Mohon tunggu...
Novia Kusuma Dwiyanti
Novia Kusuma Dwiyanti Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Student who will be success

LN later

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berjuang Kala Senja

17 November 2021   21:00 Diperbarui: 17 November 2021   21:08 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            “Kau, berapa kali harus kita peringatkan?” tanya Raja.

            “Dan berapa kali harus kujawab?” jawab Risadju.

            “Kali ini kau harus benar-benar mendapat hukuman yang sepadan,” ucap Raja.

            Oleh anggota Dewan Adat yang pro-Belanda, Risadju dihadapkan pada pengadilan adat dan dianggap telah melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang). Anggota dewan yang pro-Belanda menuntut agar Risadju dijatuhi hukuman dibuang atau diselong. Namun kembali Opu Balirante, alias pamannya, menolak tuntutan tersebut.

            “Aku menolak tuntutan itu, biar bagaimanapun kegiatan politik bukanlah suatu hal yang benar-benar terlarang. Semua berhak atas itu. Hukum apa yang melarang adanya kegiatan berpolitik? Kalian harus realistis,” ucap Opu Balirante kepada Dewan Adat.

Sebagian besar anggota dewan setuju dengan pendapat Balirante. Nampaknya keputusan itu hanya berasal dari satu pihak yang berusaha menghentikan Risadju. Pada akhirnya Risadju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan. Balirante sedikit tenang meskipun Risadju tetap dihukum.

Hukuman ini dijatuhkan pada tahun 1934 yang berlanjut hingga 1935 di mana Jepang datang ke Indonesia. Sebagai orang hukuman, Risadju harus bekerja di luar penjara seperti orang-orang hukuman lainnya karena tidak memiliki hak istimewa sebagaimana berlaku bagi bangsawan. Haknya telah dicabut bersamaan dengan pencopotan gelar kebangsawannya. Selama dipenjara, Risadju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo. Sungguh berat memang bagi wanita kelahiran 1988 itu.

            Selama pemerintahan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Risadju lakukan. Kegiatan PSII pun dihentikan karena larangan dari pemerintahan Jepang. Sehari-hari hanya berkeliling melihat perkebunan, pasar, terkadang bersembunyi karena sesekali dia datang ke rumah perkumpulan anggota PSII. Dia sedikit bersyukur karena tidak ada Belanda dan Jepang saat itu di daerahnya hanya seperti mengawasi saja.

            “Indok, melokki lao tega?” tanya masyarakat sekitar.

            “Aku mau berkeliling saja, sekalian memeriksa tangkapan nelayan,” ujarnya.

            “Hati-hati yo, Indok,” titip mereka.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun