“Pah, Papah, anak kita nanti harus di kasih nama Gandhi”, Mama tiba-tiba tegas menjawab.
Papa bingung, matanya masih merah nanar karena air mata yang terlalu deras, “maksudnya Mah? kenapa dengan anak kita di kandungan Mamah?”.
Ajaib, sedetik kemudian Mama tiba-tiba tenang, tangisnya mereda seperti kopling mobil yang takluk di genggaman. Mama menggandeng Papa duduk di sofa.
“Pah, Mamah tadi siang nonton berita, dan sampai sore ini Mamah masih terbius”.
“Nonton apa Mah? Terbius apa? Tadi Mamah ke dokter? Kok Papa nggak di kasih tahu Mah”, Papa nyerocos, burung beo di samping rumahpun tak kalah berisik, “bangun, bangun, Papah bangun”. Kosakata yang di ajarkan ke burung beo terbatas kalimat itu.
Jadi apapun kejadiannya, burung beo di rumah itu hanya bisa menyumbang keramaian dengan kata, “bangun, bangun, Papah bangun”. Ada ulang tahun kek, tamu berkunjung, anjing tetangga yang nyolong sandal, si beo konsisten setengah mati dengan kalimat itu.
“Bangun, bangun, Papah bangun”.
“Tadi, Mama nonton kisah Mahatma Gandhi, dia itu luar biasa Pah. Pejuang kemanusiaan yang tak pernah kenal lelah, mengorbankan banyak hal dari dirinya. Badannya kurus ceking, tapi semangatnya itu lho Pah, menginspirasi banyak orang”.
“Papa masih nggak ngerti Mah”.
Mama menoleh ke Papa dengan mendelik, “bagian mana yang Papa nggak ngerti, kan sudah Mama bilang, Gandhi itu orang baik, Gandhi itu orang hebat. Karena itu kalau anak kita lahir, harus di kasih nama Gandhi”. Mama tak ubahnya wanita kebanyakan yang ketika mengalami kehamilan maka sensitivitasnya terhadap banyak hal meningkat tanpa terkendali.
“Maksudnya Mah?”