Alya terkesiap. Arga memang jarang bertanya hal-hal seperti itu, apalagi menunjukkan perhatian. Meski pertanyaan itu sederhana, hati Alya berdebar lebih kencang. Ia berusaha tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nggak, aku baik-baik aja. Cuma sedikit capek."
Arga tidak langsung menerima jawaban itu. Ia memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang menganalisis Alya. "Kalau kamu capek, kita bisa istirahat sebentar. Proyek ini nggak harus selesai sekarang juga."
Alya tak tahu harus menjawab apa. Biasanya, Arga akan mendorong mereka untuk bekerja lebih cepat, lebih efisien, dan jarang memberikan jeda. Tapi kali ini, dia justru menawarkan istirahat? Alya merasa semakin bingung dengan Arga.
Tanpa sadar, ia menghela napas panjang. "Oke, mungkin kita memang perlu istirahat sebentar."
Mereka berdua duduk dalam diam selama beberapa menit, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Alya menatap Arga yang terlihat begitu tenang, seolah tidak pernah merasa tertekan atau cemas. Ia ingin tahu apa yang ada di balik ketenangan itu, apa yang sebenarnya Arga rasakan. Selama ini, Arga selalu tampak tak tersentuh, tapi sekarang, entah kenapa, Alya merasa seolah ada celah kecil di dinding yang selalu Arga bangun.
Akhirnya, Alya memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang sudah lama ia simpan dalam hati.
"Arga... kamu pernah nggak merasa bingung dengan perasaan kamu sendiri?"
Arga menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Bingung? Maksud kamu gimana?"
Alya menundukkan kepalanya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Ya, kamu tahu... seperti ada sesuatu yang kamu rasakan, tapi kamu nggak yakin apa itu atau kenapa kamu merasakannya."
Arga terdiam, sejenak tidak memberikan jawaban. Ia menatap Alya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku rasa, semua orang pernah merasa seperti itu."
Alya mengangguk pelan, meski jawaban itu tidak sepenuhnya memuaskannya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang apa yang Arga pikirkan, tapi pada saat yang sama, ia takut mengungkapkan perasaannya sendiri.