Arga tak langsung menjawab. Dia menatap laptopnya sejenak sebelum kembali menatap Alya. "Mungkin kamu terlalu banyak mikir, Alya."
Alya mendengus pelan. "Mungkin. Tapi aku rasa ada yang kamu sembunyikan."
Sebelum Arga bisa menjawab, pintu kelas terbuka dan beberapa teman mereka masuk. Suasana berubah, dan percakapan terhenti begitu saja. Namun, Alya tak bisa menghilangkan perasaan aneh yang terus tumbuh setiap kali dia berhadapan dengan Arga. Ada sesuatu di balik sikap dinginnya yang membuatnya semakin penasaran.
Selama beberapa jam berikutnya, mereka kembali fokus pada proyek mereka, berbagi ide dan berdiskusi tanpa banyak perdebatan. Meski terkadang Arga tetap menunjukkan sisi keras kepalanya, Alya mulai melihat bahwa dia sebenarnya mendengarkan dan mempertimbangkan masukan dari orang lain—termasuk dirinya.
Ketika jam makan siang tiba, Arga menutup laptopnya dan menghela napas. "Kayaknya kita butuh istirahat. Kita udah cukup banyak kemajuan hari ini."
Alya mengangguk setuju. "Iya, benar. Mungkin kita bisa makan siang di kantin."
Mereka berjalan bersama menuju kantin kampus, dan selama beberapa menit pertama, suasana di antara mereka cukup canggung. Tapi, lambat laun, Alya mulai merasa lebih nyaman, dan begitu juga Arga. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal di luar proyek, mulai dari film yang baru mereka tonton hingga kenangan masa kecil mereka.
"Masih ingat waktu kita dulu sering rebutan mainan di rumah aku?" Alya tiba-tiba bertanya dengan senyum mengembang.
Arga tertawa kecil—suara yang jarang didengar Alya. "Iya, kamu selalu ngotot mau menang."
"Kamu juga! Kamu nggak pernah mau ngalah," protes Alya, meski sambil tertawa.
Percakapan santai itu membuat keduanya lupa akan ketegangan yang biasa terjadi di antara mereka. Alya mulai menyadari bahwa, di balik sikap dingin dan serius Arga, sebenarnya ada seseorang yang hangat dan peduli. Hanya saja, dia terlalu pandai menyembunyikannya.