“Tiga kali saja, Ca!” kata Bagus.
“Segar sekali, Gus. Boleh nambah, kan?”
“Tapi itu berarti berlebih-lebihan. Tak perlu. Air tak boleh dibuang-buang.”
“Sedikiiiiiit, aja. Panas banget, nih!”
Pantas saja wajah Bagus terlihat selalu segar, mungkin karena sering dibasuh air saat wudu. Bagus kan rajin solat. Berarti lima kali pula Bagus membasuh mukanya. Beda sekali dengan muka Gito. Si tukang makan yang tak pernah ingat Tuhan. Muka Gito terlihat lusuh.
“Sedikit tapi kalau sering akan menjadi banyak,” kata Bagus tak capai-capainya mengingatkan.
Mereka pun berjamaah dengan Kakek Junaedi. Khusuk. Khusuk sekali. Hati terasa tentram. Tentram sekali. Itulah yang dirasakan Mocsya. Biasanya Mocsya langsung ke kamar saat pulang sekolah. Terus setel AC. Dan tidur pulas. Tak pernah ingat yang namanya solat.
Ternyata enak juga solat itu. Bukan beban. Bukan buang-buang waktu. Bukan. Sekali lagi, bukan. Solat itu enak. Solat itu tentram. Hati yang selama setengah hari bekerja untuk dunia, dipulihkan kesehatannya dalam solat. Pantas saja Kakek selalu terlihat bugar. Padahal usianya sudah di atas delapan puluhan.
Sehabis solat, mereka berdoa. Dipimpin Kakek Junaedi. Memakai bahasa Arab. Mocsya tak tahu artinya. Tapi Mocsya mengamini dengan sepenuh hati. Sampai hampir menangis. Ingat Bunda. Ingat Ayah. Ingat Kak Sevi. Maafkan Mocsya, Bunda. Maafkan Mocsya, Ayah. Maafkan Mocsya, Kak Sevi. Dalam hati Mocsya meminta. Mudah-mudahan mereka selalu dalam lindungan-Nya.
“Sebaiknya kita makan siang dulu!” ajak Kakek Junaedi.
Ternyata kakek Junaedi sudah menyiapkan makan siang. Tak ada macam-macam. Di meja hanya terlihat nasi dan tempe goreng. Mocsya tak pernah membayangkan bagaimana rasanya makan hanya dengan tempe goreng.