Setelah Mira pergi, Alya merasa ada ketegangan di antara mereka. “Kau baik-baik saja, Ga?” tanyanya, berusaha menahan nada cemburu dalam suaranya.
“Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut melihatnya,” jawab Arga, mencoba tampak santai meskipun Alya bisa melihat keraguan di matanya.
Alya mengangguk, tetapi hatinya mulai gelisah. “Kau yakin tidak ada yang ingin kau katakan tentang dia?”
Arga menatap Alya dengan serius. “Alya, aku berjanji padamu. Mira adalah bagian dari masa lalu. Aku ingin fokus pada kita.”
Mendengar kata-kata itu, Alya merasa sedikit lega, tetapi ia masih merasa tidak nyaman. “Aku hanya tidak ingin ada rahasia di antara kita, Ga. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal.”
Arga menghela napas, lalu menggenggam tangan Alya. “Aku akan selalu jujur padamu. Jika ada yang mengganggu, katakan saja. Kita bisa menghadapinya bersama.”
Malam itu, saat Alya pulang, pikirannya dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa diukur hanya dengan perasaan yang ada saat ini. Bayang-bayang masa lalu Arga, terutama Mira, selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya.
Di tengah malam, Alya terbangun dari tidur. Ia memutuskan untuk menghubungi Arga. “Ga, bisa kita bicara?” tulisnya di pesan.
Tidak lama kemudian, Arga membalas. “Tentu, Alya. Aku akan datang.”
Ketika Arga tiba, suasana di apartemen Alya terasa tegang. “Ada apa? Kau terlihat cemas,” kata Arga, duduk di sofa.
“Aku hanya ingin membahas tentang Mira. Aku tidak bisa berhenti memikirkan dia,” kata Alya, merasa berat untuk mengatakannya.