Alya menghela napas dalam. Ia tahu Arga bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi sikapnya yang selalu tenang dan tanpa ekspresi itu kadang bisa sangat mengganggu. "Oke, jadi kita mulai dari mana?"
Arga menutup laptopnya sebentar, menatap Alya dengan serius. "Aku pikir kita bisa bagi tugas. Aku ambil bagian riset dan kamu bisa fokus pada presentasi. Biar lebih cepat selesai."
Alya mengernyit. "Tunggu, jadi kamu mikir aku cuma bisa bikin presentasi? Bukannya aku juga bisa riset?"
Arga menaikkan alis. "Bukan gitu. Aku cuma ngatur biar kerja kita efisien. Kamu jago ngomong di depan kelas, dan aku lebih suka di belakang layar. Jadi logis kan kalau kita bagi tugas kayak gitu?"
Meski masuk akal, Alya tetap merasa tersinggung. Ia tidak suka dianggap hanya bisa melakukan satu hal. "Kalau gitu, kita kerjain dua-duanya bareng. Aku nggak mau cuma bagian ngomong. Aku juga mau kontribusi di riset."
Arga menghela napas pendek, tampak berpikir. "Oke, kalau itu yang kamu mau. Tapi kalau ada masalah dengan riset, jangan salahin aku."
Alya mendecak pelan, menahan diri untuk tidak membalas dengan kata-kata tajam. "Santai aja. Aku tahu apa yang aku lakukan."
Percakapan mereka terus berlanjut dengan nada dingin dan penuh ketegangan. Setiap kali salah satu dari mereka mencoba mengusulkan ide, yang lain selalu punya argumen yang seolah-olah sengaja mencari perdebatan. Mereka berdua keras kepala, sama-sama enggan mengalah.
Namun, meskipun suasana di antara mereka terasa canggung dan tegang, ada momen-momen singkat di mana Alya menangkap tatapan Arga yang berbeda. Sekilas saja, seperti dia sedang berpikir lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Tapi, setiap kali Alya mencoba mengamati lebih jauh, Arga kembali menjadi dirinya yang biasa—dingin dan tak terjangkau.
Setelah beberapa jam diskusi tanpa banyak hasil, Alya mulai merasa lelah. Mereka berdua tampak keras kepala, terlalu sibuk saling mempertahankan pendapat hingga tidak banyak kemajuan.
"Aku rasa kita perlu istirahat sebentar," kata Alya sambil menghela napas, menutup laptopnya. "Kalau terus kayak gini, kita nggak akan selesai."