Arga terdiam, menatap Alya dengan mata yang sulit dibaca. Waktu terasa melambat di sekitarnya, dan Alya bisa merasakan jantungnya berdetak semakin keras. Ia mencoba menahan napas, menunggu jawaban Arga yang tampaknya memerlukan waktu lebih lama dari yang ia duga.
"Alya..." Arga mulai berbicara pelan, suaranya terdengar ragu. "Aku juga nggak tahu apa yang harus dilakukan soal ini. Di satu sisi, aku... merasa kita punya perasaan yang sama. Tapi di sisi lain, aku nggak ingin hubungan kita berubah menjadi sesuatu yang malah bikin semuanya lebih sulit."
Alya menatap Arga, merasakan emosi yang campur aduk di dalam dirinya. "Jadi... kamu nggak yakin?"
Arga menghela napas panjang. "Bukan soal aku nggak yakin tentang perasaanku, Alya. Aku cuma... khawatir. Kita bekerja sama dalam proyek ini, dan aku nggak ingin sesuatu yang kita rasakan malah mengganggu apa yang kita bangun bersama."
Alya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa kecewa. Ia mengerti kekhawatiran Arga, namun perasaan itu tidak bisa begitu saja diabaikan. "Tapi, Ga... kalau kita terus mengabaikan ini, bukannya malah lebih sulit nanti?"
Arga terdiam lagi, memikirkan kata-kata Alya. "Mungkin kamu benar. Tapi aku juga nggak mau kita terburu-buru. Kita bisa jalan pelan-pelan, melihat bagaimana semuanya berjalan. Aku nggak ingin kehilangan kamu sebagai partner—dan, ya, sebagai teman."
Mendengar kata-kata itu, Alya merasa lega, meskipun masih ada rasa ragu. Ia senang bahwa Arga juga mengakui perasaannya, tetapi ada ketidakpastian tentang ke mana hubungan ini akan membawa mereka. Namun, untuk saat ini, ia merasa cukup dengan kesepakatan mereka untuk melangkah pelan-pelan.
Setelah percakapan itu, mereka kembali bekerja seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat Alya merasa lebih dekat dengan Arga. Setiap kali mereka berbicara, ada tatapan yang lebih lembut di mata Arga, dan setiap kali mereka saling berdebat tentang proyek, ada canda tawa kecil yang menghiasi percakapan mereka.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan meski hubungan mereka masih dalam batas ketidakpastian, Alya merasa semakin nyaman di dekat Arga. Mereka tidak lagi hanya dua orang yang bekerja bersama dalam proyek, tetapi lebih dari itu—mereka adalah dua hati yang perlahan-lahan saling menemukan, meski jalan di depan mereka masih terlihat samar.
Di akhir minggu, setelah mereka selesai bekerja, Arga tiba-tiba mengajaknya keluar untuk makan malam di luar kampus. Alya, yang awalnya terkejut dengan ajakan itu, akhirnya setuju. Makan malam itu menjadi momen di mana mereka bisa berbicara tanpa tekanan proyek, tanpa harus memikirkan deadline, dan lebih fokus pada diri mereka sendiri.
"Sebenarnya aku nggak pernah membayangkan kita bisa sampai di titik ini," kata Alya sambil tertawa kecil, ketika mereka berbagi cerita tentang bagaimana mereka dulu sering bertengkar tentang hal-hal sepele.