“Secepatnya,” jawab raja.
“Kenapa kita tidak melawan?”
“Bukan tidak, tapi belum, kau pun akan lanjutkan, Nak,” ucap sang raja sambil tersenyum.
Malam itu, keluar berbagai pertanyaan yang selalu ia pikirkan setiap kali berpapasan dengan tentara Belanda. Raja selalu memperingatkan agar ia berhati-hati dan tidak mendekati orang-orang Belanda. Terlebih jika ia tak sengaja berpapasan dengan beberapa orang Belanda yang menyakiti masyarakat, hatinya lirih ingin mengancam namun apa daya seorang gadis kecil itu.
Beranjak dewasa, Famajjah semakin terbuka dengan dunia luar. Bukan berarti saat kecil ia tidak mengenal dunia, namun di usianya kini pikirannya lebih luas dan kritis. Baik dari segi agama maupun sosial yang telah ia miliki.
Karena usianya yang sudah mulai matang, Famajjah pun disandingkan dengan seorang penyiar agama di Luwu, H. Muhammad Daud. Dia merupakan anak dari teman dagang sang ayah. Karena menikah dengan keluarga kerajaan, dan termasuk salah satu penyiar agama yang pernah bermukim di Mekah, beliau diangkat menjadi imam masjid istana kerajaan di sana. Sejak saat itu pula, Famajjah mendapat gelar kebangsawanan dan mendapat gelar Opu Daeng Risadju yang kerap dikenal saat ini.
“Sennang moki’ ga?” tanya salah seorang inangnya.
“Emm, na sennang,” jawab Opu sambil tersenyum.
“Jah, kali ini kau memangku tanggung jawab sebagai bangsawan, jaga diri baik-baik, pertahanken apa-apa yang telah kita miliki dan perjuangken apa yang telah direbut,” pesan sang raja.
“Iya, Ambo,” jawabnya.
Tidak lama kemudian, keluarga ini pindah ke Parepare. Sebuah kota pelabuhan lain di Sulawesi Selatan yang menghadap Selat Makassar. Di sini, suaminya, Muhammad Daud menyiarkan agama Islam dan Opu Daeng Risadju ikut bersama raja untuk mengamati para pedagang yang datang di pelabuhan. Dari sana Opu bertemu dengan H. Muhammad Yahya.