Di Indonesia, kegiatan CSR baru marak dilakukan pada beberapa tahun belakangan, dan kegiatan itu dilaksanakan atas motif kemurahan hati (charity) dan kedermawanan (philanthropy) yang bersifat voluntary. Namun pada saat DPR mengulirkan wacana CSR dalam pembahasan RUUPT, maka kalangan dunia usaha mulai terusik karena paradigma CSR yang semula bersifat voluntary bergeser menjadi mandatory, sehinga penolakan dari berbagai kalangan dunia termasuk KADIN dengan beberapa asosiasi dunia usaha melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan Pasal 74 UUPT dengan gugatan Nomor 53/PUU-VI/2008. Gugatannya sendiri didasarkan pada ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. berdasarkan putusan MK tanggal 15 Arip 2009 menyatakan menolak gugatan tersebut.
Â
Bila dilihat dalam risalah proses lahirnya terminologi Pasal 1 angka 3 UUPT, terjadinya perdepadan yang sangat alot antar fraksi maupun dengan pemerintah, akhirnya diselesaikan melalui lobby pada masa sidang IV tahun sidang 2006-2007 dalam rapat panitia kerja Komisi VI DPR RI. Dalam risalah tersebut, secara jelas terungkap bahwa RUUPT yang diberikan oleh pemerintah ke DPR tidak ditemukan satu pasal pun yang berkaitan dengan CSR. Atas inisiatif Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Â diusulkanlah dalam RUUPT juga dimasukkan tentang CSR agar sejalan dengan landasan filosofis demokrasi ekonomi yaitu Pasal 33 ayat (4) UUD. Atas dasar filosofi tersebut dapat ditarik benang merah mengapa hanya perseroan yang bergerakdan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja yang diwajibkan menerapkan CSR atau TJSL yaitu sebagai berikut :
Â
Berdasarkan prinsip keberlanjutan (sustainability), dimana prinsip ini bermakna bahwa pengelolaan sumber daya alam ini tidak hanya untuk dinikmati oleh satu generasi atau generasi tertentu saja, tetapi pengelolaannya harus bisa diwariskan dan dinikmati oleh generasi akan datang.
Â
Berdasarkan prinsip berwawasan lingkungan, dimana prinsip ini bermakna bahwa dalam pembangunan perekonomian nasional aspek lingkungan harus menjadi perhatian setiap pelaku usaha, sehingga setiap aktivitas usaha dapat diminimalisir dampaknya terhadap lingkungan.
Â
Namun bila dilihat dari law making proces-nya, konsep mengenai CSR dalam UUPT tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan LSM dengan alasan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dan pada sisi lain fakta menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya, seperti  konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, dan sebagainya.
Â
Di samping itu, perkembangan global menunjukkan adanya perubahan pardigma perusahaan, yaitu kalau selama ini perusahaan hanya dipandang sebagai instrumen ekonomi, namun sejalan dengan tuntutan global perusahaan harus dipandang sebagai institusi sosial. Dan perusahaan tidak hanya mengakomodasi kepentingan shareholder, tetapi juga kepentingan stakeholder. Oleh karena itu, pengelolaan perusahaan tidak bisa semata-mata mengedepankan keuntungan melainkan mengedepankan 3BL.