Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nasi Goreng Spesial (Bag. 2)

12 Juli 2015   08:00 Diperbarui: 12 Juli 2015   08:00 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Matahari seakan berada tepat di atas kepala.  Teriknya tak alang kepalang.  Tengah hari, saat pulang sekolah, memang suhu udara tak ada tandingannya.  Atau memang betul kata guru IPA, kalau rata-rata suhu udara memang terus bertambah.  Seiring dengan terjadinya apa yang disebut pemanasan global?  Tak tahulah! 

Dari tadi Mocsya berdiri.  Tangannya dikipas-kipaskan.  Memanggil angin.   Untuk sedikit menghentikan kucuran keringat.  Kepala dilongok-longokan.  Mencari seseorang.  Beberapa teman menyapa, tapi tak dipedulikan.  Hanya anggukan kepala.  Agar tidak dianggap keterlaluan.

“Jadi main PS, Ca?” tanya Teguh.

“Maaf kawan, hari ini aku ada urusan yang lebih penting daripada sekadar main Pe-es,” jawab Mocsya sambil terus mencari seseorang.

“Oke deh, tapi kalau nanti sudah sadar, kau boleh menyusul juga.  Tempat biasaaaaaa!  Taruhan tambah gede lho, Ca,” tambah Teguh berusaha mempengaruhi Mocsya.

“Tunggulah kau sampai kiamat tiba.  Aku sudah tobat, Kawan,” kata Mocsya dengan menirukan aksen Batak.

“Lagak kau, Ca!”  Teguh pergi.  Menyerah.  Teguh tahu persis, kalau Mocsya memang tak akan mudah dipengaruhi.  Kalau sudah punya pendirian, akan selalu ia perjuangkan.  Sampai titik penghabisan. 

Orang yang dicari belum juga muncul batang hidungnya.  Jangan-jangan si Bagus ditelan bumi?  Tak mungkinlah.  Itu kan hanya peribahasa.  Bagus pasti sebentar lagi lewat.  Dan betul …

“Gus!  Bagus!” panggil Mocsya sambil berlari menyusul Bagus.

“Ada apa, Ca?” tanya Bagus.

“Mau pulang?” tanya Mocsya.

“Tidak.  Memangnya kenapa?” Bagus balik bertanya.

“Tadinya aku mau main ke rumahmu,” kata Mocsya kecewa.

“Kalau begitu, aku tidak jadi ke kios,” Bagus tidak tega melihat rona kecewa pada wajah Mocsya.

“Ayo!” ajak Mocsya dengan semangat empat puluh lima.

“Tunggu dulu.”

“Ada apa, Gus?” tanya Mocsya.

“Ismi sama Fani juga mau ke rumah.  Bareng saja,” jawab Bagus yang langsung membuat muka Mocsya merah delima, eh merah padam, semerah-merahnya.  Untung Bagus tidak memperhatikan perubahan muka Mocsya.  Jadi, Mocsya tak perlu meneruskan rasa malunya.  Pura-pura Mocsya sibuk mencari sesuatu di dalam tas.

“Siapa?” tanya Mocsya hanya sekedar tanya.  Karena Mocsya memang sudah dengan jelas sekali siapa yang akan ke rumah Bagus bersamanya.

“Ismi sama Fani.  Tuh dia!”

Bagai sihir.  Kata-kata Bagus yang terakhir.  Mendengar Ismi juga mau ke rumah Bagus, Mocsya menjadi salting, salah tingkah.  Kalau ada Ismi, Mocsya pasti menjadi pendiam.  Tidak seperti biasa.  Pokoknya, kalau dekat Ismi, Mocsya selalu ragu untuk bicara.

“Is, jadi?”

“Aku sih jadi, tahu Fani,” jawab Ismi sambil menatap Mocsya dengan tanda tanya.

“Maaf, Gus, aku tidak jadi.  Aku disuruh pesan kue.  Buat pengajian di rumah,” kata Fani sambil terus bergegas pergi.

“Persis seperti ibu-ibu majlis taklim, Fan,” ejek Ismi.

“Kalu begitu, kita bertiga saja.  Ayo!” ajak Bagus.

“Bertiga?” tanya Ismi tak tahu maksud Bagus.

“Mocsya juga mau ke rumah.”

“Iya, Ca?” tanya Ismi.  Suaranya terdengar merdu sekali.

Mocsya hanya mengangguk.  Tiga kali.  Eh, empat kali.  Eh, entahlah.  Lalu mereka pun berjalan.  Bertiga.  Jalan kaki.  Sampai ke rumah Bagus.  Lumayan jauh.  Tapi tak terasa.  Tahu-tahu sudah sampai juga.  Dengan keringat yang bercucuran ke mana-mana.

“Minum apa, Ca?  Is?” tanya Bagus.

“Memangnya ada apa?” Ismi balik bertanya.  Ismi sudah tahu, adanya paling juga air putih.

Betul.  Bagus membawa dua gelas air putih.  Tidak dingin.  Karena tak ada kulkas di rumah Bagus.  Bukan, bukan rumah Bagus, tapi rumah Kakek Junaedi.  Rumahnya terletak di kebun yang lumayan luas.  Hanya saja tepat di pinggir kali.  Kalau kali banjir, pasti sampai juga ke rumah Kakek Junaedi. 

“Ada yang dingin, Gus?” tanya Mocsya sambil memegang lehernya.

“Ada,” jawab Bagus.

“Bagi yang dingin saja, Gus!” pinta Mocsya.

Bagus balik ke dalam rumah lagi.  Saat keluar, Bagus membawa kendi dari tanah.  “Ini, coba saja,” kata Bagus sambil menyodorkan kendi.

“Apa ini?” tanya Mocsya yang sudah lancar bicara walau ada Ismi di sampingnya.

“Kulkas Kakek, ya, kendi ini.  Di rumah Kakek tak ada kulkas atau AC.  Kakek anti keduanya.  Kata Kakek sih biar dunia tidak tambah panas …”

“Bertambah dingin kali,” potong Mocsya.

“Bertambah panas.”

“Maksudnya?” Mocsya tambah bingung saja.

“Katanya sih pemanasan global. AC dan kulkas dapat meningkatkan suhu udara, lho!”

Mocsya menerima kendi yang disodorkan Bagus.  Saat tangan Mocsya menyentuh kendi tersebut, ada sensasi.  Rasanya memang dingin cenderung sejuk.  Sejuk alami.   

Mocsya mengambil gelas.  Hendak membuang air yang digelas. 

“Jangan dibuang!” cegah  Ismi.

Tak sengaja.  Tangan Ismi menyentuh tangan Mocsya.  Lembut.  Lembut sekali.  Lembutnya sampai ke hati.  Menentramkan. Menentramkan sekali.  Ah, berlebihan!  Seperti roman picisan.

“Tuang di gelasku saja!”

“Ya,” jawab Mocsya.

“Tak baik membuang-buang air matang.”

“Ya.”

“Kamu tahu kenapa?”

“Ya.”

“Kamu tahu alasannya?

“Ya.”

“Apa?”

“Apa tadi?” tanya Mocsya yang seakan baru sadar dari pingsan panjangnya.

“Mengapa kita tak boleh membuang-buang air sembarangan?”

“Tidak tahu.”

“Karena air ini dimasak dengan energi yang banyak.  Jadiiiiiii, jangan dibuang!” kata Ismi menjelaskan.

“Oh, ya,” kata Mocsya yang selalu membuang apa saja.  Apa saja yang dia rasa sudah tak berguna.  Sudah menjadi sampah.  Sampah adalah sampah, itulah yang sudah tertanam di otak Mocsya.  Buanglah sesuatu kalau itu memang tak ada guna.  Untuk apa disimpannya.  Mocsya tak pernah berpikir tentang energi segala.

“Sebelum kita berbicara ke mana-mana, sebaiknya kita solat dulu.  Kalau sudah solat pasti enak.  Kita bisa apa saja!” ajak Bagus.

“Ayo!” Ismi pun semangat.  Ismi memang tak pernah meninggalkan perintah Tuhan yang satu itu.  Kemana pun Ismi pergi, pasti ada mukena di dalam tasnya.

Mocsya yang bingung.  Mocsya seorang muslim.  Tapi solatnya cuma dua kali setahun.  Kalau Idul Fitri dan Idul Kurban saja.  Solat Zuhur selalu kelewat.  Asar tak pernah ingat.  Magrib asyik di depan tivi.  Isya sudah keburu mengantuk.  Untuk apa solat ya?

“Cepat, Ca!  Kakek sudah menunggu.”

Mocsya bergegas.  Mengambil wudu.  Di tengah Jakarta yang panas, sepanas-panasnya dan terik, seterik-teriknya, guyuran air wudu di muka telah membuat sensasi tersendiri.  Sejuk.  Sejuk sekali.  Segar.  Segar sekali.  Tak terbayangkan.  Mocsya membasuh muka sampai tujuh kali. 

“Tiga kali saja, Ca!” kata Bagus.

“Segar sekali, Gus.  Boleh nambah, kan?”

“Tapi itu berarti berlebih-lebihan.  Tak perlu.  Air tak boleh dibuang-buang.”

“Sedikiiiiiit, aja.  Panas banget, nih!”

Pantas saja wajah Bagus terlihat selalu segar, mungkin karena sering dibasuh air saat wudu.  Bagus kan rajin solat.  Berarti lima kali pula Bagus membasuh mukanya.  Beda sekali dengan muka Gito.  Si tukang makan yang tak pernah ingat Tuhan.  Muka Gito terlihat lusuh. 

“Sedikit tapi kalau sering akan menjadi banyak,” kata Bagus tak capai-capainya mengingatkan.

Mereka pun berjamaah dengan Kakek Junaedi.  Khusuk.  Khusuk sekali.  Hati terasa tentram.  Tentram sekali.  Itulah yang dirasakan Mocsya.  Biasanya Mocsya langsung ke kamar saat pulang sekolah.  Terus setel AC.  Dan tidur pulas.  Tak pernah ingat yang namanya solat. 

Ternyata enak juga solat itu.  Bukan beban.  Bukan buang-buang waktu.  Bukan.  Sekali lagi, bukan.  Solat itu enak.  Solat itu tentram.  Hati yang selama setengah hari bekerja untuk dunia, dipulihkan kesehatannya dalam solat.  Pantas saja Kakek selalu terlihat bugar.  Padahal usianya sudah di atas delapan puluhan. 

Sehabis solat, mereka berdoa.  Dipimpin Kakek Junaedi.  Memakai bahasa Arab.  Mocsya tak tahu artinya.  Tapi Mocsya mengamini dengan sepenuh hati.  Sampai hampir menangis.  Ingat Bunda.  Ingat Ayah.  Ingat Kak Sevi.  Maafkan Mocsya, Bunda.  Maafkan Mocsya, Ayah.  Maafkan Mocsya, Kak Sevi.  Dalam hati Mocsya meminta.  Mudah-mudahan mereka selalu dalam lindungan-Nya.

“Sebaiknya kita makan siang dulu!” ajak Kakek Junaedi.

Ternyata kakek Junaedi sudah menyiapkan makan siang.  Tak ada macam-macam.  Di meja hanya terlihat nasi dan tempe goreng.  Mocsya tak pernah membayangkan bagaimana rasanya makan hanya dengan tempe goreng.

“Makannya hanya pakai tempe goreng ya, Ca? Ismi?” kata Kakek.

“Soalnya, kakek hanya bisa menggoreng tempe,” kata Bagus.

Kami semua tertawa.

Mocsya agak enggan.  Tapi rasa lapar mendorongnya untuk makan juga.  Diambilnya nasi.  Diambilnya tempe.  Dimakannnya.  Enak juga.  Satu suap.  Dua suap.  Tiga suap.  Eh, tidak terasa, satu piring habis juga.  Malu-malu.  Rasa lapar masih ada.

“Boleh nambah, Ca.  Nasi masih ada.  Tempe juga!” kata Kakek Junaedi yang seakan tahu hati Oca.

 

***

Ismi sudah pamit pulang.  Kakek Junaedi pergi menjaga kios. Kakek Junaedi memang memiliki kios bunga dan pupuk.  Kecil.  Hanya di pinggir jalan raya.  Sekarang hanya ada Bagus dan Mocsya.  Bagus mengajak Mocsya ke belakang rumah.  

“Pupuk yang dijual kakek, kami buat sendiri, Ca,” kata Bagus.

“Ini tempat membuatnya?” tanya Mocsya.

“Ya.”

“Bagaimana cara membuatnya?”  Mocsya ingin tahu.

“Mudah.  Mudah sekali.”

“Jadi ingin tahu, nih!”

“Kumpulkan daun-daun, terus potong kecil-kecil.  Kebetulan di sini banyak pohon.  Selesai menyampu, langsung potong,” jelas Bagus

“Sekecil apa, Gus?”

“Asal jangan sekecil kutu, Ca.”

“Ah, kamu!”

“Kira-kira tiga sentimeterlah.”

“Kalau tidak ada daun, Gus?”

“Pasti ada.  Kalau daun pohon tidak ada, kamu boleh menggantinya dengan daun pintu atau daun jendela.”

“Kalau tidak ada juga?”

“Pakai daun telinga kamu.”

“Kamu hebat,Gus!”

“Kok?”

“Selalu bisa jawab.”

“Makanya, kamu harus hati-hati denganku.”

“Oke deh.  Tapi pertanyaanku benar nih, bukan bercanda, Gus.”

“Pertanyaan yang mana?”

“Kalau di rumahku kan tidak ada daun pohon. Pohon di rumahku hanya satu, pohon jambu.  Adanya paling-paling pohon bunga.  Daunnya  pun  seminggu baru pada runtuh, Gus.”

“Tak masalah.”

“Maksudmu?”

“Kamu kan masak juga, Ca?”

“Tidak?!”

“Iya, kamu memang tidak pernah masak.  Jangankan masak, letak dapur saja tidak tahu, kan?  Kalau makan juga diambilkan.  Iya kan?”

“Betul.  Betul.  Aku tahunya pintu keluar rumah.  Soalnya aku bosan di rumah.  Di rumahku tak pernah ada orang.  Paling adanya Mba sanah.”

“Siapa Mba Sanah?”

“Pembantu di rumahku, Gus”

“Kakak kamu ke mana, Ca?”

“Kak Sevi sibuk dengan kuliahnya.  Berangkat pagi, pulang sudah malam.  Kalau pun pulang siang, dia lebih sering ada di dalam kamar.  Mengerjakan tugas.”

“Bunda sama ayahmu, Ca?”

“Sama.  Tak pernah mereka mengajak ngomong aku.  Berangkat pagi, pulang malam.  Kecapaian.  Seperti orang indekos saja mereka.  Numpang tidur,”  ada nada sedih pada suara Mocsya.  Meski Mocsya sudah berusaha menyembunyikannya, tapi Bagus masih merasakan nada sedih pada kata-kata Mocsya.

“Sudahlah.  Jangan diteruskan.  Kalau diteruskan nanti banyak dosa.”

“Tapi bagaimana dengan komposnya, Gus?”

“Kamu bisa buat dari sisa-sisa sayuran.”

“Oh, begitu?  Kalau sisa  sayuran sih ada.  Kadang-kadang Mba Sanah masak juga.”

“Nah sisa sayuran juga bisa dibuat kompos.  Daripada dibuang ke tempat sampah.  Kasihan tukang sampah.  Tiap hari kerjaannya ngangkut sampah, Ca.”

“Lho, tukang sampah, ya kerjaannya ngangkut sampah.  Kalau kerjaannya makan donat, itu sih si Gito,” canda Mocsya. 

“Maksudku kalau saja setiap rumah mengolah sisa sayurannya menjadi kompos, tukang sampah kerjanya menjadi tak terlalu berat, Ca.”

“Tapi tidak dipecat dong.”

“Janganlah, kasihan keluarganya.  Kita kan hanya membantu agar kerjanya jangan terlalu keras,” kata Bagus.

Tak terasa, matahari sudah mulai condong ke barat.  Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat.  Suara azan asar juga sudah berkumandang. 

 “Aku boleh menginap di rumahmu, Gus?”

“Kamu sudah izin?” tanya Bagus.

“Iya, sekarang saya minta izin sama kamu.”

“Maksudku izin sama orangtua kamu, Ca.”

“Tak perlu.”

“Kalau begitu, tidak boleh.”

“Kenapa?” tanya Mocsya.

“Aku pasti dimarahi Kakek,” jelas Bagus.

“Kalau aku izin ke orangtua?”

“Baru boleh.”

“Nanti aku telepon, Gus.”

“Jangan nanti.  Sekarang saja.  Jangan suka menunda-nunda waktu. Tak baik, Ca,”  saran Bagus.  Bagus memang tak pernah menunda-nunda pekerjaan.  Kalau ditunda, suka lupa.  Kalau lupa, baru menyesal.  Apalagi Kakek Junaedi juga akan sangat marah jika Bagus berani menunda-nunda pekerjaan.

“Baik bos.  Kalau begitu aku ke wartel dulu.”

Agak lama.  Wartel agak jauh.  Di jalan raya.  Rumah Kakek Junaedi memang di Jakarta.  Tapi masuk gangnya cukup jauh.  Berkelok-kelok pula.

Kemudian…

“Boleh?” tanya Bagus saat melihat wajah ceria Mocsya.

“Pasti boleh,” jawab Mocsya.

“Baiklah kalau begitu.  Kita mandi dulu, yuk!” ajak Bagus.

“Baru jam empat,” bantah Mocsya.

“Bukan baru, tapi sudah jam empat.  Mandi dan solat Asar.”

“Mandi enaknya kalau sudah jam enam,” Mocsya memang paling malas kalau disuruh mandi.

“Tapi solat Asar tak boleh ditunda.”

“Iya. Ya,” Mocsya mengalah.

Enak juga hidup seperti Bagus.  Segalanya selalu dikerjakan tepat waktu.  Mocsya selama ini tak pernah mengatur waktu.  Bahkan tak pernah ingat waktu.  Segalanya dikerjakan sesuai kemauan.  Mau mandi jam empat, ya mandi jam empat.  Mau mandi jam lima atau jam enam, ya terserah.  Suka-suka Mocsya.

Habis solat Asar, Bagus mengajak Mocsya untuk mengerjakan PR.  Mocsya lupa membawa buku.  Mocsya mengerjakannya di buku lain.  Tak apa.  Daripada tidak mengerjakan PR.  Seperti biasanya.  Biasanya mengerjakan PR di sekolah.  Lihat hasil pekerjaan teman.  Memalukan!

***

Solat tak pernah ditinggalkan Bagus dan Kakek Junaedi.  Kata Kakek Junaedi, solat memang ibadah paling penting.  Tidak boleh ditinggalkan sama sekali.  Walau sedang sakit berat sekalipun.  Usai solat Magrib, Bagus belajar mengaji kepada Kakek Junaedi.   Kehidupan Kakek Junaedi dan Bagus benar-benar teratur.  Tapi terasa enak juga.  Segalanya dapat dikerjakan dengan baik.  Sementara Mocsya yang tak pernah mengatur waktu selalu menganggap waktu terlalu pendek.  Mocsya selalu tak sempat mengerjakan PR.  Tak sempat solat.  Tak sempat mengaji.  Hampir seluruh waktunya dibuang di depan televisi.  Atau main game di komputer.  Berjam-jam.  Tak ada henti.

Pembaca, doakan Mocsya agar bisa mengatur waktunya, ya?

“Lapar, Ca?” tanya Bagus.

“Agak,” jawab Mocsya malu-malu.  Padahal memang sudah lapar.  Kalau di rumah sih tinggal teriak kepada Mba Sanah.  Sekarang kan sedang menginap di rumah Bagus.  Tak bisa teriak ke siapa-siapa.  Rasa lapar pun dibiarkan saja.

“Bilang saja lapar.  Dari muka kamu sudah kelihatan,” ledk Bagus.

“Kalau tahu aku lapar terus mau apa?”

“Mau mengajak masak nasi goreng,” usul Bagus.  Bagus memang selalu memasak.  Untuk sendiri dan untuk Kakek Junaedi. 

“Kamu bisa masak, Gus?”

“Bisa, dong!”

“Ayo, kalau begitu!” ajak Mocsya.

Mereka berdua pun ke dapur.  Bagus mengambil penggorengan.  Mengambil bawang merah.  Mengambil telur ayam.  Mocsya hanya melongo.  Melihat apa yang dilakukan Bagus.

“Bantuin dong, Ca!” kata Bagus.

“Aku ngapain?”

“Pelototin telurnya!”

“Diapain?” tanya Mocsya yang tak tahu harus melakukan apa.  Mocsya memang belum pernah membuat nasi goreng.  Mocsya tahunya hanya makan nasi goreng.  Titik.

“Dipelototin!” ulang Bagus.

“Kok dipelototin?”

“Biar pecah.  Kamu kan bisa sulap.”

Berdua sibuk.  Bukan, bukan berdua.  Mocsya hanya menonton kok.  Bagus saja yang sibuk sendirian.  Mengupas bawang.  Memecah telur.  

“Ambilkan garam, Ca!”

“Yang mana?”

 “Itu yang putih.  Sebelah kiri kamu”

“Oke.”

“Nyalakan kompornya, Ca!” perintah Bagus.

“Caranya, Gus?”

“Sudah pernah menyalakan kompor?”

“Belum.”

“Ceklekin saja!”

Pelan-pelan Mocsya menyalakan kompor.  Takut meledak.  Mocsya pernah mendengar ada kebakaran gara-gara kompor gas meledak.  Bukan hanya rumah yang terbakar, orangnya juga meninggal.  Gosong sekujur tubuh. 

“Tidak usah takut-takut, Ca!”

Mata dipejamkan.  Pelan-pelan dan ….

“Duarrrrrrrrrrrrr …. !!!”

Mocsya meloncat setinggi-tingginya.  Benar juga kan kompornya meledak.  Jangan-jangan Mocsya sudah meninggal, pikir Mocsya.  Tapi tidak.  Nyatanya …

“Ha, ha, ha, haaaaaaa …!” tawa Bagus.

Ya.  Tawa Bagus.  Kalau masih mendengar tawa Bagus, berarti Mocsya belum meninggal.  Pelan-pean Mocsya membuka mata.  Bagus ada di depannya.  Tertawa.

“Suara apa, Gus?”

“Penggorengan yang aku tabuh, tahu!”

“Hampir mati aku.”

“Makanya, sekali-kali mampir ke dapur.  Masa menyalakan kompor saja takutnya setengah mati.  Pakai memejamkan mata segala.”

Mocsya malu sendiri. 

Nasi pun digoreng.  Keringat mereka berdua pun bercucuran.  Kepanasan karena dekat kompor.  Tak apa.  Ada yang menetes masuk dalam nasi.  Tak apa juga.  Biar tambah rasa.  Rasa keringat Bagus.  Rasa keringat Mocsya.

Mocsya baru tahu arti perjuangan.  Sekarang Mocsya sedang berjuang.   Berjuang untuk sepiring nasi goreng.  Biasanya tinggal makan.  Tak tahu bagaimana membuat nasi goreng.  Ternyata repot juga.

Mocsya menyesal kalau ingat suka membuang nasi goreng yang dibuat Mba Sanah.  Padahal Mba Sanah sudah membuatnya dengan susah payah.  Besok-besok, Mocsya akan makan semua nasi goreng yang dibuatkan Mba Sanah, ah.  Mocsya janji. 

Mudah-mudahan janji Mocsya betul ya, teman-teman!

Nasi goreng jadi.  Dimakan bertiga bersama Kakek Junaedi.  Sedap.  Sedap sekali.  Rasanya tak ada yang menandingi.  Mungkin karena Mocsya bekerja keras untuk mendapatkannya.  Atau mungkin karena peluh yang jatuh di nasi goreng saat membuatnya.

Biarlah.

Hari ini, Mocsya betul-betul banyak menemukan arti.  Arti dari solat, ketepatan waktu, dan kerja keras. 

Mau mencoba?  Ayo segera!

Jam delapan, Bagus sudah mengajak tidur.  Padahal masih sore.  Mocsya ikut, karena Mocsya tamu.  Tak mungkin Mocsya menolak.  Di rumah Kakek Junaedi tak ada televisi.  Jadi tak bisa menonton sinetron. 

***

Matahari belum tinggi.  Baru juga muncul.   Mocsya juga belum sarapan pagi.  Apalagi gosok gigi.  Ada yang mengetuk pintu besi.  Tak ada yang bereaksi.  Dibiarkan saja ketukan itu.  Setiap orang sedang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.  Apalagi si Oca, manusia yang paling cuek se-rumah.  Tak mungkin ia peduli.  Kecuali ada banjir bandang seperti di Situ Gintung.  Pasti Oca akan peduli, eh, tetap tak akan peduli.  Oca malah akan lari.  Sendiri.

Akhirnya, ketukan pun pindah ke pintu kamar Oca.  Jangan-jangan ada hantu.  Oca ketakutan sendiri.  Tak mungkin.  Hantu tak mungkin mengetuk pintu.  Untuk apa susah-susah mengetuk pintu.  Hantu kan bisa menembusnya.  Tanpa suara.  Tahu-tahu sudah ada di hadapan Mocsya.  Tak mungkiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin!  Jurus penyelamatan yang paling manjur adalah lari. 

Tapi apa di kata.  Saat membuka pintu.  Di bangku ruang tamu.  Ya, di bangku ruang tamu.  Sudah ada perempuan tercantik di Indonesia, bahkan di dunia.  Dia sedang duduk manis.  Sendirian.  Ada apa? Pikir Oca. 

Seekor lalat terbang bebas.  Mendarat tepat di mulut Oca yang terbuka.  Sang punya mulut pun kaget tak kepalang.  Mendapat serangan dadakan.  Seperti Amerika pada saat perang dunia dua.  Saat Jepang tanpa minta izin memborbardir pangkalan militernya di Pear Harbour, “Tora! Tora!”

“Ismi mencarimu,” kata Kak Sevi.

Ismi memberi senyum. Terlihat cantik sekali.  Tapi…...  Tapi Ismi beranjak pergi.  Oca mengejar Ismi.  Mudah-mudahan belum jauh.  Tak ada.  Bayangannya pun tak tampak. 

Oca tendang pintu karena jengkel.  Tendang pagar. ….

“Kamu mimpi, ya?”

Pertanyaan itu segera menyadarkan Oca.  Ternyata hanya mimpi belaka.  Diusap mata.  Bagus berdisi di sampingnya.  Mocsya bangun.

“Kamu  sudah bangun, Gus?  Sudah pagi, ya?”

“Baru jam tiga.”

“Kok kamu sudah bangun, Gus?”

“Aku sedang solat.”

“Solat?”

“Ya, aku solat tahajud.”

“Oh ya aku pernah dengar.  Boleh aku ikut.”

”Ayo, kalau kamu mau,” ajak Bagus.

“Ajarin ya?”

“Ya.  Kamu ambil wudu dulu.”

“Sendiri, Gus?”

“Takut?”

“Ehm, tidak sih.”

Dengan keberanian yang dibesar-besarkan, Mocsya mengambil wudu.   Sendiri.  Setan?  Tak mungkin ada.  Setan itu kan makhluk gaib.  Tak bisa dilihat.  Jadi tenang saja, Ca.  Tak usah takut.  Tapi sayang, rasa takut dalam hati Oca tak mau pergi-pergi juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun