Siti tidak melarang keinginan sahabatnya itu. Biar bagaimanapun Risadju memang orang yang penuh tekad, tak bisa dihalang jika sudah bulat. Sejak saat itu, Risadju pergi berpindah-pindah tempat dari satu desa ke desa lain, dari satu daerah ke daerah lain. Dalam perjalannya itu, ia menanamkan pengaruhnya dan mendirikan banyak cabang PSII secara diam-diam seperti di Makassar, Tanete, Barru, Parepare, Majene, Reppang Sidenreng, Bulukumba, dan Bantaeng.
Hingga pada akhirnya tahun 1945 mereka sadar bahwa Belanda mungkin akan kembali. Indonesia akan kembali terjajah oleh sekutu. Oleh karena itu, setelah memasuki masa revolusi Risadju kembali berpikir untuk menggerakkan para pemuda lebih aktif. Ia menetap di Belopa sat itu. Dengan rencananya ia berpikir akan membantu membangun perlawanan meskipun dirinya mungkin tidak akan ada lama lagi, setidaknya jiwanya tetap tertanam di jiwa para pemuda.
“Siti, putra kau, panggillah. Aku akan mengumpulkan kembali PSII,” perintah Risadju.
“Kenapa?” tanya Siti terheran.
“Belanda mungkin akan kembali, kita harus bersiap untuk yang terburuk,” ucapnya.
Tak lama, putra Siti datang bersama teman-temannya. “Ada apa, Indok?”
“Kabarkan kepada semua pemuda dan anggota PSII, petang nanti kita berkumpul di rumah,”
“Siap, Indok!”
Petang itu semua orang berkumpul di rumah Risadju. Semua tampak serius dan bersemangat untuk bergerak. Wajah-wajah baru tentu tidaklah sedikit, namun mereka sepakat untuk mengikuti pergerakan ini. Pergerakan yang akan memicu banyak strategi dan tenaga yang ekstra untuk melawan penjajah. Dan pengumuman pun dimulai.
“Ingat semua, utama bagi pemuda, kemungkinan besar NICA akan kembali ke tanah air. Kita harus bersatu dan bersiap untuk kemungkinan terburuk,” seru Risadju.
“Apa yang harus kita persiapkan, Indok?” tanya salah seorang pemuda.