Aku bangga duduk di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa iri yaitu Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor Aziz Panelis. Terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumaidi Ahlan bin Zubair bin Awam. Ia meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan. Ada juga Kucai, sekarang ia adalah Drs.Mukharam Kucai Khairani. Ia menjadi seorang ketua fraksi di DPRD Belitong. Mahar berniat mengembalikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat.Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Aku melihat seorang pria yang sangat gagah. Ia menenteng plastik kresek belanjaan, berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Aku kenal pria ganteng itu adalah Trapani. Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau ke Jawa. Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani.
Ibu tua berwajah keras itu awalnya sangat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami. Kucai berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambulnya kacau balau. Kucai berulang kali meminta maaf pada ibu Ikal bukan pada Mahar, tapi wajahnya mengangguk-angguk menghadap ke Nur Zaman.