Mohon tunggu...
Azkiyatun Danifatussunah
Azkiyatun Danifatussunah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

You Can Get Used To It !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Novel "Laskar Pelangi"

29 Desember 2020   08:22 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendaftaran hari pertama di sekolah PN sebagai sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ketika mendaftar, badan mereka langsung diukur untuk seragam dan dua macam pakaian olahraga dan juga langsung mendapat kartu perpustakaan.

Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa. Kalau sempat berbicara dengan beliau, pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang muridnya yang telah menjadi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Sekolah kampung tentu saja perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.

Laksana the Tower of Babel yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang di tegakkan bangsa Babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun lalu. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang kemilau dari riak-riak gelombang laut. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu.

Belitong dalam batas kuarsa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN Timah adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksplotasinya disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli.

Bab 9

Penyakit Gila No. 5

Pagi itu Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membeli kertas kajang di pasar. Dengan polos dan tahu diri bahwa sandal dan bajunya buruk, sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah. Mengesankan dirinya kenal dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami. Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu.

Maka sepatuku yang seperti sepatu bola kupinjamkan padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak orang nelayan. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di PN Timah. Seperti halnya A Kiong, tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-lakinya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena kelurga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin. Meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa, ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.

Namun, pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Ia kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. 

Jabatan itu menyebalkan karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik. Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali menduduki jabatan, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dengan terpaksa bersedia menjabat lagi. Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggung jawaban setelah mati nanti, ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena ia berdiri dan berdalih secara diplomatis.

Kucai tampak emosional, tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan napasnya tesengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya bertahun-tahun. Bu Mus juga terkejut, beliau ingin bersikap seimbang maka beliau menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang kami inginkan. Kucai senang sekali. Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kucai terkulai lemas, karena ia masih menjadi ketua kelas kami.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun