Alya mengangguk, meski ia merasa ada sedikit rasa pahit di hatinya. “Baiklah. Aku mengerti.”
Mereka berdua menghabiskan sisa sore itu dalam keheningan, masing-masing memikirkan apa yang diungkapkan. Alya tahu bahwa hubungan mereka masih dalam perjalanan, dan meskipun ada ketidakpastian, ia percaya bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan menemukan cara untuk melewatinya bersama.
Tapi, saat mereka kembali ke pekerjaan mereka, Alya tidak bisa menahan perasaan bahwa waktu akan segera menjadi penentu bagi hubungan mereka. Mungkinkah mereka akan menemukan jalan keluar dari ketidakpastian ini, ataukah mereka akan terus berputar di tempat tanpa menemukan kejelasan? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Bab 7: Pertemuan Tak Terduga
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan minggu demi minggu mereka semakin mendekati tenggat waktu presentasi. Alya dan Arga semakin sering bekerja sama, membagi tugas, dan berusaha menjaga suasana hati mereka tetap ceria meskipun tekanan terus meningkat. Mereka belajar untuk saling mendukung dan menghadapi tantangan yang ada.
Namun, di balik kerja keras itu, Alya masih merasakan ada sesuatu yang terpendam dalam dirinya. Setiap kali ia melihat Arga, ia merasakan ketertarikan yang mendalam, tetapi juga rasa ragu. Arga sering kali tampak terjebak dalam pikirannya sendiri, seolah ada sesuatu yang menghalangi dia untuk sepenuhnya terbuka.
Suatu sore, setelah sesi kerja yang panjang, Arga meminta Alya untuk menemaninya ke sebuah acara seminar di kampus. “Ini tentang manajemen waktu dan proyek. Mungkin kita bisa mendapatkan beberapa wawasan berguna untuk presentasi kita,” jelasnya.
Alya setuju, meskipun di dalam hatinya ia merasakan ada lebih dari sekadar belajar yang ingin mereka lakukan. Acara seminar itu diadakan di aula besar dengan banyak peserta. Saat mereka memasuki ruangan, Alya melihat banyak wajah-wajah yang dikenalnya, tetapi satu wajah menarik perhatian lebih dari yang lain—Mira, mantan pacar Arga.
Mira adalah sosok yang menawan dan karismatik. Alya ingat betul bagaimana hubungan Arga dan Mira berakhir, dan meskipun mereka berdua telah berusaha menjalin persahabatan, Alya merasakan ketegangan di udara. “Arga, itu Mira,” katanya sambil menunjuk ke arah Mira yang sedang tertawa dengan beberapa teman.
Arga menatap Mira dan seketika wajahnya berubah. “Oh, ya... Aku hampir lupa. Dia juga akan hadir di sini.”
Alya bisa melihat ketegangan di wajah Arga. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan khawatir.