Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang.
Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu. Ibunda guru, ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.
Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan. Aku hanya terdiam, hatiku kosong. Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo menunduk diam, matanya berkaca-kaca. Kami melepas seorang sahabat genius, salah seorang pejuang Laskar Pelangi.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak tertepi. Suasana sepi membisu. Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Saat itu aku menyadari bahwa kami sesungguhnya adalah kumpulan persaudaraan cahaya dan api. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.
Dua belas tahun kemudian
Bab 31
Zaal Batu
Maka inilah aku sekarang. Karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shif pagi, yang bekerja mulai subuh. Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21 tahun. Ia mahasiswa universitas paling bergengsi di Indonesia di kawasan Depok, jurusan psikologi. Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar dari sinar matanya.
Saat itu Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi, dari sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-loncat gembira. Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Kami sekalian pulang kampung setelah ia riset. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu. Mungkin zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu.
Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu teruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti disitu. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Suasana di situ mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya.
Profesor Yan membimbing kami menelusuri lorong menuju sebuah pintu paling ujung. Disana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelan. Dan dibangku panjang itu duduk berdua rapat-rapat, seorang ibu dan anaknya. Mereka berdua melihat kami sepintas tapi kebanyakan menunduk. Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik dalam melakukan wawancara pendahuluan dengan kedua pasien. Kemudian wawancara pun selesai Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu.