Mohon tunggu...
Azkiyatun Danifatussunah
Azkiyatun Danifatussunah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

You Can Get Used To It !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Novel "Laskar Pelangi"

29 Desember 2020   08:22 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan. Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi.

Sore itu, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung Selumar. Dahan filicium menjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pendapat tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur. Ketika kami mendesank Mahar, ia sempat ragu-rag. Dia diam membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang untuk membual.

Wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya dengan sepenuh jiwa apa pun yang dikatakan Mahar. Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang tengger persis di belakang pendongeng itu, menyilangkan jari di atas keningnya dan menggesek-gesekkannya beberapa kali. 

Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan berpura-pura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kami tak lagi berdebat. Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Sampai akhirnya, azan Magrib menggema.

Bab 15

Eurafia Musim Hujan

Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena kedinginan. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, berpura-pura menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang yang yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar seperti orang lupa diri.

Yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah dengan kencang. Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. 

Mereka yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong mereka penarik pelepah. Puncak permainan ini adalah ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.

Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping dengan tubuh rebah, dengan gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat menikung aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik. Karena sudut belokan tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak kan pernah bisa diselesaikan. Para bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit.

Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecil-kecil bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, dan ada rasa pening di bagian kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar. Lalu aku mencari-cari Syahdan, ia terbanting agak jauh dariku, tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit, dan ia tak bergerak. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun