“Kau tidak tahu malu? Kerajaan dalam ancaman saat ini,” ucap raja.
“Yang aku lakukan adalah perjuangan, kau menganggap ini ancaman berarti kau berada di pihak Belanda. Perjuanganku membela keadilan dan menjalankan perintah Tuhan, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Kau tidak sadar dengan itu?” jelas Risadju.
Seketika semua orang menoleh kepada raja. Namun, jelas sokongan pihak kerajaan lebih kuat dibanding Risadju. Dukungan sang raja tak terbantahkan untuk menghentikan Risadju. Hingga pada akhirnya, pemangku adat pun menyetujui pelepasan gelar kebangsawanan Opu Daeng Risadju. Risadju terlihat sangat tenang dan menerima dengan senang hati. Sikap itu yang membuat raja tidak pernah diam dan terus mengawasi pergerakannya.
Saat pulang, Risadju ditemani suami dan pamannya. Di sepanjang jalan, masyarakat tetap menyemangati dan mendukung Risadju. Bagi mereka, Risadju seperti ibu yang sangat dijunjung dan dijaga. Orang-orang menyebutnya menjadi Indok/Ibung Risadju seperti kebanyakan masyarakat, namun mereka jelas memberi panggilan itu lebih dari sekedar panggilan.
Setibanya di rumah…
“Kukira firasatku kali ini benar,” ucap Daud.
“Kau tidak perlu khawatir soal itu, aku tetap menjadi diriku,” tenang Risadju.
“Tapi mengapa kau tidak sebaiknya berhenti saja, Dek?” tanya Daud.
“Aku tahu kau khawatir, aku pun sudah memikirkan hal ini. Sebaiknya kau tidak bersamaku, kau akan kesulitan melewati ini semua. Tidak perlu merasa resah lagi, aku percaya ini lebih baik,” ucap Risadju.
“Tapi aku tidak mau,” jawab Daud.
“Kau akan diancam pemerintah, kau akan menerima tekanan lebih jika bersamaku, lebih baik kau bersama yang lain yang akan membuatmu aman, aku siap untuk itu,” lanjut Risadju.