Mohon tunggu...
Novia Kusuma Dwiyanti
Novia Kusuma Dwiyanti Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Student who will be success

LN later

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berjuang Kala Senja

17 November 2021   21:00 Diperbarui: 17 November 2021   21:08 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Siang ini tidak ada setitik pun awan di langit. Matahari menyinari angkasa dengan leluasa di tengah birunya lautan atas. Sebuah tangan kecil mencoba meraih cahaya itu agar mendekat ke hamparan laut di depannya. Sambil duduk sendiri di atas bangunan kayu, ditemani desiran angin dari tepi pantai, ia melamun dalam diam. Sesekali tersenyum setiap ombak terlihat menyapanya.

            Famajjah.  Gadis kecil yang sangat anggun. Setiap hari selalu tersenyum, membuat seisi kerajaan selalu tenang tiap kali melihatnya. Matanya yang elok dan sikapnya yang ramah telah diturunkan dari ibunya yang tak kalah menawan, Opu Daeng Mawellu. Berani dan disiplin, sifat yang tak hilang ia dapatkan dari ayahnya, Muhammad Abdullah to Barengseng.

            Keluarga bangsawan ini dikenal sangat religius terutama dengan nuansa islaminya. Setiap minggu, raja selalu menemui masyarakat sekitar sambil membagikan kebutuhan pokok yang diperlukan. Bahkan beliau selalu salat berjamaah di masjid-masjid yang ada di sekitar kerajaan. Keramahannya ini membuat rakyat sangat mencintai mereka. Tak hayal, setiap pagi berjejer ikan hasil tangkapan para nelayan yang sengaja diberikan untuk raja sebagai bentuk rasa terima kasih atas jasanya selama ini.

            Meskipun berasal dari keluarga kerajaan, Famajjah tidak terikat dengan aturan yang begitu ketat. Selagi ia ingat waktu mengaji dan selalu menjaga diri, ayahnya tak terlalu mempermasalahkan hal lain. Bahkan ia selalu bermain dengan anak-anak di pesisir pantai. Ya,  para inang (pengasuh) tetap mengawasi dia tiap kali bepergian. Tapi selama tidak mengganggunya untuk berkegiatan, ia tak merasa keberatan dengan hal itu, karena ia sadar itu pun untuk kebaikannya.

Allahu akbar… Allahu akbar…

            “Majjah, kita pulang dulu ya,” ucap Siti, salah satu temannya.

            “Iya, kalau tidak, indoku akan mengadu ke pak ustaz,” ucap yang lainnya.

            “Iya, aku pun pulang dulu,” jawabnya.

            Sejak kecil, Famajjah tidak pernah mendapat pendidikan formal seperti sekolah Belanda. Ia selalu dituntun untuk mempelajari ilmu agama dan budaya. Setiap azan asar berkumandang ia harus bersiap mengaji bersama ulama di sana. Tidak seperti kebanyakan anak, Famajjah cepat belajar Al-Qur’an. Famajjah memang seorang yang buta huruf, tapi di usia remaja ia telah pandai mempelajari berbagai kitab yang mengandung ilmu fiqih, nahwu, sharaf dan balaghah yang di mana kitab-kitab tersebut ditulis langsung oleh Habib Sulaiman atau Datuk Pattimang, seorang tokoh penyiar agama Islam di Sulawesi Selatan. Semangatnya ini menuntun ia untuk berkembang dalam lingkup agama.

            Di samping nilai agama, ia pun mempelajari tentang budaya. Bagaimana kehidupan kerajaan sebelum dan sesudah ia lahir, bagaimana kedatangan Belanda ke tanah Luwu, banyak hal yang selalu ia tanyakan. Apalagi tentang Kerajaan Luwu, tempat tinggalnya, yang termasuk salah satu kerajaan yang menentang pemerintahan Belanda di masa ayahnya memerintah. Meskipun demikian, hal itu terlihat  ketika ia beranjak dewasa.

            “Ambo, NICA bakal sampai kapan ada di sini?” tanya Famajjah kepada ayahnya.

            “Secepatnya,” jawab raja.

            “Kenapa kita tidak melawan?”

            “Bukan tidak, tapi belum, kau pun akan lanjutkan, Nak,” ucap sang raja sambil tersenyum.

            Malam itu, keluar berbagai pertanyaan yang selalu ia pikirkan setiap kali berpapasan dengan tentara Belanda. Raja selalu memperingatkan agar ia berhati-hati dan tidak mendekati orang-orang Belanda. Terlebih jika ia tak sengaja berpapasan dengan beberapa orang Belanda yang menyakiti masyarakat, hatinya lirih ingin mengancam namun apa daya seorang gadis kecil itu.

            Beranjak dewasa, Famajjah semakin terbuka dengan dunia luar. Bukan berarti saat kecil ia tidak mengenal dunia, namun di usianya kini pikirannya lebih luas dan kritis. Baik dari segi agama maupun sosial yang telah ia miliki.

            Karena usianya yang sudah mulai matang, Famajjah pun disandingkan dengan  seorang penyiar agama di Luwu, H. Muhammad Daud. Dia merupakan anak dari teman dagang sang ayah. Karena menikah dengan keluarga kerajaan, dan termasuk salah satu penyiar agama yang pernah bermukim di Mekah, beliau diangkat menjadi imam  masjid istana kerajaan di sana. Sejak saat itu pula, Famajjah mendapat gelar kebangsawanan dan mendapat gelar Opu Daeng Risadju yang kerap dikenal saat ini.

            “Sennang moki’ ga?” tanya salah seorang inangnya.

            “Emm, na sennang,” jawab Opu sambil tersenyum.

            “Jah, kali ini kau memangku tanggung jawab sebagai bangsawan, jaga diri baik-baik, pertahanken apa-apa yang telah kita miliki dan perjuangken apa yang telah direbut,” pesan sang raja.

            “Iya, Ambo,” jawabnya.

            Tidak lama kemudian, keluarga ini pindah ke Parepare. Sebuah kota pelabuhan lain di Sulawesi Selatan yang menghadap Selat Makassar. Di sini, suaminya, Muhammad Daud menyiarkan agama Islam dan Opu Daeng Risadju ikut bersama raja untuk mengamati para pedagang yang datang di pelabuhan. Dari sana Opu bertemu dengan H. Muhammad Yahya.

            “Assalamu’alaikum, Opu Risadju, senang bertemu dengan Anda,” sapa Yahya.

            “Wa’alaikumussalam, senang bertemu denganmu,” jawab Opu.

            “Dia ini Yahya, pedagang yang sudah lama tinggal di Jawa,” ucap sang raja.

            Raja mengenal Yahya sejak ia aktif membantu perekonomian Kerajaan Luwu. Sebagai pedagang yang telah lama tinggal di Jawa, ia mahir dalam berniaga dan paham betul bagaimana mengoordinir pasokan dagangan di masa pemerintahan Belanda. Tak hayal Opu pun bertanya-tanya tentang dirinya yang sangat aktif dalam bekerja.

            “Selama di Jawa, apa saja yang kau lakukan sampai kau sangat aktif bekerja,” tanya Opu dengan heran.

            “Saat ini, di Jawa banyak yang mulai membentuk organisasi untuk membalikkan keadaan tanah air, Opu,” jawabnya.

            “Untuk melawan NICA?”

            “Ya, kita tidak akan lepas dari NICA jika tidak mencoba untuk bersatu. Oleh karena itu, saya ikut Partai Syarekat Islam Indonesia atau PSII di Jawa. Dan ketika kembali ke sini, begitu antusiasnya pemuda lain untuk bergabung, sehingga saya mendirikan PSII cabang di sini. Semangat ini yang membuat saya terus aktif baik dalam berdagang juga berkegiatan,” jelasnya.

            Opu Daeng Risaju sangat tertarik ketika mendengar hal tersebut. Terlebih, ini membuat keinginannya untuk melawan NICA semakin terarahkan. Ia bergabung dengan PSII di Parepare. Mempelajari banyak hal tentang politik dan propaganda yang telah terjadi. Saking senangnya, dia mulai berpikir untuk mendirikan organisasi ini di Palopo. Opu memikirkan strategi yang akan dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat Luwu agar bergabung dengan PSII. Tak heran selama di Parepare dia sangat bersemangat dan penuh tanya.

             Beberapa lama kemudian mereka kembali ke Palopo. Opu Risadju dengan giat mempropagandakan cita-cita PSII di daerah Luwu. Dia memperkenalkan PSII mulai dari keluarga, kerabat, teman, sahabat-sahabatnya dan perlahan tersebar ke masyarakat Luwu. Sontak mereka tertarik dan satu persatu mulai mendaftarkan diri untuk bergabung. Perekrutan ini terus berjalan hingga akhirnya pada 14 Januari 1930 Risadju berhasil mendirikan PSII Palopo.

“Anggota kita sudah banyak, kita harus meresmikan tongkat ini,” sahut Risadju.

“Ya, mari kita kumpulkan semua anggota dan bentuk organisasi ini sebagaimana mestinya,” lanjut suaminya.

Furani manre?” tanya sahabatnya, Siti.

“Belum, aku harus menyiapkan ini dulu,” jawab Risadju.

Opu Risadju memiliki strategi yang unik dalam memperluas keanggotaan PSII di sana, yaitu dengan menyebar kartu. Kartu disebarkan setiap kali menarik perhatian orang-orang. Siapa-siapa yang memiliki kartu berlafaz kalimat syahadat, maka ia menjadi anggota PSII. Kalimat ini sekaligus menanamkan ideologi pada diri anggota bahwa mereka beragama Islam. Dengan cara seperti ini, Opu Daeng Risadju mendapat dukungan yang sangat besar dari rakyat.

“Kau terlalu bersemangat sampai lupa makan? Makanlah dahulu, biar kusiapkan barang-barang itu,” ucap Siti.

“Benar ucap Siti tu, makanlah dahulu, kesehatan lebih utama to,” ucap suaminya

“Iya, marilah makan bersama,” ajak Risadju.

Hari itu sangat bersejarah karena mulai tergeraknya semangat untuk bersatu di tanah Luwu dan sejalan dengan keinginan lepas dari tangan para penjajah. Peresmian PSII Palopo disertai rapat akbar di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau). Meskipun ini pertama kalinya ia mendirikan organisasi, Risadju sangat apik dalam melakukan persiapan. Rapat dihadiri oleh pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat dan masyarakat umum. Sangat ramai dan begitu disambut bahagia.

Dalam rapat tersebut Opu Daeng Risadju diresmikan sebagai ketua. Sedangkan saudaranya, Mudehang, terpilih sebagai sekretaris. Mudehang dipilih karena dia tamatan sekolah dasar lima tahun yang bisa membaca dan menulis. Ini sangat membantu Risadju karena keterampilannya yang lebih dari kerabat-kerabat lain. Rapat diakhiri dengan sorak sorai dukungan masyarakat terhadap PSII. Sang raja sekaligus ayahnya bangga atas langkah putrinya tersebut, beliau senantiasa mendukungnya meskipun tetap dengan amanatnya agar Risadju tidak begitu sembrono terhadap pemerintahan Belanda.

Setelah PSII cabang Palopo berdiri, tokoh masyarakat Malangke mengajak Opu Daeng Risadju membentuk ranting di sana. Reaksi masyarakat di sana sangat antusias dan berharap Opu dapat mengabulkan keinginannya. Sebagai pendiri, siapa yang  mau kehilangan kesempatan untuk memperluas kekuatannya? Opu Daeng Risadju pun pergi memenuhi keinginan masyarakat Malangke. ‘Ini akan membuat NICA semakin terpancing, aku akan membuktikan bahwa kita tidak akan terus berdiam diri,’ ucap Risadju dalam hati.

Benar saja dugaannya, meskipun Risadju berjuang dengan landasan agama, Belanda tetap mengawasinya. Di Malangke, kontrolir Belanda yang berada di Masamba merasa terusik dengan pergerakan Risadju. Dia menuduh Risadju telah menghasut rakyat dan melakukan tindakan provokatif. Risadju pun diadili dan ini pun membuat keluarga kerajaan merasa kecewa dengan tindakannya. Akhirnya Opu Daeng Risadju ditahan selama 12 bulan penjara.

12 bulan kemudian

            Selepasnya Opu Risadju dari penjara, tidak membuat semangat perjuangannya padam. Opu kembali aktif dalam PSII. Pada tanggal 1 Maret 1932, dia meresmikan PSII ranting Malili bersama suaminya. Setelah itu, mereka pergi menyusuri pantai timur Teluk Bone. Ketika sampai di distrik Patampanua, mereka ditangkap untuk dibawa kembali ke Palopo atas perintah kolonial Belanda. Oleh NICA, Opu Daeng Risadju dianggap sebagai orang yang berbahaya dan perlu diawasi.

            “Kau tidak ada mendengar perintah untuk menghentikan semua ini?” ucap salah seorang tentara NICA.

            “Aku tidak ada urusan dengan manusia kotor seperti kalian semua,” tegas Risadju.

            “Tangkap saja selama kalian puas, perjuanganku dan saudara-saudaraku tidak akan pernah berhenti hanya karena ancaman dan permainan kalian terhadap negeri kami,” lanjutnya.

            Tangguh. Begitulah segala tindakan dan langkah-langkah perjuangannya. Dari distrik Patampanua, Risadju bersama suaminya dibawa ke Palopo melalui jalan laut dengan pengawalan yang cukup ketat. Ketika dibawa, mereka diborgol karena dianggap membahayakan. Belanda seakan ketar-ketir melihat perjuangan Risadju yang menggerakkan sorak rakyat. Bergerak sedikit, ambil  pasukan, waspada, seperti dihalau bom besar yang akan meledak di depannya. Tindakan Belanda tersebut menimbulkan banyak protes termasuk dari kalangan keluarganya yang juga menjadi pejabat pemerintahan Kerajaan Luwu, yaitu Opu Balirante.

            “Yang Mulia, ini sudah terlalu melewati batas, biar bagaimanapun, Risadju tetaplah keluarga bangsawan, apa kalian sudah gila?” tanya Opu Balirante.

            “Balirante, siapa pun yang telah melanggar aturan dan melenceng dari sikapnya apalagi sebagai bangsawan, pantas mendapat hal itu,” ucap pihak kerajaan.

            Pemerintah kerajaan saat itu telah berganti, bukan lagi ayah Risadju yang menjadi raja. Sempat bingung untuk membantu melepas sang keponakan karena hal tersebut. Namun pada akhirnya karena Balirante sendiri merupakan tokoh penting dalam pemerintahan, dia memanfaatkan momen itu. Dia pergi mencari sang pemangku adat untuk protes dan mencari jalan keluar

            “Mano Opu?!” teriak Balirante sesampainya di istana.

            “Ada apa kau tiba-tiba datang dengan berteriak seperti itu?” tanya seorang penjaga istana.

            “Aku butuh Opu sekarang juga!!!” tegas Balirante.

            “Opu di dalam, dia sedang istirahat,” jawab penjaga itu.

            Balirante pun masuk ke dalam ruangan dan mengetuk pintu kediaman pemangku adat,

            “Hukkai pintune!! Opu!!” teriaknya lagi.

            “Aga? Ada apa Balirante?” tanya sang pemangku adat.

            “Ada apa? Setelah semua kejadian ini kau masih bertanya ada apa? Segera cabut hukuman yang diturunkan kepada Risadju, aku menentang keputusan itu!” ucap Balirante.

            “Tindakannya membahayakan kerajaan, kau tahu? Berpikir jernihlah, Rante,” jawabnya.

            “Sungguh, kau sudah termakan bujukan para anjing liar NICA, kau bahkan melupakan rakyat dan keluargamu sendiri,” keluh Balirante.

            “Hei, apa maksudmu?!” bantah pemangku adat.

            “Tujuanku masih berada dalam pemerintahan ini yaitu untuk memastikan keamanan rakyat dan seluruh keadilan, termasuk bagi keluargaku sendiri. Jika pemerintah berjalan untuk melenceng dari tujuanku, aku tidak akan segan-segan mundur dari kedudukan ini. Aku tidak akan pernah sudi menjadi babu dari anjing liar yang senang menjilat,” jelas dia.

            “Bagaimanapun kerajaan akan tetap membuatmu ada di posisi ini, jangan egois, Rante.”

            “Egois? Kau lihat siapa yang egois?”

           Tindakan Belanda itu dianggap menghina derajat kebangsawanan yang menempel pada diri Daeng Risadju. Opu Balirante memprotes kepada pemangku adat Kerajaan Luwu dan pemerintah kolonial Belanda dan mengancam akan mengundurkan diri. Meskipun sedikit membuat kericuhan, dia yakin dengan usahanya itu. Ancaman tersebut ternyata berhasil meluluhkan pihak kerajaan dan pemerintah Belanda. Akhirnya Opu Daeng Risadju pun dilepaskan dan tidak jadi ditahan Belanda..

            Selepas kejadian tersebut, Opu Daeng Risadju berterima kasih kepada Balirante atas pembelaannya. Dia merasa berhutang budi kepada Balirante dan berjanji akan memberikan balasan terbaik dalam melawan kondisi ini. Balirante cukup senang dengan responnya, namun dia tetap khawatir, terlebih mengingat pihak keluarga dan kerajaan yang terus menekan Risadju untuk menghentikan kegiatannya.

            Pembelaan yang dilakukan Opu Balirante tidak meluluhkan semangat perjuangan Opu Daeng Risadju dalam menyebarkan PSII. Opu Risadju semakin aktif melakukan kegiatan politik. Dan jelas, aktifitas ini tidak disenangi oleh pemerintah Kerajaan Luwu. Oleh pihak kerajaan, Opu Daeng Risadju sebagai seorang bangsawan dilarang melakukan kegiatan politik yang dapat mengganggu hubungan antara Belanda dengan Kerajaan Luwu. Karena pada saat itu, Kerajaan Luwu sudah terikat oleh Korte Verklaring (suatu perjanjian yang telah ditandatangani bersama pihak kolonial Belanda). Perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan usaha Belanda untuk mengendalikan Kerajaan Luwu. Misalkan pengangkatan dan pemilihan raja harus dengan sepengetahuan dan sepersetujuan dari pemerintah kolonial Belanda.

“Kerajaan itu hanya terbelenggu,” sedih Risadju.

“Mungkin mereka punya alasan tersendiri,” ucap suaminya.

“Alasan yang hanya menguntungkan diri sendiri,” lanjut Risadju.

“Kenapa kau tak mencoba berhenti untuk rehat sejenak?” tanya Daud.

“Kau menyuruhku untuk berhenti? Kau lupa tujuan utama kita untuk apa? Kalau kita berhenti, Belanda akan semakin senang menginjak kita!” tegas Risadju.

“Tapi kau harus memikirkan posisimu saat ini, kau tidak lelah menunggu ketidakpastian seperti ini?” tanya Daud.

“Aku tidak menunggu, aku berjuang untuk ini. Kenapa kau membicarakan hal seperti ini? Kau tidak tahu? Ini sangat menyinggung hati, kau tidak seperti biasanya mendukungku,” sahut Risadju.

         Kala itu, suasana rumahnya sangat sepi beraduk canggung. Kekhawatiran Daud terhadap Risadju tidak mendapat respon yang baik. Pikirannya sangat kacau, ia pun bahkan memiliki firasat buruk setelah kejadian ini. Risadju yang tengah terdiam seolah berpikir keras untuk lepas dari semua, membuat Daud merasa dengan secangkir teh akan mencairkan suasananya.

“Maafkan aku, minumlah ini. Kau telah berjuang kau harus tetap kuat dan sehat,” ucap Daud.

Tiba-tiba…

            “Mana Opu Risadju?! Risadju!!!” teriak para penjaga kerajaan datang mencari Opu.

            “Ada apa ini?” sahut Daud.

            “Biar, biarkan mereka,” tenang Risadju.

            “Kalian tidak perlu lelah-lelah datang kemari untuk membawaku, aku memang akan pergi ke sana,” ucap Risadju kepada para penjaga.

            “Raja menunggu Anda datang sekarang juga!

            Risadju dibawa para pihak kerajaan menghadap raja. Meskipun Risadju sudah mengucapkan bahwa tidak perlu memaksa karena dirinya bisa berjalan sendiri, para penjaga itu tetap mencengkeram lengannya seolah sosok wanita paruh baya itu akan kabur. Hingga akhirnya dia sampai di kerajaan dan disambut olokan oleh seisi kerajaan. Opu Daeng Balirante melihatnya tidak tega. Risadju hanya tersenyum kecil saat menoleh kepadanya. Balirante seolah tak berdaya melihat kejadian itu.

            “Berapa kali kau kuperingatkan, hentikan semua kegiatanmu itu, Risadju!” perintah sang raja.

            “Aku tidak akan menghentikan perjuanganku,” teguh Risadju.

            “Kau tidak tahu malu? Kerajaan dalam ancaman saat ini,” ucap raja.

            “Yang aku lakukan adalah perjuangan, kau menganggap ini ancaman berarti kau berada di pihak Belanda. Perjuanganku membela keadilan dan menjalankan perintah Tuhan, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Kau tidak sadar dengan itu?” jelas Risadju.

            Seketika semua orang menoleh kepada raja. Namun, jelas sokongan pihak kerajaan lebih kuat dibanding Risadju. Dukungan sang raja tak terbantahkan untuk menghentikan Risadju. Hingga pada akhirnya, pemangku adat pun menyetujui pelepasan gelar kebangsawanan Opu Daeng Risadju. Risadju terlihat sangat tenang dan menerima dengan senang hati. Sikap itu yang membuat raja tidak pernah diam dan terus mengawasi pergerakannya.

            Saat pulang, Risadju ditemani suami dan pamannya. Di sepanjang jalan, masyarakat tetap menyemangati dan mendukung Risadju. Bagi mereka, Risadju seperti ibu yang sangat dijunjung dan dijaga. Orang-orang menyebutnya menjadi Indok/Ibung Risadju seperti kebanyakan masyarakat, namun mereka jelas memberi panggilan itu lebih dari sekedar panggilan.

Setibanya di rumah…

“Kukira firasatku kali ini benar,” ucap Daud.

“Kau tidak perlu khawatir soal itu, aku tetap menjadi diriku,” tenang Risadju.

“Tapi mengapa kau tidak sebaiknya berhenti saja, Dek?” tanya Daud.

“Aku tahu kau khawatir, aku pun sudah memikirkan hal ini. Sebaiknya kau tidak bersamaku, kau akan kesulitan melewati ini semua. Tidak perlu merasa resah lagi, aku percaya ini lebih baik,” ucap Risadju.

“Tapi aku tidak mau,” jawab Daud.

“Kau akan diancam pemerintah, kau akan menerima tekanan lebih jika bersamaku, lebih baik kau bersama yang lain yang akan membuatmu aman, aku siap untuk itu,” lanjut Risadju.

“Kau tentu dengan mudah mengucap itu, tapi hatimu tidak demikian. Lihat air matamu menetes, kau pasti tidak pernah sadar tentang itu,” terang Daud.

        Dia tak kuasa mendengar pernyataan itu dari sosok yang sangat ia cintai. Dia telah menjalani hidup bersamanya selama bertahun-tahun, mencurahkan segala cerita keluh kesahnya, berjuang bersama tanpa rasa ragu, dan saling menemani ke mana pun Risadju pergi. Suaminya itu pun tak tahan menerima kenyataan bahwa perkataan Risadju benar akan ancaman pemerintah terhadapnya. Berat sungguh menerima kebenaran ini.

        Tak lama setelah itu, mereka resmi bercerai. Risadju berusaha tetap memercayakan keputusannya kepada semua orang. Kini dia akan terus berjuang untuk melawan pemerintah kolonial Belanda demi kesejahteraan rakyat Luwu dan sekitarnya, dan juga demi Indonesia. Terlebih PSII yang ia tumbuhkan di tanah Sulawesi semakin berkembang. Dia tidak akan putus asa hanya karena ancaman dan tekanan. Apapun itu akan Risadju coba.

            “Kau benar-benar wanita tangguh,” ucap Siti sambil menyapa Risadju. 

            “Semua orang itu tangguh, hanya saja ada yang terbuka dan tertutup,” terang Risadju.

            “Kau salah satu yang terbuka?” tanya Siti.

            “Kau salah satu yang mengambang? Hahaha,” ujar Risadju.

            “Aku tidak bisa sepertimu, tapi aku yakin bisa membantumu, meskipun tak selalu. Kau harus mengingat kata saudaramu dan keluargamu. Aku percaya padamu,” katanya sendu.

            “Meskipun aku sudah tidak sekuat masa muda, kau tahu aku tidak akan menyerah semudah itu. Aku tetap menyayangi keluargaku, tapi keluargaku bukan hanya mereka, rakyat pun merupakan keluarga bagiku,” lanjut Risadju.

Beberapa bulan kemudian

            “Indok! Indok! Kita dapat undangan,” seru salah satu anggota PSII Palopo.

            “Undangan?”

            Terkira tukang pos memberi sebuah surat yang berisi undangan kepada para pendiri PSII. Surat tersebut sampai pula di tangan Opu (meskipun gelarnya sudah dicabut, orang-orang lebih mengenal beliau dengan sebutan Opu ketimbang Indok). Isinya berupa undangan kegiatan kongres dari Jawa. Dia sangat gembira dengan hal tersebut. Ini membuka kesempatan yang sangat besar terhadap cita-citanya.

            “Kau akan pergi?” tanya Siti.

            “Aku harus pergi,”

            “Ongkos darimana?”

            “Kau bisa bantu aku jual pernak-pernik lepas di kerajaan? Pakaianku pun tak terlalu buruk untuk dijual, kursi dan meja lepas dulu, barang-barang yang kubeli bersama Daud pun tak akan kupakai, bantu jual saja,” pinta Risadju.

            “Kau memang…, baiklah,” terima Siti.

            Ada beberapa waktu tersisa sebelum hari keberangkatannya ke pulau Jawa. Hari-hari itu dihabiskan Risadju untuk mengumpulkan uang. Mengingat kondisi ekonomi dan organisasi yang terhitung baru, tak ada biaya yang terkumpul. Ia nekat menjual semua barang berharganya agar bisa menunjukkan diri di kongres itu. Mulai dari biaya makan di perjalanan, biaya transportasi, semua ia hitung pulang pergi. Padahal setidaknya dia tidak perlu khawatir soal itu, sebab latar belakangnya bisa menjadi batu loncatan untuk hal tersebut. Kembali lagi, Risadju bukan orang yang seperti itu, ia mencobanya, sekeras apapun ia akan mencobanya.

            Suatu hari ia pergi ke pasar, menawarkan barang-barang yang ia miliki kepada para pemilik toko. Ditemani sahabatnya Siti yang juga berniaga di sana, Risadju berhasil menarik perhatian para pedagang untuk membeli barang-barangnya. Bahkan mendapat harga yang tinggi. Di samping itu, Yahya, pedagang yang ia kenal saat bersama ayahnya dahulu juga membantunya. Tak disangka memang tekadnya wanita itu, hingga salah seorang pemilik toko rantauan ia incar.

            “Ko, aku punya kursi antik yang langka, kau pasti akan suka,” tawar Risadju.

            “Eyy, aku tak mau membeli kali ini, mengukir saja sudah susah pembeli,” ucap pemilik toko.

            “Koh, kursi itu punya lapisan perak di beberapa bagiannya, ukirannya khas pemilik kerajaan, kau akan tahu jika kau bersedia melihatnya dulu,” terus bersikeras.

            Akhirnya koko pemilik toko tersebut mau menerima sarannya untuk melihat dulu kursi itu. Di sore hari, rumah Risadju seperti akan pindahan. Barang-barang diangkut silih berganti, orang-orang mengangkut ke sana ke mari, ramai sekali. Bahkan koko yang ditawari tadi pun merasa puas karena kursi itu benar-benar antik nan megah. Padahal beliau tidak tahu kalau Risadju merupakan putri kerajaan. Harga kursi itu sangat tinggi hingga bisa menutupi biaya perjalanan untuk sekali pergi.

            Hingga beberapa hari kemudian, biaya keberangkatan telah terkumpul, transportasi pun sudah disiapkan. Risadju akan langsung berangkat bersama dengan Yahya. Kabar keberangkatannya ini pasti sampai di telinga kerajaan, namun juga pasti terlambat karena Risadju sudah berangkat dengan aman dan nyaman. Pihak kerajaan sungguh terkejut dengan apa yang dilakukan Risadju. Mereka tidak menyangka bahwa dirinya akan benar-benar datang ke Pulau Jawa.

“Tuan, Ibok pergi ke Jawa,” tutur salah seorang penjaga yang membawa pesan.

“Risadju sudah kelewatan, ia harus benar-benar diawasi. Pergerakannya membahayakan kerajaan dan diluar itu, alena[11] sudah melanggar ketentuan adat,” ucap sang raja yang sangat kesal mendengar kabar tersebut.

Pelayaran dari Sulawesi Selatan ke Pulau Jawa mencapai hampir satu minggu. Selama di perjalanan, Risadju menjadi sosok Ibok bagi para awak. Semua menyambut ramah keberadaan Risadju, begitu juga Risadju yang dengan senang hati membantu apapun yang bisa ia lakukan. Bahkan sesekali dia memasak masakan khas Kerajaan Luwu yang biasanya dihidangkan untuk para bangsawan. Sungguh senang hati melihat semua menikmati dan menerima keberadaannya dengan apa adanya.

            Setibanya di Pulau Jawa, mereka langsung pergi ke Batavia (sekarang Jakarta). Meskipun begitu, Yahya tidak bisa menemani Risadju, dia pergi setelah sampai di lokasi. Memang, kongres yang diselenggarakan dikhususkan untuk para anggota PSII putri sehingga kongres didominasi kaum wanita, hanya beberapa tokoh lelaki penting saja yang hadir. Kongres Nasional PSII itu dilakukan sekaligus meresmikan pendirian PSII Istri.

            Tak selang lama setelah kongres itu selesai, pihak kerajaan Luwu mencari Risadju. Risadju mendengar kabar untuk segera tiba di Palopo. Dengan hati risau dia pun kembali ke Sulawesi Selatan. Siapa sangka setibanya di sana Risadju penuh pengawalan. Pihak kerajaan memperlakukannya bak pelaku utama suatu kasus yang benar-benar besar. Semua anggota PSII dan masyarakat yang melihatnya merasa sedih dan khawatir. Semua tertunduk melihat perlakuan tersebut.

            “Aja fura mu fau, de’na mu’ullei,” teriak Risadju.

            Lantas semua rakyat yang tertunduk kembali menengadah, senyum mereka tertegun melihat senyum Risadju yang tidak pudar. “Siap, Indok,” jawab semua bersemangat.

            Oleh pihak kerajaan beliau dipanggil dengan dugaan melakukan pelanggaran karena telah melakukan kegiatan politik.

            “Kau, berapa kali harus kita peringatkan?” tanya Raja.

            “Dan berapa kali harus kujawab?” jawab Risadju.

            “Kali ini kau harus benar-benar mendapat hukuman yang sepadan,” ucap Raja.

            Oleh anggota Dewan Adat yang pro-Belanda, Risadju dihadapkan pada pengadilan adat dan dianggap telah melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang). Anggota dewan yang pro-Belanda menuntut agar Risadju dijatuhi hukuman dibuang atau diselong. Namun kembali Opu Balirante, alias pamannya, menolak tuntutan tersebut.

            “Aku menolak tuntutan itu, biar bagaimanapun kegiatan politik bukanlah suatu hal yang benar-benar terlarang. Semua berhak atas itu. Hukum apa yang melarang adanya kegiatan berpolitik? Kalian harus realistis,” ucap Opu Balirante kepada Dewan Adat.

Sebagian besar anggota dewan setuju dengan pendapat Balirante. Nampaknya keputusan itu hanya berasal dari satu pihak yang berusaha menghentikan Risadju. Pada akhirnya Risadju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan. Balirante sedikit tenang meskipun Risadju tetap dihukum.

Hukuman ini dijatuhkan pada tahun 1934 yang berlanjut hingga 1935 di mana Jepang datang ke Indonesia. Sebagai orang hukuman, Risadju harus bekerja di luar penjara seperti orang-orang hukuman lainnya karena tidak memiliki hak istimewa sebagaimana berlaku bagi bangsawan. Haknya telah dicabut bersamaan dengan pencopotan gelar kebangsawannya. Selama dipenjara, Risadju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo. Sungguh berat memang bagi wanita kelahiran 1988 itu.

            Selama pemerintahan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Risadju lakukan. Kegiatan PSII pun dihentikan karena larangan dari pemerintahan Jepang. Sehari-hari hanya berkeliling melihat perkebunan, pasar, terkadang bersembunyi karena sesekali dia datang ke rumah perkumpulan anggota PSII. Dia sedikit bersyukur karena tidak ada Belanda dan Jepang saat itu di daerahnya hanya seperti mengawasi saja.

            “Indok, melokki lao tega?” tanya masyarakat sekitar.

            “Aku mau berkeliling saja, sekalian memeriksa tangkapan nelayan,” ujarnya.

            “Hati-hati yo, Indok,” titip mereka.

            “Iyo, kau lihat Siti tidak?” tanya Risadju.

            “Pergi ke pantai, antar makanan,” jawab mereka.

            Risadju pun kembali berkeliling sambil mencari sahabatnya, Siti. Suasana tepi pantai sangat ramai dengan jemuran ikan. Saat itu Jepang memang berfokus di Makassar sehingga jarang tentara Jepang berkeliling di Palopo. Meski demikian, aturan pemerintahan tetap berlaku di sana. Pasar ikan pun menjadi lebih ramai sejak pemerintahan Jepang karena pasokan sumber daya alam yang harus terus terkumpul.

            “Yae, Risadju!” teriak Siti di ujung pantai. Risadju pun menghampirinya.

            “Sudah beres?”

            “Sudah, kenapa kau jauh-jauh ke sini? Kau akan lelah,” tanya Siti.

            “Aehh,,, jangan kalah dengan semangat para pemuda, aku harus membawa mereka dengan semangatku,” ucap Risadju.

            “Nippon masih melarang organisasi, kita tidak bisa bertindak dengan gegabah,” lanjut Siti.

            “Aku berpikir untuk berkeliling ke daerah lain, bagaimana menurutmu?” tanya Risadju.

            “Bersama?”

            “Mungkin dengan keponakanku, mereka semua senang bepergian karena tugas kerajaan. Aku akan ikut bersama mereka,” jelasnya.

            Siti tidak melarang keinginan sahabatnya itu. Biar bagaimanapun Risadju memang orang yang penuh tekad, tak bisa dihalang jika sudah bulat. Sejak saat itu, Risadju pergi berpindah-pindah tempat dari satu desa ke desa lain, dari satu daerah ke daerah lain. Dalam perjalannya itu, ia menanamkan pengaruhnya dan mendirikan banyak cabang PSII secara diam-diam seperti di Makassar, Tanete, Barru, Parepare, Majene, Reppang Sidenreng, Bulukumba, dan Bantaeng.

            Hingga pada akhirnya tahun 1945 mereka sadar bahwa Belanda mungkin akan kembali. Indonesia akan kembali terjajah oleh sekutu. Oleh karena itu, setelah memasuki masa revolusi Risadju kembali berpikir untuk menggerakkan para pemuda lebih aktif. Ia menetap di Belopa sat itu. Dengan rencananya ia berpikir akan membantu membangun perlawanan meskipun dirinya mungkin tidak akan ada lama lagi, setidaknya jiwanya tetap tertanam di jiwa para pemuda.

            “Siti, putra kau, panggillah. Aku akan mengumpulkan kembali PSII,” perintah Risadju.

            “Kenapa?” tanya Siti terheran.

            “Belanda mungkin akan kembali, kita harus bersiap untuk yang terburuk,” ucapnya.

            Tak lama, putra Siti datang bersama teman-temannya. “Ada apa, Indok?”

            “Kabarkan kepada semua pemuda dan anggota PSII, petang nanti kita berkumpul di rumah,”

            “Siap, Indok!”

            Petang itu semua orang berkumpul di rumah Risadju. Semua tampak serius dan bersemangat untuk bergerak. Wajah-wajah baru tentu tidaklah sedikit, namun mereka sepakat untuk mengikuti pergerakan ini. Pergerakan yang akan memicu banyak strategi dan tenaga yang ekstra untuk melawan penjajah. Dan pengumuman pun dimulai.

            “Ingat semua, utama bagi pemuda, kemungkinan besar NICA akan kembali ke tanah air. Kita harus bersatu dan bersiap untuk kemungkinan terburuk,” seru Risadju.

            “Apa yang harus kita persiapkan, Indok?” tanya salah seorang pemuda.

            “Yang pasti kita akan sering berkumpul. Hanya itu saja, semua harus berhati-hati, terima kasih,” ucap Risadju.

            Pertemuan itu ditutup gemuruh siap dari semua orang. Siapa sangka ucapan itu memang benar terjadi. Kabar dari Batavia cepat tersebar ke semua daerah di Indonesia. Bukan hanya di Palopo, berbagai gerakan pun direncanakan di daerah lain. Terlebih PSII cabang lain, saling mengabari akan adanya perlawanan dari masing-masing daerah. Memicu keinginan Risadju untuk melawan lebih besar.

            Tak lama setelah hari itu, tentara Belanda kembali memenuhi Palopo. Dan mereka tak lupa dengan Risadju. Namun Risadju telah diamankan oleh para pemuda agar tidak diketahui para tentara Belanda. Risadju seperti ratu berharga bagi masyarakat, siapa pun yang akan menyakitinya harus berhadapan dahulu dengan mereka. Tampaknya Belanda pun merasa kesal dengan tindakan masyarakat.

            “Berani-beraninya kalian melawan pemerintahan Belanda,” ucap salah satu orang kerajaan yang bergabung dengan tentara Belanda.

            “Dan berani-beraninya pihak kerajaan berkhianat dari rumahnya sendiri,” jawab para pemuda.

            Para pemuda tak mengindahkan segala anggapan para rakyat bodoh yang dengan mudahnya bergabung dengan sekutu. Selama itu, mereka berhasil menjaga Opu Risadju. Setiap tentara Belanda yang pergi ke rumah Risadju, mereka hanya tersenyum melihat tindakan itu. Hingga suatu saat, semua  orang dikumpulkan Risadju di tempatnya berada.

            “Kembali aku ingatkan kepada semua, berhati-hati dengan NICA. Kita memiliki kelemahan, yaitu senjata. Sedangkan mereka, siap dengan persenjataan dan siap melawan kapan saja,” ucap Risadju.

            “Indok, apa kita tidak akan menyiapkan senjata?” tanya salah seorang.

            “Kita akan memilikinya dalam waktu dekat,” terang Risadju.

            “Lalu bagaimana dengan persiapannya? Apakah kita tidak akan terlambat?”

            “Kita mendapat bantuan dari daerah lain, tinggal kita tunggu saja. Sekarang kita harus menyiapkan apa yang bisa kita siapkan,”

            “Lalu bagaimana dengan rakyat, Indok?”

            “Itulah tugas kita. Lindungi mereka yang lemah, jangan sampai ada yang tersakiti, dan jangan sampai kita diketahui,”

            “Oke siap, Indok”

            Pertemuan dibubarkan, semua kembali ke rumah masing-masing. Tentara NICA seperti biasa, berkeliaran secara bergerombolan tak tahu arah. Yang paling membuat resah adalah tindakannya yang sewenang-wenang kepada rakyat. Mereka memalak, memerintah bahkan memaksa melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Bahkan karena mereka kekurangan senjata, mereka sampai menggeledah rumah Risadju karena tahu bahwa Risadju yang selalu mengawali perlawanan pasti memiliki senjata.

            “Bongkar semua, jangan sampai terlewat. Pasti ada yang tersembunyi,” perintah para tentara NICA.

            “Hei! Apa yang kalian lakukan di rumah Indok kami?!!” teriak salah seorang pemuda.

             Tindakan tentara Belanda itu memicu amarah masyarakat. Bukan apa-apa, rumah tersebut rumah yang paling berharga bagi mereka. Rumah orang yang senantiasa membela dan membantu mereka. Penggeledahan yang dilakukan tanpa kejelasan itu berbuah kericuhan. Tentara Belanda didorong mundur dari rumah Opu Risadju. Memang nihil usaha Belanda karena tak ada senjata yang disimpan, namun kerusakan di rumah itu yang paling memicu amarah. Barang-barang berjatuhan seolah sengaja ingin mengobrak-abrik seluruh rumah ketimbang mencari senjata.

            Kabar rumahnya digeledah oleh NICA sampai di telinga Risadju. Beliau hanya tersenyum mendengar kabar itu.

            “Tidak apa-apa, biarkan saja apa mau mereka, kita sedang menunggu waktu yang pas untuk membalas. Rumahku tidak seberapa berharganya dibanding keberadaan kalian semua,” tenang Risadju.

            “Kau benar-benar ibu bagi kami, apapun yang terjadi tak akan pernah kami biarkan begitu saja, Indok,” jawab mereka.

            Baru saja selesai urusan di rumah Risadju, ternyata tentara Belanda tak pergi begitu saja. Mereka merasa tidak puas dan pergi ke masjid untuk mencari jawaban di mana keberadaan Risadju dan persenjataannya. Mereka datang ke masjid dengan membawa senjata lengkap, masuk tanpa membuka alas kaki, dan berteriak tanpa tahu diri. Hingga salah satu penjaga masjid menegur kedatangan mereka.

            “Ada perihal apa kalian datang ke masjid berbondong-bondong tak karuan seperti tiu?” tanya Tomanjawani.

            “Di mana gudang senjata dan keberadaan Risadju?” tanya NICA.

            “Maaf, ini tempat suci. Jika kalian mencari orang tolong pergi ke pengurus daerah setempat yang mungkin akan memberitahu kalian secara langsung, bukan di masjid. Apalagi mencari perempuan,” jelas Toman.

            Merasa kesal dan tidak puas atas jawaban itu, para tentara Belanda it uterus mengobrak-abrik masjid. “Cari semua penjuru, jangan sampai terlewat. Kalian semua! Jika tidak ada yang mau bekerja sama dengan kami, akan kalian rasakan sendiri,” ucap para tentara Belanda.

            “Tuhan akan menghukum kalian! Kitab suci Al-Qur’an kalian nodai tanpa rasa bersalah, sungguh tidak tahu diri, pergi kalian semua dari tempat suci ini!!!” ucap para penghuni masjid.

            Kericuhan lainnya terjadi. Tentara Belanda kembali diserang masyarakat hingga kewalahan, semua saling dorong dan berteriak tak karuan. Mendengar kabar tersebut, Risadju merasa sedih. Terlebih masjid yang diserang merupakan masjid yang ia jaga dan senantiasa ia kunjungi setiap hari. Sungguh sakit hingga rumah Allah mereka incar begitu saja. Risadju pun tidak tinggal diam, dia memerintahkan setiap orang pergi ke tempatnya secara bergantian untuk mengecek persediaan senjata yang telah tiba.

            “Kali ini benar-benar tidak bisa kita biarkan begitu saja, Indok. Mereka sudah kelewatan,”

            “Apalagi masyarakat kecil, mereka menjadi sasaran utama agar kita keluar, Indok,”

            “Bagimana ini? Jika kita diam saja akan semakin banyak korban lain,”

            “Tenang dahulu, istighfar, ada Allah di sisi kita. Senjata pun sudah datang. Aku mengumpulkan kalian agar kalian bersiap. Kalian bisa berlatih di sini,” ucap Risadju dengan tenang.

            “Alhamdulillah… bagaimana mungkin kau tidak memberitahu kami sejak tadi? Kami akan menggunakannya dengan baik, Indok. Terimakasih banyak,” ucap mereka.

            “Pulanglah, mari kita rencanakan pergerakan esok hari,”

            “Baik, Indok.”

 Keesokan hari, mereka semua berkumpul kembali di tempat Risadju. Mereka berdiskusi tentang tindakan apa yang akan dilakukan terlebih dahulu. Melihat tentara Belanda yang terus berkeliaran di sekeliling kota, mereka berpikir untuk menyingkirkan itu terlebih dahulu. Setidaknya pemerintah seharusnya memerhatikan kondisi mereka jika memang pemerintah menganggap mereka sebagai rakyat dan semua sepakat untuk itu.

“Bagaimana dengan ultimatum?” ujar Abdul Kadir, putranya.

“Mungkin bisa dicoba, buatlah. Siapkan, Mudehang,” ucap Risadju.

“Baik, Indok,”

“Semua persiapkan masing-masing, jika usaha ini tidak berhasil maka kita turun,” ucap Risadju.

Ultimatum diberikan kepada tentara Belanda agar mereka segera kembali ke tangsinya dan tidak berkeliaran di kota.  Namun nihil, usaha itu tidak mebuahkan hasil. Baik pemerintah maupun tentara Belanda tidak menggubris ultimatum tersebut. Kekesalan membanjiri emosi masyarakat. Bahkan benar saja rencana Risadju. Mereka  semua turun dengan semua strategi yang telah disusun.

“Jangan lupa untuk melindungi sesama,” pesan Risadju.

“Baik indok, hati-hati,” ucap mereka kepada Risadju karena Risadju lekas mengungsi ke Belopa, daerah yang menjadi tempat tinggalnya.

“Kalian tidak perlu bersusah payah melawan kami. Pada akhirnya kalian akan tetap tunduk dan mengikuti segala perintah kami,” ucap salah satu tentara Belanda.

“Kalian para parasit, hanya percaya diri seolah-olah terkuat di antara semua. Padahal kalian hanya seorang bawahan yang hanya menerima perintah tanpa berpikir,” ujar Abdul.

“Kurang ajar, kau!”

23 Januari 1946, pecah suasana saat penolakan ultimatum. Terjadi konflik senjata yang sangat besar saat itu. Sehingga semua masyarakat yang tidak terlibat harus diungsikan bersamaan dengan Opu Risadju. Para pemuda terus mendorong tentara Belanda agar menghentikan kegiatannya. Konflik ini merembet ke kota-kota lain. Siapa sangka, daerah tempat Risadju pun terkena imbasnya. Namun cerdiknya Risadju membuat para pemuda terdoktrin untuk melawan pemerintahan Belanda.

“Kalian para pemuda, jangan mau menjadi babu buta di tanah sendiri. Bangun jangan hanya berdiam diri! Lihatlah saudara kalian yang berjuang melawan ketidakadilan di sana, apakah kalian hanya akan melihatnya saja?” ucap Risadju di sepanjang jalan menuju rumah.

“Indok, bagaimana bisa kau sampai di sini? Lalu apa yang harus kami lakukan?” tanya para pemuda bersemangat.

“Bersatulah dan kumpulkan semua pemuda yang siap membela kebenaran, ikuti aku dan mari berjuang,” ajak Mudehang.

“Indok diam saja di rumah, tunggu kita hingga konflik ini selesai,” ucap mereka dengan percaya diri.

“Majulah, jangan sampai lengah,”

Tindakan Risadju dalam memobilisasikan perjuangannya kepada para pemuda membuat Belanda semakin mengincar keberadaannya. risadju yang selalu berpindah-pindah membuat Belanda kewalahan, bahkan karena kuatnya doktrin di diri para pemuda membuat mereka selalu terhadang. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain mencari dengan cara yang dapat mengubur doktrin tersebut. Hingga akhirnya pihak kolonial Belanda membuat pengumuman kepada seluruh masyarakat untuk memberitahu keberadaan Risadju.

“Dengar seluruh masyarakat Sulawesi, barangsiapa di antara kalian yang dapat menemukan Risadju, maka kalian akan mendapat hadiah dan penghargaan dari kami. Kalian akan bebas dari tuntutan kami, maka beritahulah keberadaannya segera,” ucap salah seorang Belanda sambil membaca pengumuman tersebut.

Sebagaimana dikabarkan, tak ada seorang pun yang melaksanakan pengumuman Belanda tersebut. Bagi mereka, lebih baik mati daripada menyerahkan Indok Risadju yang telah menyelamatkan mereka. Risadju menjadi orang yang paling diincar oleh Belanda di Sulawesi Selatan. Upaya Risadju untuk berpindah-pindah pun sangat ampuh untuk mengelabui Belanda. Terlebih di usianya yang sudah berkepala enam, bukan hal kecil yang bisa orang lain lakukan.

“Indok, kali ini kita harus bergegas kembali, sepertinya Belanda semakin berpencar dan memanggil bala bantuan,” ucap para pemuda yang turut menemani Risadju untuk bersembunyi.

“Iya, mari kita maju secara perlahan,” ucapnya.

“Kalian yang di depan dan di belakang harus teru bersiaga, amati keadaan sekitar. Jangan sampai lengah,” ucap Abdul.

Saat itu, perjalanan telah sampai di Lantoro. Risadju memiliki firasat buruk tentang tempat persembunyiannya itu. Begitu pula yang dirasakan para pengikutnya. Dia bersikeras agar anaknya dan yang lainnya bergegas pergi jika sesuatu yang buruk benar terjadi. Dan benar saja, suara hentakan kaki terdengar dengan jelas, teriakan memanggil Risadju begitu lantang dihadapannya. Risadju terus menekan agar yang lain lekas pergi. Namun bagaimana bisa seorang anak meninggalkan sang ibu yang akan ditangkap oleh para penajajah begitu saja? Abdul merasa sakit saat terpaksa mengikuti perintah ibunya yang sudah renta itu.

“Pergilah, aku akan menyusul,” ucap Risadju sambil tersenyum lirih menatap putranya.

“Mari Abdul, kita kehabisan waktu, Indok pun tidak sendiri, sebagian dari kita harus mengabari yang lain untuk menyelamatkan Indok,” ucap teman-temannya.

“Indok, jangan tinggalkan Abdul yo, indok harus kuat, aku akan menyelamatkan indok. Berhati-hatilah,” sedih Abdul meninggalkan ibunya.

“Risadju, akhirnya kau kami temukan. Tangkap dia,” perintah seorang NICA terhadap pengikutnya.

Ternyata meskipun Risadju berpindah-pindah, pada akhirnya beliau ditangkap di Lantoro. Kemudian beliau dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Bayangkan seorang wanita paruh baya yang bahkan sudah renta, dipaksa berjalan sejauh itu. Bahkan para pengikutnya pun sedih melihat beliau yang diperlakukan seperti itu. Seakan merasa puas, para tentara Belanda itu bahkan mencaci Risadju dan menyentaknya agar terus berjalan. Sungguh tak punya hati nurani.

“Teruslah berjalan! Jangan berhenti, masih jauh!” teriak mereka.

“Indok lelah! Apa kalian tidak melihat jelas bagaimana langkahnya yang tertatih-tatih? Beliau bukan anak kecil yang masih bisa berlari tanpa rasa lelah, sungguh gila kalian, memang benar kata mereka, NICA bukanlah manusia normal melainkan hewan yangtidak punya akal selain nafsu,” ucap pengikutnya yang turut ditangkap bersama Risadju.

“Diam kau! Kau tidak punya hak berbicara di sini!” teriak tentara Belanda kepadanya yang mengakibatkan ia mendapat siksaan di pertengahan jalan.

Sepanjang jalan, Risadju tiada henti berdzikir menyebut nama Allah Swt. Bagaimana keadaannya selama ada Tuhan, baginya itu sangat cukup. Hingga sesampainya di Watampone, Risadju pun langsung ditahan di penjara Bone. Namun di sana ia hanya ditahan selama satu bulan dan tanpa diadili. Tak lama setelah itu, beliau dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sana dibawa ke Bajo.

Sayang, saat di Bajo, Opu Risadju mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh Kepala Distrik Bajo, Ludo Kalapita. Dia merupakan salah satu pihak pemerintahan Luwu yang pro-Belanda. Ketika itu Risadju dibawa ke lapangan bola. Beliau disuruh berlari mengelilingi tanah lapangan yang diiringi dengan letusan senapan. Setelah itu disuruh berdiri tegap menghadap matahari, lalu Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu yang waktu itu telah berusia 67 tahun.

“Sudah kita peringatkan berkali-kali untuk tidak bertindak seenaknya terhadap kami, pada akhirnya kini kau merasakannya sendiri,” bisik Ludo terhadap Opu Risadju.

“Lakukan saja sesuai keinginanmu dan aku akan melakukan semua sesuai keinginanku. Meskipun nanti aku telah tiada, perjuangan ini tidak akan berhenti, camkan itu,” balas Risadju.

Tak lama, Ludo Kalapita pun meletuskan senapannya. Akibatnya Risadju jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Ludo Kalapita dan masih sempat menyepaknya. Semua tahanan yang diperintahkan menyaksikan hal tersebut tak kuasa merintikkan air mata. Hati siapa yang tega melihat sosok ibu yang mereka lindungi ternyata disiksa dengan begitu keji dihadapannya. Risadju kemudian dimasukkan ke penjara semacam tahanan darurat di bawah tanah.

Akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Ludo Kalapita tersebut, Risadju menjadi tuli seumur hidup. Dan anehnya meskipun sudah membuatnya tuli, tiada henti para tentara itu terus meneriaki dan memerintah Risadju. Hingga selang seminggu dari kejadian itu, beliau menjadi tahanan luar dan tinggal di rumah Daeng Matajang.

Beruntung selama di rumah Daeng Matajang, Risadju sedikit diperhatikan. Terlebih beliau mendapat perlakuan sangat baik seolah di rumah sendiri. Meskipun Daeng Matajang tetap berhati-hati kalan tentara Belanda datang untuk memeriksa keberadaan Risadju.

“Sungguh malang engkau putri bangsawan yang tangguh. Entah kau mendengarnya atau tidak, tapi kau kuat dengan segala hal. Hatimu, ragamu, semangatmu, semua melekat dalam perjuangan yang engkau bentuk,” ucapnya terhadap Risadju yang tengah beristirahat.

Sebagaimana tahanan luar lainnya, Risadju tidak diperkenankan bepergian. Dia hanya bisa keluar hingga halaman rumah untuk menghirup udara segar. Itu pun dengan penjagaan yang serba-serbi dari para tentara Belanda. Setiap pagi dan petang mereka selalu memeriksa keberadaan Risadju. Hingga penghuni rumah Daeng Matajang merasa risih dengan perlakuannya itu. Meskipun Risadju seorang tahanan, beliau tetaplah orangtua yang telah renta. Secara logika bagaimana ia akan melarikan diri seorang diri dengan kondisinya yang telah rapuh dan tidak bisa mendengar. Memang sudah tidak punya akal para tentara itu.

Hari-hari itu terus berlanjut hingga pada akhirnya Risadju dibebaskan tanpa diadili setelah 11 bulan menjalani tahanan. Kemudian Risadju kembali ke Bua dan menetap di Belopa. Para pengikutnya menjenguk beliau, mengantarkan makanan, bahkan beberapa orang turut menemani setiap malam secara bergantian. Mengingat di Belopa ia tinggal sendiri, anaknya berada di Parepare dan belum sempat menjenguknya karena hadangan tugasnya sebagai anggota PSII, yang di mana PSII menjadi ancaman bagi Belanda.

Aga kareba, Indok?” tanya salah seorang penjenguk.

“Indok, aku datang dengan titipan salam dari ibu. Indok harus kuat, itu pesan dari ibu, aku akan ingat dan teruskan perjuangan Indok,” lanjutnya sambil menahan tangis dalam senyum.

Siapa sangka dia adalah anak putrinya Siti, sahabat kecil Risadju. Ternyata Siti telah pergi lebih dahulu. Risadju menangis melihat dia menangis. Seolah mengerti apa yang telah terjadi. Pecah tangis di ruangan itu, semua berusaha memeluk Risadju.

“J-jangan menyerah,,, kalian semua jangan pernah menyerah,” ucap Risadju sambil terbata-bata dan tiada henti menitikkan air mata.

“Indok, kami tidak akan menyerah seperti kata Indok. Biarkan kami yang melanjutkan perjuangan Indok. Indok beristirahatlah,”

“Kami semua sayang Indok. Meskipun Indok tidak mendengar ucapan kami, Indok pasti akan tahu itu, tiada henti kami panjatkan doa untuk Indok,”

“Terima kasih telah mengibarkan semangat di jiwa kami, Indok. Jasamu sangatlah besar bagi kami, sehat-sehat selalu Indok,” beribu ucapan mereka panjatkan untuk Risadju.

Hingga suatu saat, tepatnya pada tahun 1949, Risadju dijemput oleh anaknya, H. Abdul Kadir Daud. Risadju dipindahkan ke Parepare bersamaan setelah Republik Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan.

“Terima kasih semua, terima kasih telah menjaga Indok selama ini. Aku berhutang budi terhadap kalian. Sesekali aku akan mengunjungi kalian ke sini,” ucap Abdul.

“Jagalah ibumu, Dul. Selalu kabari kami jika ada sesuatu,” ucap Mudehang.

“Baik, Amure. Kami berangkat dahulu, terima kasih semua,” ucapnya.

Sejak saat itu mereka tidak lagi aktif di PSII. Mereka hanya sebagai sesepuh yang terkadang dikunjungi oleh para anggota untuk berkonsultasi dan hal lain. Bahkan Opu Daeng Risadju pernah menjadi penghubung yang dikirimkan oleh Abdul Kahar Muzakkar ke Jawa Barat untuk menemui Kartosoewiryo, pemimpin tertinggi gerakan DI/TII tahun 1953.

Pada 10 Februari 1964, Risadju dikabarkan meninggal di usianya 84 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang baru meninggal. Suasana pemakaman saat itu cukup ramai mengingat perjuangan yang telah dilakukan beliau. Hingga pada akhirnya 3 November 2006, Opu Daeng Risadju ditetapkan sebagai ‘Pahlawan Nasional’.

            Usia dan keturunan bukanlah penghalang kita menjadi seorang pejuang. Selama kita memiliki tekad yang kuat dan mampu bertaruh akan kebenaran, maka disitulah kelebihannya. Opu Daeng Risadju memberikan kita contoh pasti akan hal tersebut.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun