"Dewi cuma kecewa sama Ibu mbak, kenapa Ibu sepertinya selalu tidak menyukai Fahri!"
Kini Dewi membalikkan badannya ke arahku, guling yang dipeluknya menutupi sebagian wajahnya.
"Ibu tidak membenci siapapun Wi, Ibu hanya terlalu mengkhawatirkan dirimu!"
Aku menatap Dewi dengan tatapan penuh Iba, setiap kali aku memberikan pengertian masalah ini ke Dewi, kerongkonganku seperti tercekik.
"Apa yang Ibu khawatirkan dari aku Mbak Wit? Selama aku berpacaran dari SMA dulu dengan Fahri, aku bisa menjaga diri, aku tidak pernah macam-macam, Fahripun selalu ijin ke Ibu atau ke Mbak Wita setiap kali Fahri mau mengajak aku jalan!"
Isak Dewi kembali terdengar lirih, matanya yang masih sembab meneteskan air mata kembali.
"Iya Mbak Wita sangat tau siapa Fahri, dia memang laki-laki yang baik!"
Aku menarik nafas sejenak, entah harus bagaimana aku kembali menjelaskan semua ini ke Dewi.
"Lalu kalau Mbak Wita tau, Fahri memang baik, kenapa Mbak Wita tidak membantu meyakinkan Ibu agar Ibu menyukai Fahri, merestui hubunganku dengan Fahri"
Nada bicara Dewi terlihat emosi kini, sementara diruang makan, aku mendengar isak tangis Ibupun pecah, ku genggam tangan Dewi.
"Dewi, Fahri sudah tidak ada, Fahri sudah meninggal, kalau kamu sayang Fahri, kamu harus mengikhlaskan!"