Mohon tunggu...
Azkiyatun Danifatussunah
Azkiyatun Danifatussunah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

You Can Get Used To It !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Novel "Laskar Pelangi"

29 Desember 2020   08:22 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bab 1

Sepuluh Murid Baru

Pagi itu hari pertama masuk SD. Aku duduk di depan sebuah kelas. Ayahku duduk di sampingku. Dibangku panjang itu ada anak dan orang tua yang mendaftar ke sekolah SD Muhammadiyah.Diujung kursi ada pintu yang terbuka. Mereka adalah K.A.Harfan Efendy Noer, kepala sekolah. Dan ibu N.A.Muslimah Hafsari atau Bu Mus seorang guru muda berjilbab.

Namun, Bu Mus terlihat gelisah dan cemas. Ia menghitung banyak siswa berulang-ulang, tetapi masih sembilan anak. Pada saat itu aku cemas dan semangatku untuk sekolah menurun. Ayahku pun begitu cemas.

Setelah menunggu sampai pukul sebelas lewat lima menit. Namun, ketika Pak Harfan mengucapkan Assalamu'alaikum, Trapani berteriak memanggil nama Harun. Harun pria jenaka yang sudah berusia lima belas tahun dan terbelakang mentalnya. Harun telah menyelamatkan kami dan kami bersorak gembira, karena SD Muhammadiyah tidak jadi di tutup.

Bab 2

Antedilivium

Bu Mus mendekati setiap orang tua murid di bangku panjang, berdialog ramah, dan mengabsen murid. Semua telah mendapatkan teman sebangku masing-masing. Aku duduk bersama Lintang, yang sekolah disini dan pulang pulang pergi setiap hari naik sepeda empat puluh kilo meter dari rumahnya.

Trapani bersama Mahar karena mereka paling tanpan. Trapani memandangi jendela,melirik kepada ibunya yang sekali-kali muncul di antara kepala orang tua lainnya. Borek dan Kucai di dudukkan bersama karena mereka sama-sama sudah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka Kucai dengan penghapus papan tulis.

Tingkah Borek diikuti oleh Sahara yang sengaja menumpahkan air minum A Kiong sehingga ia menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dengan setan. Sahara gadis kecil yang berkerudung memang keras kepala sekali. Tangisan A Kiong merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu.

Bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun mendatang karena aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah pensil yang besar belum disurut. Salah satunya ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Sepertinya ayahnya keliru membelikan pensil itu.

Begitu juga dengan bukunya, juga keliru. Buku bersampul biru tua bergaris tiga. Hal yang tak akan pernah ku lupakan, bahwa pagi itu aku menyaksikan anak pesisir melarat teman sebangku memegang pensil dan buku.

Bab 3

Inisiasi

Sekolah kami memiliki enam kelas yang kecil. Pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Sekolah kami kekurangan guru, bahkan siswa yang datang ke SD Muhammadiyah menggunakan sandal dan juga tidak punya seragam, serta kotak P3K pun tidak punya. Ketika salah satu dari kami sakit, guru kami akan memberikan obat yang bertuliskan APC.

Sekolah kami tidak ada yang menjaga karena tidak ada benda berharga yang layak untuk dicuri. Ketika malam tiba sekolah kami dipakai untuk menyimpan hewan ternak, atapnya bocor, berdinding papan dan juga berlantai tanah. Jika dilihat dari kejauhan sekolah kami akan roboh karena tiang-tiang kayu yang sudah tua.

Pak Harfan bercerita tentang Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir, Perang Badar dan juga Zubair bin Awam. Tetapi Pak Harfan harus mohon diri, satu jam dengannya terasa satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas.

Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya yaitu perkenalan dan pada akhirnya tiba pada giliran A Kiong. Tangisannya telah reda tapi masih terisak. Ketika diminta kedepan ia senangnya bukan main.Ketika Bu Mus mempersilakan perkenalan nama dan alamat rumahnya, A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu dan kemudian tersenyum.

Bapaknya menyeruak diantara kerumunan orang tua lainnya. Namun, meskipun berulang kali A Kiong ditanya tidak menjawab sepatah kata pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum. Ketika Bu Mus mempersilakan sekali lagi. Namun, A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum.ia berkali-kali melirik pada bapaknya. Namun sampai waktu akan berakhir pun A Kiong masih saja tersenyum. Sampai-sampai Bu Mus membujuknya lagi.

A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tidak menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.

Bab 4

Perempuan-Perempuan Perkasa

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau biasa di panggil Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya K.A. Abdul Hamid,pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong untuk mengobarkan pendidikan Islam. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.

Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri pelajaran Budi Pekerti dan pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi.

Karena masih kecil, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah bocor saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu. Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.

Bab 5

The Tower of Babel

Laksana the Tower of Babel yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang di tegakkan bangsa Babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun lalu. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang kemilau dari riak-riak gelombang laut. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu.

Belitong dalam batas kuarsa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN Timah adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksplotasinya disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli.

Bab 6

Gedong

Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka, kaum berjuis, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong.

Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus Timah. Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria, setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar-selasar.

Sore itu terdengar lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil yang tertutup rapat berpilar-pilar dia adalah Floriana atau Flo. Dia seorang anak yang tomboi, salah satu siswa dari sekolah PN, yang sedang les piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo terkantuk-kantuk tanpa minat.

Bapaknya seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk. Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia geram pada tingkah anaknya dan malu pada sang guru, beliau tak henti-henti memohon pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya. Karena beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya bersikeras ingin menjadi laki-laki, mungkin pengaruh dari saudara laki-lakinya.

Bab 7

Zoom Out

Tidak disangsikan, jika di zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Namun jika di zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong. Di antara rumah panggung berdesak-desakan kantor polisi, gudang logistik PN, kantor polisi, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor pos, bangunan pemerintah yang dibuat sehingga menjadi kosong, tandon air, warung kopi, rumah gadai, dan rumah suku Sawang.

Keseharian orang pinggiran amat monoton. Pagi yang sunyi menjadi berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing. Tepat pukul 7 sirine dibunyikan kembali tanda jam resmi masuk kerja. Pukul 12 sirine kembali berbunyi sebagai tanda istirahat. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil mereka bekerja, dan pada pukul 5 sore para kuli kembali pulang ke peraduan, berlangsung selama puluhan tahun lamanya.

Di sepanjang jalur perdesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan raya. Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya sangat mencolok dibanding kelas di atasnya.

Bab 8

Center of Excellence

Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur dengan rumah bergaya Victoria. Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertama. Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru bergaji mahal, dan penjaga sekolah.

Murid PN pada umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Mereka semua bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan benchmarking, yang seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan anak kecil dididik secara ilmiah.

Pendaftaran hari pertama di sekolah PN sebagai sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ketika mendaftar, badan mereka langsung diukur untuk seragam dan dua macam pakaian olahraga dan juga langsung mendapat kartu perpustakaan.

Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa. Kalau sempat berbicara dengan beliau, pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang muridnya yang telah menjadi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Sekolah kampung tentu saja perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.

Laksana the Tower of Babel yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang di tegakkan bangsa Babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun lalu. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang kemilau dari riak-riak gelombang laut. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu.

Belitong dalam batas kuarsa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN Timah adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksplotasinya disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli.

Bab 9

Penyakit Gila No. 5

Pagi itu Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membeli kertas kajang di pasar. Dengan polos dan tahu diri bahwa sandal dan bajunya buruk, sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah. Mengesankan dirinya kenal dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami. Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu.

Maka sepatuku yang seperti sepatu bola kupinjamkan padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak orang nelayan. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di PN Timah. Seperti halnya A Kiong, tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-lakinya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena kelurga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin. Meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa, ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.

Namun, pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Ia kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. 

Jabatan itu menyebalkan karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik. Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali menduduki jabatan, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dengan terpaksa bersedia menjabat lagi. Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggung jawaban setelah mati nanti, ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena ia berdiri dan berdalih secara diplomatis.

Kucai tampak emosional, tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan napasnya tesengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya bertahun-tahun. Bu Mus juga terkejut, beliau ingin bersikap seimbang maka beliau menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang kami inginkan. Kucai senang sekali. Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kucai terkulai lemas, karena ia masih menjadi ketua kelas kami.

Trapani atau si rapi jali adalah maskot kelas kami, berwajah seindah rembulan. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Ia seorang pemuda santun harapan bangsa, cita-citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Ia sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, khususnya ibunya. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat tiga.

Sahara satu-satunya hawa di kelas kami, ia ramping dan berjilbab. Bapaknya seorang Taikong,
yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN. Sifatnya penuh perhatian, kepala batu, dan pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Sifat lain dari Sahara adalah kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Musuh abadi Sahara ialah A Kiong. Sepertinya mereka dipertemukan nasib untuk selalu berselisih.

Sebaliknya, Sahara sangat lembut kepada Harun. Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Harun selalu menceritakan kucingnya yang berbelang tiga melahirkan tiga ekor yang berbelang tiga dan tanggal tiga kemarin. Sahara selalu sabar walaupun Harun menceritakannya setiap hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP.

Jika kami naik kelas Harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor. Aku sering memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada didalam pikirannya. Dia hanya tersenyum menanggapi tingkahku, Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa.

Pria kedelapan adalah Borek, aku tak mengerti dari mana ia mendapat pengetahuan membesarkan otot dada. Ia menarik tanganku berlari menuju belakang sekolah. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan bola tenis yang dibelah dua. Namun belum sempat aku berfikir jauh, tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku dan dengan keras menekankan bola tenis ke dadaku. Bola tenis itu alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang.

Di dadaku melingkar bulat merah kehitaman. Ketika ibuku bertanya tentang dada itu, maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila. Gila yang no.1 ialah jika orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan. Dan gila no.5 adalah gila yang aku buat dengan bola tenis itu.

Bab 10

Bodenga

Pagi itu Lintang terlambat masuk kelas. Dia tidak bisa melintas, karena seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak, menghalanginya di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisa dimintai bantuan. Dia hanya berdiri mematung, dan berbicara dengan dirinya sendiri. Buaya sebesar itu takkan mampu menyerangnya dalam jarak lima belas meter, buaya itu lamban pasti kalah langkah. 

Lintang maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham-deham, membuat bunyi-bunyian agar buaya merayap pergi. Tapi buaya itu bergeming, ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa itu. Walaupun lebih dari setengah perjalanan Lintang tak kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh itu, tak ada kata bolos dalam kamusnya.

Dalam jarak dua belas meter, Lintang hanya sendirian. Jika ada orang lain ia berani lebih frontal. Lintang tidak berani lebih dekat, buaya itu menganga dan bersuara rendah, suara dari perut yang menggetarkan. Ia diam menunggu, tak ada jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Lintang mulai frustasi, suasana sunyi senyap, yang ada hanya ia dan buaya ganas yang egois, dan intaian maut.

Tiba-tiba dari arah samping ia mendengar riak air, Lintang terkejut dan takut. Menyeruak diantara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki seram naik dari rawa. Laki-laki itu menghampiri Lintang, kakinya bengkok seperti huruf O. Laki-laki itu adalah Bodenga. Lintang lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria itu tak mau dikenal orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa yang tak kenal dia.

Dia melewati Lintang seperti Lintang tidak ada dan dia melangkah tanpa ragu mendekati binatang buas itu. Dia menyentuh buaya itu, menepuk-nepuk lembut kulitnya sambil mengumamkan sesuatu. Buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya. Dari permukaan air yang bening jelas ia lihat binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air. Bodenga berbalik ke arah Lintang, ekspresinya dingin dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya Lintang tak berani menatap dia, nyalinya runtuh. Tapi Lintang merasa beruntung karena ia telah menyaksikan langsung kehebatan ilmu buaya Bodenga.

Bodenga kini sebatang kara, satu-satunya keluarga adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya, ayahnya seorang dukun buaya terkenal. Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ayahnya sengaja menggumpan tubuhnya pada buaya-buaya ganas itu.

Bab 11

Langit Ketujuh

Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berngkatlah dari tempat di mana saja di planet biru dengan meggunakan tabung roket atau semacamnya,meluncur keatas secar vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembuslapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing, serta teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh.

Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menjelmakan biji zarah kecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai dirinya, jarinya tak pernah berhenti mengacung. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat.

Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongkak, dia sudah pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungannya keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.

Saat Bu Mus menantang kami di depan kela, dengan soal matematika yang cukup banyak. Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk di kelompok-kelompokkan. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan praktis. Kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit.

Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, hanya memejamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak. Bu Mus pun tergoda untuk menjangkau batas daya pikir Lintang. Kami berkecil hati, termangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari 7 detik, tanpa membuat catatan apa, tanpa keraguan, tanpa tergesa-gesa, bahkan tanpa berkedip, Lintang pun berkumandang.Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah seumur mencari murid seperti ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana cara Lintang melakukan semua itu.

Dan inilah resepnya. Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian dan jangan kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telinga tuli dan otak tumpul.Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya, ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya

Bab 12

Mahar

Di siang yankolah kampung tentu saja perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.g panas menggelegak, ketika pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguruan miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga dan sudah delapan belas kali terjadi ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud. 

A Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa sama sekali. Ia memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan-dahan rendah filicium serta buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan tidak sedikit pun memandang ke arah kami, ia mengkhianati penonton.

Lalu giliran aku. Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka karya C. Simanjuntak yang diaransemen Damodoro IS. Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. 

Aku telah mengkhianati keindahan. Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataanya semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras.

Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adalah lagu super ringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai. 

Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahara menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun. Sedangkan Kucai juga dari kelas satu SD hanya menampilkan dua buah lagu yang sama yaitu Rukun Islam dan Rukun Iman.

Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur terlanjur berkumandang sehingga ia tak pernah mendapat kesempatan tampil. Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk. Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog. Mahar bersiap-siap, kami menunggu penuh keingintahuan, dan kami semakin takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik ukulele.

Suasana jadi hening dan kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele dipeluknya dengan sendu, matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang mengharu biru, pias menahankan rasa. Lalu dengan interlude yang halus meluncurlah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante maestoso yang tak tertuliskan kata-kata. 

Seketika kami tersentak dalam pesona, lagu yang berjudul Tennesse Waltz dan sangat terkenal karya Anne Muray. Intonasinya lembut membelai-belai kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi sambil menitikkan air mata.Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara acak untuk menyayi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang bertindak selaku pemandu bakat.

Bab 13

Jam Tangan Plastik Murahan

Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah mengupah seorang budak untuk membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati wanita itu membelah dadanya dan memakan hati panglima besar itu. 

A Kiong memerankan Hamzah, dan Sahara sangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band. Alat-alat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta dua buah rebana yang dipinjamkan dari badan amil Masjid Al-Hikmah.

Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan seruling yang dimainkan secara sekaligus oleh Trapani melalui bantuan sebuah kawat agar seruling dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu. Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan tangan kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari kirinya menutup-nutup enam lubang seruling. Sebuah pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Trapani adalah salah satu daya tarik terbesar band kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton.

Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah porpol ingin memanfaatkan grup kami yang mulai kondang untuk menarik massa melalui iming-iming uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-mentah. Kami tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu. Sekolah kita adalah sekolah Islam bermartabat, kita tak akan menjual kehormatan kita demi sebuah jam tangan plastik murahan.

Bab 14

Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang

Sayangnya, sore itu, pemandangan seperti butiran-butiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok Homo Sapiens. Makhluk brutal memanjati dahan-dahan filicium, bersorak-sorai, dan bergelantungan mengklaim dahannya masing-masing. Kawanan itu dipimpin oleh setan kecil bernama Kucai, Kucai mengangkangi dahan tertinggi.

Sedangkan Sahara, satu-satunya betina dalam kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena pakaian Sahara tidak memungkinkan ia berada di atas kami. 

Ia adalah muslimah yang menjaga aurat rapat-rapat. Kepentingan kami tak kalah mendesak dan makhluk lainnya terhadap filicium karena dari dahannya kami dapat dengan leluasa memandang pelangi.Kami sangat menyukai pelangi. 

Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan. Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi.

Sore itu, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung Selumar. Dahan filicium menjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pendapat tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur. Ketika kami mendesank Mahar, ia sempat ragu-rag. Dia diam membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang untuk membual.

Wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya dengan sepenuh jiwa apa pun yang dikatakan Mahar. Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang tengger persis di belakang pendongeng itu, menyilangkan jari di atas keningnya dan menggesek-gesekkannya beberapa kali. 

Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan berpura-pura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kami tak lagi berdebat. Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Sampai akhirnya, azan Magrib menggema.

Bab 15

Eurafia Musim Hujan

Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena kedinginan. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, berpura-pura menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang yang yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar seperti orang lupa diri.

Yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah dengan kencang. Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. 

Mereka yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong mereka penarik pelepah. Puncak permainan ini adalah ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.

Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping dengan tubuh rebah, dengan gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat menikung aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik. Karena sudut belokan tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak kan pernah bisa diselesaikan. Para bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit.

Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecil-kecil bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, dan ada rasa pening di bagian kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar. Lalu aku mencari-cari Syahdan, ia terbanting agak jauh dariku, tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit, dan ia tak bergerak. 

Kami menghambur ke arah Syahdan. Karena ia tak bernafas sama sekali dan ia terpelanting. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas.

Aku menampar-nampar pipi Syahdan, aku pegang urat lehernya. Namun sayang aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong. Kami mengigil ketakutan dan Samson mengisyarat agar mengangkat Syahdan. Tiba-tiba kudengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh. Rupanya ia hanya berpura-pura tewas. 

Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan nafas agar kami menyangka ia mati. Lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan, kami pun ikut tertawa. Makin lama tawa kami makin keras, yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang.

Bab 16

Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau

Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. Aku mengumpulkan sebuah karangan puisi yang berjudul Aku Bermimpi Melihat Surga. Dengan puisi itu, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai yang sedikit lebih baik dari nilai Mahar.

Burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, dimana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang menganggap burung itu semacam makhluk gaib. Pelintang pulau adalah kebiasaan burung itu terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintasi pulau demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di puncak dari pohon-pohon yang tinggi. 

Mahar mengaku melihat burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang dilihatnya, tetapi yang kami saksikan hanya dahan-dahan yang kosong. Maka, seperti biasa, mengalirkan ejekan untuk Mahar. Sayangnya upaya Mahar untuk meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual.

Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul "Kawanan Burung Pelintang Pulau", sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burungg yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Ketika Mahar sudah berpikir tataran imajinasi, simbol, dan substansi Samson, Syahdan, dan Sahara masih berpikir harfiah. Karena kecewa sebab karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Mahar agak berkurang sedikit, yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik.

Bab 17

Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu

Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik sepeda laki punya Pak Harfan dan membuat perjanjian, bahwa saat berangkat ia akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuah kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Pulangnya pun berlaku aturan yang sama. Tugas membeli kapur adalah pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya. Sesampainya di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang becek. Setelah menunggu sekian lama, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur.

Aku berjalan cepat melintasi karung-karung bawang putih tengik sambil menutup hidung. Bersamaan dengan teriakan anak itu suara puluhan batangan kapur jatuh di atas lantai ubin. Kupunguti kapur-kapur itu. Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai, karena amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si nona itu tiba-tiba membuka tirai dan tindakan cerobohnya itu membuat kami yang sama-sama terperanjat hampir bersentuhan. Saat itu aku merasa jarum detik seluruh jam yang ada di dunia ini berhenti berdetak. Kami berdua masih terpaku tanpa mampu berkata apa pun, lidahku terasa kelu, mulutku terkunci rapat.

Kejadian itu membuat pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Aku tak peduli lagi dengan kotak kapur yang isinya tinggal setengah.ketika mempersiapkan sepeda untuk pulang, aku mencuri pandang ke dalam toko. Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Karena aku sedang bersukacita.

Seusai pelajaran aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam mematung, tak mau berdusta, tak mau menjawab apa pun yang ditanyakan, dantak mau membantah apa pun yang dituduhkan. Hukumannya adalah harus mengambil ember yang dijatuhkan Trapani di sumur horor.

Bab 18

Moran

Pak Harfan yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka dibawah pohon filicium. Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Pak Harfan telah membakar semangat kami sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat senang karena akan digarap oleh Mahar.

Lalu pada Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul kami paham ia telah mendapat pencerahan. Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengukur waktu, kami sudah sangat penasaran, ia menatap kami satu per satu. Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena selain akan menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika adalah ide yang cerdas.

Setelah itu, setiao sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian itu harus dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.

Hari H semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengan berbagai latihan. Marching Band sekolah PN ssepanjang sore melakukan geladi sepanjang jalan kampung. Baru latihan saja penontonnya sudah membludak. Meneror semangat peserta lain. Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan, kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup.

Bab 19

Sebuah Kejahatan Terjadi

Tibalah hari karnaval. Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga anak dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis. Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, menggunakan jubah merah dan membawa tombak panjang.

Kami memakai celana merah tua, seluruh tubuh kami dicat cokelat muda, wajah dilukis berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai, dipinggang dililitkan selendang lebar dari bulu ayam, anting-anting besar yang dijepit dan gelang yang dibuat dari akar-akar kayu. Penutup kepala adalah mahkota yang sangat besar, berba gai jenis diselipkan, dan dijepit. Kalung besar yang terbuat dari buah aren masih hijau yang ditusuk.

Sangat mendadak Mahar bersama tiga puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena podium. Gerakan mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat dinamis, penonton pun terperanjat. Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak terduga.

Kami semakin tunggang langgang, berputar-putar, kami sudah tak peduli dengan pantun Afrika yang harusnya kami lantunkan.ketika cheetahmenyerang, kami berbalik menyerang. Para cheetah kebingungan, ketika mereka menerjang, kami membalas, cheetah berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang.

Kami masih tak tahu ketika Mahar diarak oleh warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamkan dan selama itu bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak akan membuat sekolah kami dihina lagi.

Bab 20

Miang Sui

Aku tak dapat menggambarkan perasaanku bahwa A Ling adalah sepupu A Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami duduk di bangku kecil. A Kiong menyimak dengan saksama ceritaku tapi ia tak bereaksi apa-apun, tak ada sedikit pun perubahan air mukanya, ia tidak mengerti apa maksud pembicaraan kami. Ia mengernyitkan dahinya.

Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling yang berjudul Bunga Krisan. Ketika memasukkan puisi itu ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Aku tak mau ambil pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak karuan karena pada kotak kapur yang kuambil pagi ini ada tulisan: Jumpai aku di acara sembahyang rebut.

Dadaku sesak karena rindu dan marah. Ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar suara yang lembut. Aku berbalik cepat dan terkejut. A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.

Hal 197-198

boncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai kesebuah kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustasi. Ditambah lagi satu syarat cerewet lainnya, yaitu setiap jalan menanjak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan jumlah langkah yang diperhitungkan secara teliti.

Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak diatas batang sepeda laki punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya sehingga tampak seperti kendaraan yang tak bisa ia kuasai, apalagi dibebani tubuhku di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa pun yang melihat pandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk dibelakang, tak acuh pada kesusahannya.

"Turun dulu, tuan raja...," Syahdan menggodaku ketika sepeda kami menanjak.

Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorang penjilat. Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun. Termasuk menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan kesempatan mengobrol dengan beberapa wanita muda pujaannya. Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan pria kecil ini.

Kami sampai disebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah berbentuk seperti kue bulan dan ditengah bangunan itu tertempel foto hitam putih wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan lilin merah berserakan disekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud tadi dalam perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.

Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan roda yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko busuk itu dan pengaturan bodoh yang kami buat. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyot itu terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang berat meskipun badannya kecil, dunia yang tak pernah adil, dan buat dinamo sepeda yang longor sehingga gir-nya menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah.

Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendengar ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang kepalang.

Hal 241-242

Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang terjadi berikutnya tak kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerak-gerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa.

Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas kesana kemari maka getah aren itu menyebar keseluruh tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.

Kami berusaha tidak mengaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi, kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain itu menggaruk hanya akan memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti orang lupa diri. 

Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti buah saga. 

Trapani sama sekali menguap ketampanannya. Wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api dan urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.

Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. kami menari dengan tenaga dua kali lipat dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.

Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur kedepan meninggalkan tempat-tempat duduknya

Hal 263-264

kan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya. Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. 

Sang budak tak ada urusan dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cetakan ia berjingkrat-jingkrat diantara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelatan melacak kesana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. 

Ia selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan amat rapi diantara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, didalam karung kemiri, di sela-sela dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu peringan tubuh. 

Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainna serta kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap di telan, asap gaharu, dan aroma dupa.

Orang-orang Melayu, sebagaimana biasa, susah berorganisasi. Bukannya fokus pada ikhtiar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada yang mau berintrosipeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. 

Tak mengapa tujuan tak tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam sembah yang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk rendam, sebatang tebu, beberapa bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kelapa boneka, bibit kelapa yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air itu pun hanya sumbatnya saja.

Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acar keagamaan tua yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona.

Hal 281-282

Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak mau pergi dari kamarku

Kepala pusing sejak itu...

Siapa dirimu?

Yang berani merusak tidur dan selera makanku?

Yang membuatku melamun sepanjang waktu?

Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu!

Namun ingin kukatakan padamu

Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu

Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu ....

A Ling

Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan menaggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi laki-laki manusia yang rapat berselang-seling. 

Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku di sampingnya. Ia tampak samar-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samar laki-laki itu tampak mendekat, ia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di lapangan, basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu, setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga mengunjungiku.

Hal 285-286

Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al-Hikmah karena setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu naik gunung.

Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh, biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka memagari pekarangannya dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas rendah-rendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya.

Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha membuat kekasihnya terkesan tak kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatih-tatih sehigga sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu memalukan nanti kalau dijadikan suami.

Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak dua kali, menelusuri Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung Selumar. Kekasih mana pun akan maklum kalau minta turun, karena tanjakan Selumar meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang.

Baru seperampat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan terasa berat. Pagar tali yang yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan barisan rapi pohon-pohon cemara angin.

Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai-urai mengikuti pola anak-anak Sungai Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling diantara padang ilalang liar tak bertuan. Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah.

Hal 307-308

nampar-namparkan daun-daun itu ke sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit.

Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun-daun beluntas dengan beringas, A Kiong serta merta menyembur-nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan. Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana, dn sistematis.

Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total.

"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat sumur sekolah ...," Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa dosa. Mereka tak sedikit pun atas keyakinannya pada metode penyembuhan dukun yang konyol tak tanggung-tanggung.

"Merekalah yang membuatmu demam panas," sambungnya lagi sambil memasukkan alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera pusaka.

"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah kuusir, besok sudah bisa masuk sekolah!" Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja kata-katanya. Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah. Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya.

Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku-buku dan pelajaran sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti. Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senag memperdalam hal-hal yang subtil. Belakangn ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gar anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman bernama Tuk Bayan Tula.

Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk Gedong itu memisahakn diri rombongan teman-teman sekelasnya ketikahiking di Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta alam, para pendaki profesional dan amatir, para penduduk yang berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan

Hal 394

"Ananda tak kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua siluman. Gua itu hanya akan menampakkan diri di malam hari yang paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang gunung terpilih yang tak kita kenal." Orang-orang gunung adalah cerita konon yang lain. Kami menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga tak pernah dilihat orang kampung.

"Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus rimba belantara liar untukmencari gua itu. Pohon-pohon disana sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke langit," demikian cerita Mahar.

"Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus permukaan tanah. Pohon-pohon berlumut, gelap dan lembap, penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luwak, dan ular-ular besar," sambung Flo meyakinkan.

"Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pengetahuan Mujis yang baik tentang kontur hutan akhirnya membimbing kami menuruni sebuah lembah curam diantara dua gunung dan di dasar lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah gua!" Kami ternganga-nganga, meraptkan lingkaran duduk, mendekati dua petualang sejati yang sangat hebat ini, tak sabar mendengar kelanjutan cerita.

"Kami belum yakin apakah itu gua, gambar seperti dimaksud komunitas kuno itu. Wilayah itu sangat sulit ditempuh. Mulut gua sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jari-jari yang sengaja menyamar

Hal 223-224

Mahar untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian dia adalah seniman yang genius!

Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh gegap gempita sambil beteriak-teriak seperti Suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan & sangat senang karena akan digerap oleh mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu-ngelukannya, tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium. Dia tersenyum.

Sebagai kelanjutan keputusan rapat akbar, Mahar serta merta mengangkat A Kiong sebagai General Affair Assistant, yaitu pembantu segala macam urusan, A Kiong mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemedi mencari inspirasi tak bisa diganggu.

Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan para guru menunggu dengan was-was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami ingin berbicara dengannya menyuruh kami diam menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset, mengkhayal, dan berkontemplasi.

Dia duduk sendirian menabuh tabla, mencari-cari musik, sampai langit lalu tiba-tiba berdiri, mereka-reka kogeografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari berkeliling, diam berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan tubuhnya, berguling-guling di tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada angin ia menyeruduk-nyeruduk seperti hewan kena sampar.

Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah ia akan berhasil membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan berhasil membalikkan kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang penerobis, seorang pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal? Haruskah ia menanggung beban seberat ini? Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.

Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut. Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun.

Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jalan-jaln telah meraupi wajah kucel kurang tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah

Bab 21

Rindu

Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku. Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos.Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form x13. Tanda terima kiriman penting. Sekarang aku paham, kurampas suratku. Dadaku berdebar-debar.

Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu. Aku duduk sendiri dibawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul biru ituberisi puisi yang berjudul Rindu dari A Ling. Aku terpaku memandangi kertas itu, tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap.

Bab 22

Early Morning Blue

Malam minggu ini kami akan menginap di Masjid Al-Hikmah karena setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu mendaki gunung. Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur.

Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan terasa berat. Semakin ke puncak langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana.Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang.

Aku sedang merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas dari memandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh dibawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling. Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman.

Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi itu berjudul Jauh Tinggi, aku membuatnya pada saat ini aku berada di puncak Gunung Selumar. Puisi inilah misi rahasiaku.

Bab 23

Billitonite

Senin pagi yang cerah. Sepucuk puisi kertas ungu bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A Ling.

Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling.

Syahdan mendekatiku yang berdiri terpaku, wajahnya sendu. A Miauw yang dari tadi memerhatikan dan menghampiriku dengan tenang. Aku terdiam dan menunduk, tanganku mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar puisi. A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus persis sama dengan kertas sampul puisiku.

Pukul 09.05.

Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan diatas lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih meninggalkan aku sendiri. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan pandanganku semakin kabur, karena air mata tergenang pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.

Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot dan sebuahdiary yang memuat berbagai catatanharian dan lirik-lirik lagu. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang khusus ditunjukan untukku. Namun pada suatu halaman aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada lembar-lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menyalin kembali seluruh puisiku dalam diarynya.

Bab 24

Tuk Bayan Tula

Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk Gedong itu memisahkan diri dari rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta alam, para pendaki profesional dan amatir, para penduduk yang berpengalaman tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.

Sampai senja Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya menangis cemas. Segenap daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda dimana ia berada. Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di kapaI keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Hari beranjak gelap dan keadaan semakin mengkhawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti gunung sangat menulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas dan putus asa.

Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaannya di tengah hutan rimba gunung itu. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun. Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba.

Di tengah kepanikan ada kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula. Tokoh ini dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh.

Keadaan panik yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tual. Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan itu berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah yang berkecepatan tinggi. Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Namun utusan itu tak membawa kabar apa-apa kecuali sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula.

Cerita itu dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.

Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di sana tertulis: jika ingin menemukan anak perempuan itu maka carilah dia di dekat gubuk ladang yang ditinggalkan, temukan segera atau dia akan tenggelam di bawah akar bakau.

Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung, dan samar-samar. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong kecil di lehernya, ia meneropongi tepian Sungai Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak.Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar sertamerta merampas teropong Syahdan. Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama.

Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak kan menemukan Flo di pinggir Sungai Buta. Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta. Untuk pertama kalinya aku ke sana dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya.

Kami tak percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengong-bengong pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan.

Bab 25

Rencana B

Rencana A adalah mengerahkan segenap sumber daya untuk mengembangkan minat dan kemampuan utama, dalam kasusku berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu menggebrak secara memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dari semua usaha dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi. Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana A, aku mengalami kesulitan untuk tidur.

Rencana A sesungguhnya adalah cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.

Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B dibuat jika rencana A gagal. Rencana B-ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Aku menghabiskan sekian banyak waktu untu membuat rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaitu TATA CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atau BULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.

Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu pedalaman. Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas.

Bab 26

Be There or Be Damned!

Mahar sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan mengembalikannya ke jalan yang lurus. Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya. Suasana menjadi tegang. Kami harap Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia malah menjawab dengan nada bantahan. Wajah Mahar aneh. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah tapi di sisi lain yakin bahwa ia sedang mempertahankan sebuah argumen yang benar.

Tiba-tiba terdengar assalamu'alaikum. Bu Mus menjwab dan mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang anak perempuan tampil seperti laki-laki. Anak itu berpostur tinggi, ia seperti sekeping papan. Sepatunya bot yang mahal dan itu adalah sepatu laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis-lapis. Ia jelas bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah berjilbab. Ia memakai rok besar bermotif kotak-kotak besar merah. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih sangat halus, dan wajahnya cantik.

Orang penting itu menggaruk-garuk kepalanya. Nada bicaranya jelas sekali seperti orang yang kehabisan akal mengatasi anaknya itu. Kami semua termasuk kepala sekolah tersipu menahan tawa. Bu Mus yang baru saja marah juga tersenyum. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan seksama, di balik kedua matanya yang gelap coklat tersembunyi kebaikan yang sangat besar.

Flo dipersilakan duduk dengan Sahara oleh Bu Mus. Sahara senang karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas kami. Tapi di luar dugaan ternyata Flo tak beranjak. Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar.

Dunia gelap yang memicu Flo dan itu juga salah satu tujuannya mendekati Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi rahasia para penggemar paranormal. Karena organisasi sangat sibuk, sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara.

Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya, meskipun tidak ada honornya sepeser pun. Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku register. Tugas lainnya adalah mengatur pertemuan rahasia. Seperti sore ini misalnya, Flo menyerahkan undangan padaku, isinya:

Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7 tepat.

Be there or be damned!

Bab 27

Detik-Detik Kebenaran

Kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi, yaitu lomba kecerdasan. Suasana menjadi tegang ketika ketua dewan juri, bangkit dari tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang, Sahara pucat pasi, dan Lintang tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan mencemaskan tergelegar didepan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar berondongan pertanyaan. Suasana mencekam.

Luar biasa! Tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dari 5 detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip. Sementara parapeserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disediakan panitia. Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak.

Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton menyela. Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke arah seorang pemuda yang kecewa. Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN. Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau tidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Bantahannya yang terkhir itu adalah pelecehan. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan perguruan tinggi terkemuka itu.

Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot layu di batang hidungnya yang bengkok.

Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban di luar perkiraan. Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan. Di sebuah tempat duduk yang besar, ibu Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia sedang tidak duduk di situ.

Bab 28

Societeit de Limpai

Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang aneh dan aku adalah sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-diam. Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal mereka sering menggunakan metode ilmiah sehingga mereka dapat juga disebut sebagai ilmuwan dalam definisi mereka sendiri. Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling angker di Belitong. Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik di cabang-cabang pohon untuk mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya.

Tak ayal Societeit mendatangi kuburan-kuburan keramat, bermalam di lokasi yang terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda magis pusaka warisan antah berantah. Mereka dianggap orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan waktu untuk hal-hal tak bermanfaat. Mereka berhasil menghancurkan mitos angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali orang kampung.

Jika tiba dari pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa cerita-cerita seru ke sekolah. Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dari tanah liat di sekitar kuburan, ia juga menemukan berbagai jenis kendi yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubungan beberapa kuburan purba bertambak superbesar di Belitong dengan teori-teori para arkeolog terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T.

Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatapnya, dan dia melanjutkan cerita seperti orang berbisik. Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali menarik napas panjang, Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan ketakutan, Trapani memeluk Harun. Rasanya aku mau meloncat dari tempat duduk, dan perut bawahku ngilu menahan kencing karena perasaan tegang yang meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dadaku berdegup kencang. Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini.

Bab 29

Pulau Lanun

Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi trade off, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.

Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah. Seluruh anggota Societeit menyambut antusias ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, dan juga seorang nahkoda berpengalaman. Mereka semuanya dan juga aku serta orang-orang yang ingin ikut ke Pulau Lanun harus merelakan barang-barang berharganya. Ketika uang patungan digelar di atas meja gaple terkumpul sebanyak Rp 1,5 juta.

Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nahkoda akhirnya pas tengah hari kami berangkat. Pada awalnya perjalanan cukup lancar, cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi. Namun, menjelang sore angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Sebuah gelombang yang dahsyat menghantam lambung perahu hingga terdengar suara seperti papan patah. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan.

Nahkoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan benda tajam, dan mematikan mesin. Kami melilit-lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang ke tiang. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah, semua penumpang perahu mengalaminya. Aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya Syah Bandar melepaskan pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang. Setelah azan selesai perlahan-lahan gelombang laut turun, gelombang laut yang meluap-luap berbuih tiba-tiba surut. Seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam yang memudar.

Awan perlahan-lahan menjadi gelap karena senja telah turun. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang tebal. Ada perasaan seram diam-diam menyelinap, kami ketakutan. Tiba-tiba nahkoda menunjuk lurus ke depan dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak. Kami serentak berdiri terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama Pulau Lanun. Teronggok sepi dan Pulau Lanun tampak kecil sekali.

Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu tidak menginjak bumi. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk. Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu menyerahkannya dengan penuh hormat pada datuk. Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuh ke dalam gua.

Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya. Mahar memasukkan gulungan kertas ke dalam tempat bekas bola badmintondan kotak itu dimasukkannya ke dalam jaketnya. Kami lari terbirit-birit menuju perahu. Nahkoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur pulang.

Tengah hari itu banyak orang berkumpul di pohon filicium. Seluruh temanku dan semua warga kampung berkumpul juga. Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri. Mahar memegangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat. Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi akan segera membukanya, di kertas itu tertulis dengan jelas:

INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK

KALIAN BERDUA,

KALAU INGIN LULUS UJIAN:

BUKA BUKU, BELAJAR!!

Bab 30

Elvis Has Left the Building

Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang.

Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu. Ibunda guru, ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.

Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan. Aku hanya terdiam, hatiku kosong. Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo menunduk diam, matanya berkaca-kaca. Kami melepas seorang sahabat genius, salah seorang pejuang Laskar Pelangi.

Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak tertepi. Suasana sepi membisu. Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Saat itu aku menyadari bahwa kami sesungguhnya adalah kumpulan persaudaraan cahaya dan api. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.

Dua belas tahun kemudian

Bab 31

Zaal Batu

Maka inilah aku sekarang. Karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shif pagi, yang bekerja mulai subuh. Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21 tahun. Ia mahasiswa universitas paling bergengsi di Indonesia di kawasan Depok, jurusan psikologi. Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar dari sinar matanya.

Saat itu Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi, dari sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-loncat gembira. Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Kami sekalian pulang kampung setelah ia riset. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu. Mungkin zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu.

Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu teruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti disitu. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Suasana di situ mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya.

Profesor Yan membimbing kami menelusuri lorong menuju sebuah pintu paling ujung. Disana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelan. Dan dibangku panjang itu duduk berdua rapat-rapat, seorang ibu dan anaknya. Mereka berdua melihat kami sepintas tapi kebanyakan menunduk. Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik dalam melakukan wawancara pendahuluan dengan kedua pasien. Kemudian wawancara pun selesai Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu.

Aku yang keluar terakhir menutup pintu itu. Tepat pada saat aku terperanjat karena mendengar seseorang memanggil namaku. Kami saling berpandangan. Salah seorang dari pasien itu jelas memanggilku. Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya.

Bab 32

Agnostik

Toko Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Di sebelahnya aku melihat toko yang bernama Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli toko. Tapi wajahnya sangat ramah dan tampaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Pria bertulang besi tadi menerima sejumlah uang. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik.

Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah memiliki cinta. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta. Aku mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling padaku sebagai cinta pertama kami. Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku menyadari bahwa seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal.

Seminggu yang lalu setelah kulemparkan naskah bulu tangkis ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan dan minum, serta kegiatan yang lainnya aku tetap membaca buku. Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang malah kuminta karena aku dapat pulang lebih awal.

Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata mendukungku. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara. Setelah membaca buku itu semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru. Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekoalh Muhammadiyah, dan Herriot.

Kemudian tes demi tesyang mendebarkan berlangsung selama berbulan-bulan. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan akhir atau wawancara dilakukan oleh seorang mantan menteri. Dan untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian rapi. Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di dalam negeri tapi di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini. Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Aku lega karena aku telah membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan Edensor.

A Kiong sempat menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu yang percaya Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun, ia tidak pernah beribadah. Ia berkelana mengamati agami demi agama dan keadilan Tuhan. Hari demi ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun. Pada usia dewasa ia setiap mendengar suara azan sering disergap perasaan sepi nan indah menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan menjatuhkan air matanya. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman.

Penerimaan cahaya itu merisaukannya adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Wanita itu adalah Sahara, katanya, telah membuat malam-malamnya gelisah. Dengan basmallah, ia menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orang tuanya, menyatakan keinginannya melamar. Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa. Mereka memperkerjakan seorang kuli, kulinya adalah Samson. Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang melahirkan anak tiga, berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal tiga. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah sebaliknya.

Lintang sekarang adalah kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang. Sekarang kecerdasan Lintang terbuang sia-sia. Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti mengaguminya. Mantan kawan sebangku ku yang sekarang menjadi kuli ternyata masih sharp! Aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

Sehari sesudah Mahar membaca pesan Tuk, kami berdesak-desakkan di jendela kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus. Kedua anak berandal itu bergantian mencium tangan Bu Mus. Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya, kami menerima kejutan luar biasa, mengagetkan, dan amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan jilbab. Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Sekarang Flo menempuh perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sriwijaya. Setelah lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita Muhammadiyah. Ia menikah dengan seorang teller bank BRI mantan anggota Societeit. Allah memberinya dua kali persalinan empat anak laki-laki yang tampan jaraknya hanya setahun. Dua kali anak kembar.

Dalam kaar (peta laut) TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan tenggelam karena badai atu ketidakstabilan permukaan laut. Pensiunan Syah Bandar yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang menjadi muazin tetap di Masjid Al-Hikmah.

Mahar hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Ia pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia mulai berusaha menulis artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan mengorganisasi berbagai kegiatan budaya.

Syahdan yang kecila, santun, dan lemah lembut agaknya memang ditakdirkan menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis. Setelah tamat SMA ia berangkat ke Jakarta. Setelah lebih dari setahun akhirnya ia benar menjadi aktor. Sampai tiga tahun berkutnya ia masih menjadi aktor figuran. Ia juga bosan menjadi pesuruh di sebuah grup sandiwara tradisional kecil. Syahdan baru tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer ketika sudah dewasa. Ia mendapat beasiswa short course di bidang computer network di Kyoto University, Jepang. Ia berhasil mencapai kualifikasi keahliannya menjadi segelintir orang Indonesia memiliki sertifikat Sisco Expert Network. Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang paling sukses. Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya menjadi aktor sungguhan. Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya karena ia adalah seorang pejuang.

Bab 33

Anakronisme

Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Ekonomi Belitong yang sempat pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para pendulang.

Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi orang yang sukses. Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan tahun lalu. Fondasi budi pekerti Islam dan kemuhammadiyahan yang telah diajarkan padaku menggema hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dari tuntunan Islam. Tak ada mantan warga Muhammadiyah yang menjadi para kriminal atau koruptor. Mereka adalah orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan.

Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.

Bab 34

Gotik

Aku bangga duduk di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa iri yaitu Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor Aziz Panelis. Terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumaidi Ahlan bin Zubair bin Awam. Ia meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan. Ada juga Kucai, sekarang ia adalah Drs.Mukharam Kucai Khairani. Ia menjadi seorang ketua fraksi di DPRD Belitong. Mahar berniat mengembalikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat.Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan.

Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Aku melihat seorang pria yang sangat gagah. Ia menenteng plastik kresek belanjaan, berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Aku kenal pria ganteng itu adalah Trapani. Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau ke Jawa. Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani.

Ibu tua berwajah keras itu awalnya sangat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami. Kucai berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambulnya kacau balau. Kucai berulang kali meminta maaf pada ibu Ikal bukan pada Mahar, tapi wajahnya mengangguk-angguk menghadap ke Nur Zaman.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun