"Mbak Wit ini kenapa sih? Seperti gak suka aku menjalin hubungan dengan Fahri, selalu mengatakan Fahri sudah tidak ada, Mbak Wit iri sama aku? Karna hingga saat ini Mbak Wit belum pernah pacaran?"
Kembali aku mengingat kata-kata Dewi yang sangat menyakitkan hati, seandainya saja Dewi tahu, bagaimana aku menyayanginya, mungkin Dewi tak akan berkata seperti itu.
Isak tangisku semakin menjadi, ada sesak yang kurasakan, ku peluk kembali guling kesayanganku, yang setia meredam tangisku, aku tidak ingin Dewi Tahu aku menangis, apalagi Ibu, karena kedua orang itu adalah segalanya dalam hidupku.
"Tok..tok.. Tok.. "
Terdengar suara pintu kamarku diketuk, aku segera menghapus air mataku, berlari ke meja rias, memastikan apakah wajahku terlihat seperti habis menangis? Aku berkaca di cermin meja rias kamar.
"Mbak Wit, Mbak Wit.. "
Benar saja suara Dewi memanggil namaku, mataku terlihat sembab, bagaimana aku harus menjelaskan ke Dewi jika dia bertanya?
"Iya sebentar Wi, Mbak lagi ganti baju!"
Aku berbohong, berharap aku bisa menghilangkan sembab pada mataku.
"Ibu ngajak makan siang bareng Mbak!"
Dewi masih mengetuk-ngetuk pintu kamarku, mungkin Dewi berfikir lama sekali aku berganti baju.