“Pulanglah, mari kita rencanakan pergerakan esok hari,”
“Baik, Indok.”
Keesokan hari, mereka semua berkumpul kembali di tempat Risadju. Mereka berdiskusi tentang tindakan apa yang akan dilakukan terlebih dahulu. Melihat tentara Belanda yang terus berkeliaran di sekeliling kota, mereka berpikir untuk menyingkirkan itu terlebih dahulu. Setidaknya pemerintah seharusnya memerhatikan kondisi mereka jika memang pemerintah menganggap mereka sebagai rakyat dan semua sepakat untuk itu.
“Bagaimana dengan ultimatum?” ujar Abdul Kadir, putranya.
“Mungkin bisa dicoba, buatlah. Siapkan, Mudehang,” ucap Risadju.
“Baik, Indok,”
“Semua persiapkan masing-masing, jika usaha ini tidak berhasil maka kita turun,” ucap Risadju.
Ultimatum diberikan kepada tentara Belanda agar mereka segera kembali ke tangsinya dan tidak berkeliaran di kota. Namun nihil, usaha itu tidak mebuahkan hasil. Baik pemerintah maupun tentara Belanda tidak menggubris ultimatum tersebut. Kekesalan membanjiri emosi masyarakat. Bahkan benar saja rencana Risadju. Mereka semua turun dengan semua strategi yang telah disusun.
“Jangan lupa untuk melindungi sesama,” pesan Risadju.
“Baik indok, hati-hati,” ucap mereka kepada Risadju karena Risadju lekas mengungsi ke Belopa, daerah yang menjadi tempat tinggalnya.
“Kalian tidak perlu bersusah payah melawan kami. Pada akhirnya kalian akan tetap tunduk dan mengikuti segala perintah kami,” ucap salah satu tentara Belanda.