Sementara Arga dan Mira terus berbicara, Alya merasa terasing. Ia tahu ini adalah momen penting bagi Arga, dan ia tidak ingin menjadi orang yang menghalanginya untuk menyelesaikan urusan masa lalunya. Namun, di saat yang sama, ia juga merasa ketakutan kehilangan sesuatu yang telah mereka bangun bersama.
Dengan berusaha keras untuk menenangkan diri, Alya memutuskan untuk menjauh. Dia tidak ingin menjadi bagian dari ketegangan ini. Dengan langkah mantap, ia pergi ke perpustakaan, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kerumitan yang sedang dihadapinya.
Namun, saat ia duduk di meja belajarnya, pikiran tentang Arga dan Mira terus menghantui. Alya tahu ia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaannya. Ia harus menemukan cara untuk berbicara dengan Arga tentang apa yang ia rasakan tanpa mengganggu proses penyelesaian masa lalu Arga.
Ketika sore hari tiba, Alya menemukan diri kembali di apartemennya. Ia tahu ia harus berbicara dengan Arga sebelum segala sesuatunya semakin rumit. Mungkin inilah saatnya untuk mengambil langkah berani dan membuat perasaannya jelas—apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh ataukah akan terus terjebak dalam ketidakpastian ini.
Dengan tekad baru, Alya mengirim pesan kepada Arga: “Ga, bisakah kita bicara malam ini? Aku ingin mengungkapkan sesuatu yang penting.”
Dia menunggu balasan Arga dengan rasa cemas. Saat ponselnya berbunyi, ia meraih dengan cepat. Pesan dari Arga berbunyi: “Tentu, Alya. Aku akan datang ke apartemenmu sekitar jam tujuh.”
Alya merasa campur aduk, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah momen yang ditunggu-tunggu. Malam ini, ia akan berbicara dengan Arga dan mungkin, hanya mungkin, mendapatkan kejelasan tentang perasaan mereka.
Bab 8: Keberanian yang Ditemukan
Saat malam menjelang, Alya merasakan adrenalin berpacu dalam dadanya. Ia menyiapkan apartemennya, memastikan semuanya tampak rapi. Di satu sisi, ia merasa bersemangat untuk akhirnya bisa berbicara dengan Arga, tetapi di sisi lain, rasa cemas mulai menggerogoti pikirannya.
Setelah menyeduh secangkir teh hangat dan menyalakan beberapa lilin, Alya memutuskan untuk duduk di sofa dan menunggu. Waktu terasa berjalan lambat, dan pikiran tentang percakapan yang akan datang terus berputar di benaknya. Apakah ia sudah siap? Bagaimana jika semuanya berakhir dengan buruk?
Sekitar jam tujuh, bunyi ketukan di pintu membuat jantungnya berdegup kencang. “Alya, aku sudah datang,” suara Arga terdengar dari balik pintu.