan dari Arga berbunyi: “Tentu, Alya. Aku akan datang ke apartemenmu sekitar jam tujuh.”
Alya merasa campur aduk, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah momen yang ditunggu-tunggu. Malam ini, ia akan berbicara dengan Arga dan mungkin, hanya mungkin, mendapatkan kejelasan tentang perasaan mereka.
Bab 8: Keberanian yang Ditemukan
Saat malam menjelang, Alya merasakan adrenalin berpacu dalam dadanya. Ia menyiapkan apartemennya, memastikan semuanya tampak rapi. Di satu sisi, ia merasa bersemangat untuk akhirnya bisa berbicara dengan Arga, tetapi di sisi lain, rasa cemas mulai menggerogoti pikirannya.
Setelah menyeduh secangkir teh hangat dan menyalakan beberapa lilin, Alya memutuskan untuk duduk di sofa dan menunggu. Waktu terasa berjalan lambat, dan pikiran tentang percakapan yang akan datang terus berputar di benaknya. Apakah ia sudah siap? Bagaimana jika semuanya berakhir dengan buruk?
Sekitar jam tujuh, bunyi ketukan di pintu membuat jantungnya berdegup kencang. “Alya, aku sudah datang,” suara Arga terdengar dari balik pintu.
Alya membuka pintu dan melihat Arga berdiri di sana, mengenakan kaos hitam dan jeans, tampak sedikit cemas namun juga bersemangat. “Hai, Ga. Terima kasih sudah datang,” katanya sambil mencoba tersenyum.
“Tidak masalah. Aku ingin mendengarkan apa yang ingin kamu katakan,” jawab Arga, memasuki apartemen dan menutup pintu di belakangnya.
Mereka berdua duduk di sofa, dan Alya bisa merasakan ketegangan di udara. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Arga, menatapnya dengan serius.
Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku tahu beberapa hari terakhir ini cukup berat bagi kita, terutama dengan semua yang terjadi antara kita dan Mira. Aku merasa perlu jujur tentang perasaanku.”
Arga mengangguk, matanya tidak lepas dari wajah Alya. “Aku juga merasa kita perlu bicara. Rasanya ada banyak yang belum terucap.”
Alya merasa ada kekuatan dalam pernyataan itu. “Sebelum kita melanjutkan, aku ingin kau tahu bahwa aku menghargai apa yang kita miliki. Namun, aku tidak bisa terus bersembunyi di balik ketidakpastian ini. Aku... aku menyukaimu, Ga. Sangat menyukaimu.”
Setelah kata-kata itu keluar, Alya merasa jantungnya berdegup sangat kencang. Ia menunggu reaksi Arga, tetapi ia tampak terdiam, memproses apa yang baru saja ia katakan.
“Aku... juga menyukaimu, Alya,” kata Arga akhirnya, suaranya pelan dan tulus. “Tapi aku merasa bingung. Kenangan tentang Mira masih membayangi pikiranku. Aku tidak ingin menyakitimu atau membuatmu merasa tidak nyaman.”
“Dan aku tidak ingin menjadi orang yang menghalangimu untuk menyelesaikan semua itu,” jawab Alya, hatinya sedikit teriris mendengar pengakuan Arga. “Tapi, aku juga tidak bisa berdiam diri. Aku ingin kita jujur satu sama lain.”
Arga terlihat berpikir keras. “Aku ingin menyelesaikan urusan ini. Mira adalah bagian dari masa laluku, dan aku ingin melanjutkan hidupku. Tapi aku juga tidak bisa menolak apa yang aku rasakan terhadapmu. Kamu membuatku merasa hidup kembali.”
Alya merasakan harapan mengalir kembali ke dalam hatinya. “Jadi, bagaimana kita melanjutkan ini? Apa yang perlu kita lakukan agar kita bisa maju bersama?”
Arga tersenyum, ekspresinya mulai lebih cerah. “Aku ingin kita terus bekerja sama, bukan hanya di proyek ini, tetapi juga dalam hidup kita. Aku ingin memberikan ruang untuk kita, tanpa harus merasa tertekan dengan masa lalu.”
Mendengar itu, Alya merasa beban di pundaknya berkurang. “Aku setuju. Mari kita jalani ini perlahan. Kita bisa belajar saling memahami satu sama lain tanpa terburu-buru.”
Malam itu, mereka berbicara dengan terbuka, mengungkapkan harapan dan ketakutan masing-masing. Alya merasa ada kelegaan dan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam kebersamaan itu, mereka berdua sepakat untuk berkomitmen pada hubungan yang lebih mendalam tanpa mengabaikan ruang untuk pertumbuhan masing-masing.
Setelah berbincang-bincang, mereka berdua memutuskan untuk menonton film. Alya memilih film romansa yang ringan, ingin menciptakan suasana yang lebih santai setelah percakapan emosional. Mereka tertawa dan bersenang-senang, menikmati momen kebersamaan yang semakin akrab.
Namun, di tengah-tengah film, Alya merasa keberanian yang baru ditemukan mulai memudar sedikit. Ia melihat Arga begitu menikmati film, tetapi pikiran tentang Mira masih melintas di benaknya. “Arga,” ia memulai dengan suara lembut, “apa yang terjadi jika Mira datang kembali ke hidupmu?”
Arga menatap Alya, raut wajahnya serius. “Aku akan jujur padanya. Aku sudah berpindah ke kehidupan yang baru dan aku tidak ingin kembali ke masa lalu. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu adalah orang yang kuinginkan saat ini.”
Kata-kata itu membuat Alya merasakan kehangatan di dalam hatinya. “Terima kasih, Ga. Itu sangat berarti bagiku. Aku tidak ingin menjadi penghalang, dan aku menghargai kejujuranmu.”
Setelah film berakhir, mereka berdua duduk diam sejenak, menikmati keheningan yang penuh makna. Alya merasa lebih dekat dengan Arga daripada sebelumnya, dan ia tahu bahwa hubungan mereka baru saja memasuki fase baru yang lebih dalam.
Ketika Arga bangkit untuk pulang, Alya merasa ada kerinduan yang menggelora. “Ga, terima kasih untuk malam ini. Aku sangat senang kita bisa berbicara,” katanya dengan tulus.
Arga tersenyum, menatapnya dengan lembut. “Aku juga, Alya. Ini adalah langkah pertama yang penting bagi kita. Aku tidak sabar untuk melihat ke mana hubungan ini akan membawa kita.”
Saat Arga pergi, Alya menutup pintu dan bersandar di dinding, merasakan rasa bahagia yang meluap-luap dalam dirinya. Mungkin ini adalah titik balik yang mereka butuhkan. Dia tahu masih ada perjalanan panjang di depan mereka, tetapi malam ini memberi harapan baru yang cerah.
Di dalam pikirannya, Alya berjanji untuk terus melangkah maju, berani menghadapi tantangan dan menjaga kejujuran di antara mereka. Hubungan ini mungkin tidak sempurna, tetapi dengan keberanian dan keterbukaan, mereka bisa membangun sesuatu yang lebih berarti dari sebelumnya.
Namun, saat malam semakin larut, Alya tidak bisa menahan rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Dia tahu bahwa kehidupan tidak selalu mudah, dan tantangan baru mungkin akan segera menghampiri mereka. Bagaimana mereka akan menghadapi itu? Hanya waktu yang akan memberi jawab.
Bab 9: Bayang-Bayang Masa Lalu
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan hubungan Alya serta Arga semakin berkembang. Mereka bekerja sama dengan baik di proyek presentasi, berbagi ide, dan merencanakan setiap langkah dengan penuh antusiasme. Namun, di balik kebahagiaan yang baru ditemukan, Alya merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Mira masih ada di benak Alya. Ia tidak dapat mengabaikan fakta bahwa Arga dan Mira memiliki sejarah yang dalam, dan meskipun Arga berjanji untuk tidak kembali ke masa lalu, Alya merasa gelisah setiap kali mendengar nama Mira. Apakah Arga benar-benar sudah move on? Ataukah ada sisa perasaan yang masih tersisa?
Suatu sore, saat mereka sedang berdiskusi di taman kampus, Alya melihat Arga melirik ke arah seorang gadis yang sedang berjalan mendekat. Tanpa disadari, gadis itu adalah Mira. Alya merasakan jantungnya berdegup kencang saat Mira menghampiri mereka.
“Hey, Arga! Hai, Alya!” sapa Mira dengan senyuman ceria, seolah tidak ada masalah di antara mereka.
Alya merasa perutnya berkerut. “Hai, Mira,” jawabnya dengan nada yang berusaha terdengar ramah, meskipun hatinya bergetar.
“Arga, aku baru saja mendengar tentang presentasi kalian. Keren banget! Apa aku bisa membantu?” tanya Mira, menatap Arga dengan semangat.
Arga terlihat ragu sejenak sebelum menjawab, “Oh, terima kasih, Mira. Kami sudah cukup baik, tetapi kami akan menghubungimu jika butuh bantuan.”
Mira mengangguk, tetapi Alya bisa melihat kekecewaan di wajahnya. “Baiklah, aku akan pergi. Semoga sukses ya!” Mira melambaikan tangan sebelum pergi.
Setelah Mira pergi, Alya merasa ada ketegangan di antara mereka. “Kau baik-baik saja, Ga?” tanyanya, berusaha menahan nada cemburu dalam suaranya.
“Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut melihatnya,” jawab Arga, mencoba tampak santai meskipun Alya bisa melihat keraguan di matanya.
Alya mengangguk, tetapi hatinya mulai gelisah. “Kau yakin tidak ada yang ingin kau katakan tentang dia?”
Arga menatap Alya dengan serius. “Alya, aku berjanji padamu. Mira adalah bagian dari masa lalu. Aku ingin fokus pada kita.”
Mendengar kata-kata itu, Alya merasa sedikit lega, tetapi ia masih merasa tidak nyaman. “Aku hanya tidak ingin ada rahasia di antara kita, Ga. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal.”
Arga menghela napas, lalu menggenggam tangan Alya. “Aku akan selalu jujur padamu. Jika ada yang mengganggu, katakan saja. Kita bisa menghadapinya bersama.”
Malam itu, saat Alya pulang, pikirannya dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa diukur hanya dengan perasaan yang ada saat ini. Bayang-bayang masa lalu Arga, terutama Mira, selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya.
Di tengah malam, Alya terbangun dari tidur. Ia memutuskan untuk menghubungi Arga. “Ga, bisa kita bicara?” tulisnya di pesan.
Tidak lama kemudian, Arga membalas. “Tentu, Alya. Aku akan datang.”
Ketika Arga tiba, suasana di apartemen Alya terasa tegang. “Ada apa? Kau terlihat cemas,” kata Arga, duduk di sofa.
“Aku hanya ingin membahas tentang Mira. Aku tidak bisa berhenti memikirkan dia,” kata Alya, merasa berat untuk mengatakannya.
Arga mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Aku mengerti. Ini bukan hal yang mudah. Tapi kita harus menghadapi kenyataan. Aku tidak ingin ada halangan di antara kita.”
“Apakah kau benar-benar sudah mengatasi semua itu? Apakah ada sesuatu yang masih kau rasakan?” tanya Alya, menatap mata Arga dengan serius.
Arga terdiam sejenak. “Mira adalah kenangan. Tentu saja, itu tidak mudah untuk dilupakan, tetapi perasaanku padamu lebih kuat. Aku ingin membangun sesuatu yang baru denganmu.”
Alya menghela napas, merasakan ketegangan dalam dadanya. “Tapi aku merasa tidak adil jika kau masih terjebak di masa lalu. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?”
“Kita perlu memberi ruang bagi satu sama lain. Aku akan berusaha lebih keras untuk menjelaskan perasaanku, dan kau juga bisa mengungkapkan ketidakpastianmu,” jawab Arga dengan tegas.
Alya merasa harapan baru muncul dalam dirinya. “Kau benar. Mari kita komitmen untuk saling terbuka, apapun yang terjadi.”
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak tentang masa lalu dan apa yang ingin mereka capai bersama. Alya merasa ada kelegaan saat bisa berbagi kekhawatiran dan ketakutannya, dan Arga pun berbagi visinya tentang masa depan.
Saat percakapan berlanjut, Alya mulai merasakan ketegangan di dalam dirinya berkurang. Mereka berdua berjanji untuk tidak membiarkan bayang-bayang masa lalu menghalangi kebahagiaan yang mereka bangun.
Namun, saat Alya tertidur malam itu, ia masih merasakan sedikit ketidakpastian. Bagaimana jika Mira kembali dan mengganggu hubungan mereka? Bagaimana jika Arga tidak benar-benar bisa melupakan masa lalunya?
Dengan pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya, Alya tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Namun, dengan saling terbuka dan berkomunikasi, mereka mungkin bisa menemukan cara untuk mengatasi tantangan yang ada di depan mereka.
Sambil berdoa agar kekuatan dan keberanian selalu menyertai mereka, Alya memejamkan mata, berusaha tidur dengan tenang.
Bab 10: Jalan Menuju Keberanian
Pagi itu, Alya bangun dengan perasaan campur aduk. Setelah percakapan mendalam dengan Arga semalam, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi keraguan tentang masa lalu Arga masih menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa untuk bisa melangkah maju, ia harus menemukan cara untuk mengatasi perasaan ini.
Setelah mandi dan sarapan, Alya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kampus. Udara segar dan sinar matahari yang hangat memberinya semangat baru. Saat berjalan, ia memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menghadapi ketakutannya dan membantu Arga meraih kedamaian dengan masa lalunya.
Di tengah pikirannya, ia menerima pesan dari Arga. “Pagi, Alya! Bagaimana kalau kita berjumpa siang ini? Aku ingin merencanakan beberapa hal untuk presentasi.”
“Pagi, Ga! Tentu, kita bisa bertemu di kafe jam 1 siang?” jawab Alya.
Alya tiba di kafe lebih awal dan memesan segelas latte, menantikan kedatangan Arga. Ketika Arga masuk, ia terlihat lebih ceria, senyumnya membuat hati Alya berdebar.
“Hai, Alya! Kamu terlihat segar pagi ini,” kata Arga, mengambil tempat di sebelahnya.
“Hai, Ga! Terima kasih. Aku baru saja berjalan-jalan. Bagaimana harimu?” Alya bertanya, berusaha mengalihkan perhatian dari keraguan yang masih membayangi.
“Bagus! Aku punya beberapa ide untuk presentasi kita,” jawab Arga, mulai menjelaskan rencananya dengan antusias. Alya mendengarkan dengan seksama, merasakan semangat Arga yang menular.
Setelah berdiskusi tentang presentasi, Alya merasa lebih nyaman dan mulai membuka topik yang lebih pribadi. “Ga, kemarin kita membahas tentang Mira. Aku merasa, meskipun kita ingin melanjutkan, masa lalu itu mungkin perlu kita hadapi lebih lanjut.”
Arga menatapnya dengan serius. “Aku setuju. Kita tidak bisa melanjutkan tanpa benar-benar memproses apa yang terjadi. Apa kamu ingin kita bicarakan lebih dalam?”
Alya mengangguk. “Mungkin kita bisa membuat rencana untuk menghadapi masa lalu itu bersama-sama. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan dan bagaimana kita bisa melaluinya.”
Arga tersenyum, tampak lega dengan pembicaraan ini. “Baiklah. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu yang spesial. Aku bisa mengajakmu ke tempat yang penuh kenangan, tempat di mana aku dan Mira biasa pergi.”
Alya sedikit terkejut. “Tempat itu? Apakah kamu yakin?”
“Ya, aku merasa itu adalah langkah penting. Kita perlu menutup halaman ini agar bisa membuka halaman baru dalam hidup kita,” jawab Arga dengan keyakinan.
Alya merasa hatinya bergetar. “Baiklah. Aku akan ikut. Tapi, kita harus berkomitmen untuk tidak saling menyakiti. Kita harus saling mendukung.”
“Mari kita jujur satu sama lain, tidak ada yang disembunyikan,” kata Arga, matanya bersinar dengan harapan.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua merencanakan perjalanan ke tempat kenangan Arga dan Mira. Alya merasa sedikit gugup, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk mengatasi ketakutannya.
Hari yang ditentukan pun tiba. Alya dan Arga berangkat ke tempat itu, sebuah kafe kecil di pinggir pantai. Saat mereka tiba, Alya merasakan hawa nostalgia yang menyelimuti suasana. Debur ombak dan angin sepoi-sepoi menciptakan suasana yang tenang.
“Aku dan Mira sering datang ke sini. Kami biasa duduk di sudut itu,” Arga menunjuk ke arah meja di dekat jendela, tempat mereka bisa melihat laut.
Alya menelan ludahnya, merasakan ketegangan di udara. “Bagaimana perasaanmu ketika datang ke sini?” tanya Alya, mencoba untuk bersikap terbuka.
Arga menarik napas dalam-dalam. “Awalnya, aku merasa berat. Kenangan tentang Mira muncul kembali, tetapi aku ingin menghadapinya. Kami memiliki banyak kenangan indah, tetapi itu sudah berlalu. Aku di sini untuk bersamamu sekarang.”
Mendengar pernyataan Arga, Alya merasa terharu. “Aku menghargai keberanianmu, Ga. Ini tidak mudah untuk kita berdua.”
Mereka duduk dan mulai berbagi cerita. Arga mengenang momen-momen bahagia bersama Mira, tetapi ia juga dengan jujur mengungkapkan rasa sakit yang ia rasakan setelah perpisahan mereka. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya penuh empati.
“Aku merasa terjebak dalam kenangan itu untuk waktu yang lama. Tapi sekarang, aku ingin merayakan kehidupan baru, denganmu,” kata Arga, menatap Alya dengan penuh harapan.
Alya merasakan perasaannya semakin dalam. “Aku juga ingin melanjutkan dan menciptakan kenangan baru bersamamu. Aku berjanji untuk mendukungmu, apapun yang terjadi.”
Setelah beberapa saat, mereka berdua merasakan kelegaan yang luar biasa. Saat mereka berjalan di tepi pantai, tangan mereka saling menggenggam, menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Ketika hari mulai gelap, Alya merasakan kebahagiaan yang mendalam. Mereka sudah melewati momen yang sulit dan kini dapat melangkah maju dengan lebih percaya diri. Saat matahari terbenam, mereka berdua tahu bahwa mereka tidak lagi terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu.
Dengan keberanian baru yang ditemukan, Alya dan Arga siap untuk menghadapi apapun yang datang, bersatu dalam perjalanan yang penuh harapan dan cinta. Mereka tahu bahwa jalan di depan tidak akan selalu mudah, tetapi mereka berkomitmen untuk saling mendukung dan menjaga kejujuran di antara mereka.
Saat mereka kembali ke mobil, Alya merasa terinspirasi dan bersemangat untuk menghadapi tantangan apa pun yang akan datang. Mereka berdua tersenyum satu sama lain, menyadari bahwa hubungan mereka baru saja dimulai dan masih banyak petualangan yang menunggu di depan.
Next
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H