Mohon tunggu...
Azkiyatun Danifatussunah
Azkiyatun Danifatussunah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

You Can Get Used To It !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Novel "Laskar Pelangi"

29 Desember 2020   08:22 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba dari arah samping ia mendengar riak air, Lintang terkejut dan takut. Menyeruak diantara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki seram naik dari rawa. Laki-laki itu menghampiri Lintang, kakinya bengkok seperti huruf O. Laki-laki itu adalah Bodenga. Lintang lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria itu tak mau dikenal orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa yang tak kenal dia.

Dia melewati Lintang seperti Lintang tidak ada dan dia melangkah tanpa ragu mendekati binatang buas itu. Dia menyentuh buaya itu, menepuk-nepuk lembut kulitnya sambil mengumamkan sesuatu. Buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya. Dari permukaan air yang bening jelas ia lihat binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air. Bodenga berbalik ke arah Lintang, ekspresinya dingin dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya Lintang tak berani menatap dia, nyalinya runtuh. Tapi Lintang merasa beruntung karena ia telah menyaksikan langsung kehebatan ilmu buaya Bodenga.

Bodenga kini sebatang kara, satu-satunya keluarga adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya, ayahnya seorang dukun buaya terkenal. Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ayahnya sengaja menggumpan tubuhnya pada buaya-buaya ganas itu.

Bab 11

Langit Ketujuh

Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berngkatlah dari tempat di mana saja di planet biru dengan meggunakan tabung roket atau semacamnya,meluncur keatas secar vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembuslapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing, serta teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh.

Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menjelmakan biji zarah kecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai dirinya, jarinya tak pernah berhenti mengacung. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat.

Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongkak, dia sudah pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungannya keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.

Saat Bu Mus menantang kami di depan kela, dengan soal matematika yang cukup banyak. Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk di kelompok-kelompokkan. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan praktis. Kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit.

Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, hanya memejamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak. Bu Mus pun tergoda untuk menjangkau batas daya pikir Lintang. Kami berkecil hati, termangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari 7 detik, tanpa membuat catatan apa, tanpa keraguan, tanpa tergesa-gesa, bahkan tanpa berkedip, Lintang pun berkumandang.Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah seumur mencari murid seperti ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana cara Lintang melakukan semua itu.

Dan inilah resepnya. Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian dan jangan kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telinga tuli dan otak tumpul.Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya, ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun