Sita menggigil, giginya bergemeretak, entah karena dinginnya pagi atau karena dia terlalu gugup.
Keberanian ala pejantan tanggung tiba-tiba membuncah Reikhi, “tenang aja, kamu nggak usah gugup, kan ada aku”. Reikhi cukup percaya diri, tak lupa menyembulkan senyum padahal giginya tak berjejer sempurna.
Sita menyahut lirih, “apaan sih, gue kedinginan kaliikk, nih kan masih pagi banget”.
“Oohh, ya”, Reikhi membalas kecut, lebih kecut dari jeruk nipis.
Seminggu ditempa tugas-tugas aneh bin ajaib. Bukan ospek namanya kalau tidak penuh dengan keajaiban. Salah satunya adalah tugas kelompok menguliti kulit bawang merah sebanyak 2 ember penuh. Kelompok yang selesai paling akhir dapat hukuman mencuci kaos kaki peserta ospek sejumlah 60 pasang. Mencuci TANPA MESIN, manual.
Seolah disergap kesedihan tiba-tiba, tugas ini membuat air mata menderas.
“Uuhh, oohh, kenapa kesedihan ini terjadi”, gelak Reikhi sambil meneteskan air mata.
“Sinting lue, hahaha. Ayo cepetan selesain daripada ntar nyuci kaos kaki segambreng”, Sita menimpali dengan air mata yang tak kalah deras.
Ospek menjejakkan kesakitan fisik dan mental pada mahasiswa baru ini. Jejak kesakitan ini seringkali terlalu membekas di mental, bekas yang sama sekali tak indah. Celakanya jsutru seringkali menjadi justifikasi untuk melakukan pembalasan lebih dahsyat di tahun berikutnya. Pelakunya? Ya mahasiswa baru saat ini yang tahun depan akan menjadi senior.
Senior dengan kebanggaan ‘berhak’ memberi kesakitan untuk mahasiswa baru.
“Kesakitan untuk membentuk mental”, kilah para mahasiswa senior.