“Aku sih jadi, tahu Fani,” jawab Ismi sambil menatap Mocsya dengan tanda tanya.
“Maaf, Gus, aku tidak jadi. Aku disuruh pesan kue. Buat pengajian di rumah,” kata Fani sambil terus bergegas pergi.
“Persis seperti ibu-ibu majlis taklim, Fan,” ejek Ismi.
“Kalu begitu, kita bertiga saja. Ayo!” ajak Bagus.
“Bertiga?” tanya Ismi tak tahu maksud Bagus.
“Mocsya juga mau ke rumah.”
“Iya, Ca?” tanya Ismi. Suaranya terdengar merdu sekali.
Mocsya hanya mengangguk. Tiga kali. Eh, empat kali. Eh, entahlah. Lalu mereka pun berjalan. Bertiga. Jalan kaki. Sampai ke rumah Bagus. Lumayan jauh. Tapi tak terasa. Tahu-tahu sudah sampai juga. Dengan keringat yang bercucuran ke mana-mana.
“Minum apa, Ca? Is?” tanya Bagus.
“Memangnya ada apa?” Ismi balik bertanya. Ismi sudah tahu, adanya paling juga air putih.
Betul. Bagus membawa dua gelas air putih. Tidak dingin. Karena tak ada kulkas di rumah Bagus. Bukan, bukan rumah Bagus, tapi rumah Kakek Junaedi. Rumahnya terletak di kebun yang lumayan luas. Hanya saja tepat di pinggir kali. Kalau kali banjir, pasti sampai juga ke rumah Kakek Junaedi.