Mohon tunggu...
Azkiyatun Danifatussunah
Azkiyatun Danifatussunah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

You Can Get Used To It !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Novel "Laskar Pelangi"

29 Desember 2020   08:22 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trapani atau si rapi jali adalah maskot kelas kami, berwajah seindah rembulan. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Ia seorang pemuda santun harapan bangsa, cita-citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Ia sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, khususnya ibunya. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat tiga.

Sahara satu-satunya hawa di kelas kami, ia ramping dan berjilbab. Bapaknya seorang Taikong,
yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN. Sifatnya penuh perhatian, kepala batu, dan pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Sifat lain dari Sahara adalah kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Musuh abadi Sahara ialah A Kiong. Sepertinya mereka dipertemukan nasib untuk selalu berselisih.

Sebaliknya, Sahara sangat lembut kepada Harun. Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Harun selalu menceritakan kucingnya yang berbelang tiga melahirkan tiga ekor yang berbelang tiga dan tanggal tiga kemarin. Sahara selalu sabar walaupun Harun menceritakannya setiap hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP.

Jika kami naik kelas Harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor. Aku sering memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada didalam pikirannya. Dia hanya tersenyum menanggapi tingkahku, Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa.

Pria kedelapan adalah Borek, aku tak mengerti dari mana ia mendapat pengetahuan membesarkan otot dada. Ia menarik tanganku berlari menuju belakang sekolah. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan bola tenis yang dibelah dua. Namun belum sempat aku berfikir jauh, tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku dan dengan keras menekankan bola tenis ke dadaku. Bola tenis itu alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang.

Di dadaku melingkar bulat merah kehitaman. Ketika ibuku bertanya tentang dada itu, maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila. Gila yang no.1 ialah jika orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan. Dan gila no.5 adalah gila yang aku buat dengan bola tenis itu.

Bab 10

Bodenga

Pagi itu Lintang terlambat masuk kelas. Dia tidak bisa melintas, karena seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak, menghalanginya di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisa dimintai bantuan. Dia hanya berdiri mematung, dan berbicara dengan dirinya sendiri. Buaya sebesar itu takkan mampu menyerangnya dalam jarak lima belas meter, buaya itu lamban pasti kalah langkah. 

Lintang maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham-deham, membuat bunyi-bunyian agar buaya merayap pergi. Tapi buaya itu bergeming, ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa itu. Walaupun lebih dari setengah perjalanan Lintang tak kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh itu, tak ada kata bolos dalam kamusnya.

Dalam jarak dua belas meter, Lintang hanya sendirian. Jika ada orang lain ia berani lebih frontal. Lintang tidak berani lebih dekat, buaya itu menganga dan bersuara rendah, suara dari perut yang menggetarkan. Ia diam menunggu, tak ada jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Lintang mulai frustasi, suasana sunyi senyap, yang ada hanya ia dan buaya ganas yang egois, dan intaian maut.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun