Mohon tunggu...
Azkiyatun Danifatussunah
Azkiyatun Danifatussunah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

You Can Get Used To It !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Novel "Laskar Pelangi"

29 Desember 2020   08:22 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal 197-198

boncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai kesebuah kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustasi. Ditambah lagi satu syarat cerewet lainnya, yaitu setiap jalan menanjak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan jumlah langkah yang diperhitungkan secara teliti.

Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak diatas batang sepeda laki punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya sehingga tampak seperti kendaraan yang tak bisa ia kuasai, apalagi dibebani tubuhku di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa pun yang melihat pandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk dibelakang, tak acuh pada kesusahannya.

"Turun dulu, tuan raja...," Syahdan menggodaku ketika sepeda kami menanjak.

Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorang penjilat. Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun. Termasuk menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan kesempatan mengobrol dengan beberapa wanita muda pujaannya. Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan pria kecil ini.

Kami sampai disebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah berbentuk seperti kue bulan dan ditengah bangunan itu tertempel foto hitam putih wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan lilin merah berserakan disekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud tadi dalam perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.

Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan roda yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko busuk itu dan pengaturan bodoh yang kami buat. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyot itu terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang berat meskipun badannya kecil, dunia yang tak pernah adil, dan buat dinamo sepeda yang longor sehingga gir-nya menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah.

Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendengar ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang kepalang.

Hal 241-242

Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang terjadi berikutnya tak kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerak-gerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa.

Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas kesana kemari maka getah aren itu menyebar keseluruh tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun