Aku tak kuasa mengatakan ini, aku menunduk lesu, sudah terbayang apa reaksi Dewi yang akan dilakukan.
"Mbak, kenapa sih? Kenapa Mbak selalu mengatakan Fahri sudah tidak ada? Mbak ini kenapa? Mbak gak suka sama aku? Mbak sirik sama aku? Karna Mbak Wita hingga kini masih sendiri? Tidak pernah punya kekasih sebaik Fahri, tidak pernah merasakan jatuh cinta, karna itu Mbak selalu bilang Fahri sudah meninggal, Mbak tuh memang jahat, lebih jahat dari Ibu!"
Kata-kata Dewi begitu menyakitkan, Dewi selalu beranggapan akupun tidak menyukainya, seandainya Dewi tau, aku seperti ini karena aku begitu sangat menyayanginya, aku merawat semenjak Dewi kecelakaan dengan Fahri tiga bulan yang lalu, tidak pernah aku berfikir untuk bergaul lagi dengan teman-temanku, apalagi untuk pacaran, waktuku tersita hanya untuk Dewi, akupun menitikan air mata, kata-kata Dewi selalu terngiang dalam ingatan. Tapi aku mengerti kecelakaan yang menewaskan Fahri, membuat kejiwaan Dewi tidak stabil.
"Dewi, bukan begitu maksud Mbak Wit, Mbak hanya ingin kamu sadar Wi, kamu.. "
Belum selesai aku menenangkan Dewi, Dewi membuka pintu kamarnya, dan memintaku untuk keluar.
"Maafin Mbak Wi..! "
Braaaaakkkk.. Dewi kembali membanting pintu kamar dengan sangat kerasnya, setelah itu aku mendengar suara Dewi berteriak memanggil nama Fahri, mengatakan aku jahat, Ibu jahat, sangat-sangat menyakitkan.
"Wit, Maafkan adikmu, jangan kau hiraukan kata-katanya!"
Ibu menghampiriku, aku duduk di kursi meja makan, nasi goreng yang aku hidangkan untuk Dewi membuatku seketika meneteskan air mata.
"Wita gak apa-apa Bu, Ibu yang seharusnya lebih sabar menghadapi sikap Dewi!"
Aku menghapus air mata, tak ingin Ibu mengetahui aku meneteskan air mata, Ibu sudah terlalu tua, sudah terlalu banyak berkorban buat Dewi, aku tidak ingin membebani Ibu.