Mohon tunggu...
Azkiyatun Danifatussunah
Azkiyatun Danifatussunah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

You Can Get Used To It !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Novel "Laskar Pelangi"

29 Desember 2020   08:22 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku yang keluar terakhir menutup pintu itu. Tepat pada saat aku terperanjat karena mendengar seseorang memanggil namaku. Kami saling berpandangan. Salah seorang dari pasien itu jelas memanggilku. Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya.

Bab 32

Agnostik

Toko Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Di sebelahnya aku melihat toko yang bernama Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli toko. Tapi wajahnya sangat ramah dan tampaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Pria bertulang besi tadi menerima sejumlah uang. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik.

Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah memiliki cinta. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta. Aku mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling padaku sebagai cinta pertama kami. Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku menyadari bahwa seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal.

Seminggu yang lalu setelah kulemparkan naskah bulu tangkis ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan dan minum, serta kegiatan yang lainnya aku tetap membaca buku. Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang malah kuminta karena aku dapat pulang lebih awal.

Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata mendukungku. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara. Setelah membaca buku itu semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru. Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekoalh Muhammadiyah, dan Herriot.

Kemudian tes demi tesyang mendebarkan berlangsung selama berbulan-bulan. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan akhir atau wawancara dilakukan oleh seorang mantan menteri. Dan untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian rapi. Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di dalam negeri tapi di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini. Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Aku lega karena aku telah membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan Edensor.

A Kiong sempat menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu yang percaya Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun, ia tidak pernah beribadah. Ia berkelana mengamati agami demi agama dan keadilan Tuhan. Hari demi ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun. Pada usia dewasa ia setiap mendengar suara azan sering disergap perasaan sepi nan indah menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan menjatuhkan air matanya. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman.

Penerimaan cahaya itu merisaukannya adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Wanita itu adalah Sahara, katanya, telah membuat malam-malamnya gelisah. Dengan basmallah, ia menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orang tuanya, menyatakan keinginannya melamar. Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa. Mereka memperkerjakan seorang kuli, kulinya adalah Samson. Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang melahirkan anak tiga, berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal tiga. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah sebaliknya.

Lintang sekarang adalah kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang. Sekarang kecerdasan Lintang terbuang sia-sia. Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti mengaguminya. Mantan kawan sebangku ku yang sekarang menjadi kuli ternyata masih sharp! Aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun